BELUM WAKTUNYA

1211 Kata
Sekuat tenaga Azril memberi alasan yang tepat agar orang tuanya mengerti. Ia tidak mengatakan pernikahan yang sesungguhnya. Azril tidak ingin membuat orang tuanya sedih. “Tidak baik bertamu di malam hari, Mih. Nanti saja Azril atur pertemuannya, ya!” “Kamu sedang tidak mencegah Amih dan Bapa, ‘kan, Ril?” Kini Amri mengomentari sikap putranya yang seolah sedang menahannya. Azril gelagap dan meneguk salivanya kuat, tetapi dengan cepat langsung memberi kalimat yang membuat orang tuanya yakin. “Enggak, Pa, justru Azril sangat senang, tetapi sekarang belum waktunya.” Azril menegaskan, walau dalam hatinya memang belum siap mempertemukan orang tuanya dengan Safa. Wanita paruh baya itu mengangguk pasrah. “Baiklah, Amih hanya mendoakan yang terbaik untukmu.” Azril tersenyum manis, tidak tega melihat antusias ibunya yang harus ia kecewakan. Namun, ia berjanji akan membawa Safa secepatnya di hadapan Amih. Seketika Azril pun pamit untuk kembali pulang. “Hati-hati, salamkan Amih pada istrimu, ya!” Hamidah menitip pesan. Padahal, ingin sekali berjumpa pada calon menantunya itu. Sedangkan Azril mengiyakan walau dirinya belum yakin salam itu diterima atau tidak. Saat itu pula, Azril langsung bergegas pergi karena waktu hampir larut. Meski Safa tidak mencarinya, tetapi Azril memiliki tanggungjawab yang besar terhadap Safa sehingga tidak ingin meninggalkan dalam waktu yang lama. Sesampainya, suasana di rumah pun tampak hening dan Azril menapaki kakinya begitu pelan. Ia tidak ingin mengganggu orang rumah hingga berhasil masuk ke kamar Safa dan terlihat wanita itu sudah terbaring dengan asal. Tanpa bersuara, Azril membenarkan posisi tubuh Safa dan menyelimutinya yang sudah tertidur pulas. Bibirnya melengkung senang, lalu mendaratkan di kening Safa dengan lembut. “Selamat tidur, Fa!” ujar Azril lirih. Ia tidak menyangka bisa kembali bertemu dengan Safa, terlebih menjadi bagian dari hidupnya. Ia menyesal jika mengingat ke belakang, tetapi dalam hatinya berjanji untuk bisa membahagiakan Safa dan membuatnya tersenyum mulai sekarang. Setelah memandangi Safa dengan puas, Azril segera menjauh sebelum Safa sadar. Kemudian pergi tidur di sofa yang sebelumnya sudah mengambil bantal juga selimut. Pagi harinya Safa terkejut saat mendapati kain tebal yang membungkus tubuhnya, terlebih posisi tidurnya berada di tempat. Seingatnya, semalam Safa tertidur dengan asal. Pikirannya mulai buruk hingga membuka selimut dan bernapas lega saat pakaian lengkapnya masih melekat di tubuh. Tak lama, pintu kamar mandi terbuka membuat Safa hampir terlonjak. “Ka-kamu! Sejak kapan kamu di sini?” Safa memicingkan matanya tidak suka. Lagipula kapan dia datang, Safa tidak mendengarnya sama sekali. Ah, apa mungkin dia juga yang memindahkan tubuhnya semalam? Wanita itu pun menggeleng tak percaya. Tanpa menunggu jawaban, Safa kembali menyambar pertanyaan lain. “Dan siapa yang menyuruhmu berada di kamarku?” “Aku, ‘kan suamimu, Fa,” kata Azril polos. Sedangkan Safa semakin geram dan bangkit dari tempat tidurnya. Ia malas mendengar kalimat Azril yang terus mengatakan hal itu. Azril sendiri hanya bisa mengelus d**a melihat sikap Safa dan tidak terlalu memedulikannya. Ia segera merapikan diri dan berpakaian kemeja yang dibawa dari rumah semalam. “Fa, hari ini aku akan kembali bekerja,” kata Azril melihat Safa keluar dari kamar mandi. Tangannya sembari membenarkan dasi di hadapan cermin. “Terus?” Safa menjawab jutek. Ia tak peduli dan memilih membereskan tempat tidurnya. Azril menghela napas sabar. Kemudian, tubuhnya berbalik dan mendekati Safa. “Aku memberitahu, Fa, biar kamu tidak mencari.” Safa tertegun mendengar pernyataan Azril yang sangat percaya diri. Lagipula, untuk apa ia mencarinya bahkan jauh lebih bagus karena Safa bisa melakukan apa yang ia inginkan tanpa diikuti oleh pria itu. Hatinya tak berhenti menggerutu. “Kamu kalo mau pergi, jangan lupa kabari aku juga, Fa,” ujar Azril tersenyum. Safa hampir terkejut, ingin sekali mengeluarkan serapah dalam mulutnya. Baru saja ingin bebas, tetapi pria itu sudah bertindak lebih dulu. Ia pun melirik tajam Azril dan mengepal tangannya kuat. “Tidak usah marah. Itu memang sudah kewajibanmu untuk memberitahu suami ke mana pun kamu pergi.” Azril tahu apa yang ada dalam hati Safa, lalu berjalan mendekati nakas. “Oh, iya ibuku titip salam untukmu dan ini ada titipan dari beliau.” Azril pun memberikan bingkisan yang semalam diamanahkan. Ia tidak berharap balasan dari Safa, yang penting amanah sang ibu telah tersampaikan. Safa sendiri mengernyit bingung, enggan menerima bingkisan tersebut. Tatapannya tak lepas dari Azril seolah meminta penjelasan. Bagaimana bisa beliau memberikan sesuatu terhadap seseorang yang belum dikenalinya. “Safa, ini amanah dari ibuku. Tolong terimalah!” Azril membujuk dan tahu betul apa yang Safa pikirkan. Terlebih, ia belum pernah memperkenalkan ibunya. Pasti dia bingung dan banyak pertanyaan dalam otaknya. Safa agak ragu hingga memilih pasrah, lalu mengambil bingkisan yang Azril berikan. Seketika bibir Azril tersenyum seraya dalam hatinya berkata pasti ibunya sangat senang. Meski Safa belum sepenuhnya menerima kehadiran Azril. Tanpa pamit, Azril langsung pergi dan tidak ada sikap manis seperti pasangan lainnya. Walau Azril menginginkan hal itu, tetapi semua mustahil rasanya. Sementara Safa, penasaran dengan apa yang ada dalam bingkisan tersebut. Ia sedikit mengintip dan membuat otaknya menerka penuh tanya. “Apa ini?” Safa terkejut saat melihat benda berwarna merah di dalam. Ia pun mengambilnya, membuat debaran kuat dalam d**a. Safa pun semakin tercengang saat benda itu dibuka. Sebuah perhiasan kalung yang tampak mewah. Ia tidak bisa terima dan kembali memasukkan benda itu ke dalam tempatnya. Rasa gemuruh dalam d**a semakin menyeruak. “Apa maksudnya dia memberikan ini?” Tangannya mengepal keras tidak terima. “Jangan harap kamu bisa menyogokku dengan perhiasan, Ril!” lirih Safa sendu karena sampai kapan pun hatinya tidak akan luluh. Teringat luka hatinya yang masih terbayang bahkan Safa hampir trauma karenanya, tetapi dengan kehadiran Faqih membuatnya kembali membuka hati. Ah, amarah Safa semakin memuncak hingga akhirnya memilih bangkit dan keluar kamar. “Neng Safa mau pergi juga?” tanya Bi Inah melihat nona mudanya yang sudah rapi. “Iya, Bi, Ayah sudah berangkat?” Safa kembali bertanya ingin memastikan keberadaan ayahnya. “Sudah, Neng, barusan berangkat.” Safa mengangguk senang. Kesempatan dirinya untuk menyelesaikan urusan hati yang membuat pertanyaan panjang. “Neng mau pergi ke mana?” tanya Bi Inah sebelum nona mudanya pergi. “Ke rumah teman, Bi,” kata Safa yang sudah berjalan. Ia asal menjawab karena jika memberitahu jujur Bi Inah, pasti dicegah. Ia tahu betul sikap ayahnya yang pasti sudah mengingatkan pembantu rumahnya itu. Safa pun pergi sendiri bersama ojek online yang sudah ia pesan. Ia berjalan menuju rumah kekasihnya yang tidak ada kabar. Barangkali ia mendapat penjelasan dan keterangan di sana. Pencarian pertamanya setelah menanyakan kepada semua rekan dan media sosialnya yang tidak aktif. Safa nekat demi mengetahui keberadaan sang kekasih. Sesampainya, Safa agak ragu karena terlihat sepi seperti tidak berpenghuni. Saat hendak memasuki rumahnya, Safa diberhentikan oleh salah seorang yang mungkin penjaga rumahnya. “Maaf, Nona, cari siapa, ya?” “Saya mencari Faqih, Pak, apa dia ada di dalam?” Safa begitu sopan, walau dalam hatinya sedikit takut. “Maaf, Nona, sudah tiga hari ini rumahnya kosong karena tuan muda hendak melakukan pernikahan.” Bagai hantaman besar menusuk dadanya. Jantung Safa seakan berhenti sejenak dengan tubuhnya yang amat lemas. Ia sangat terkejut karena tiga hari yang lalu merupakan hari pernikahannya, tetapi justru Faqih tidak hadir. Lantas, ke mana dia pergi? Safa terdiam untuk mengatur napasnya yang sesak. “Apa Bapak tahu siapa wanita yang akan dinikahkan Faqih?” Hatinya menunggu jawaban yang terasa menjanggal. Entah mengapa ia merasa ada sesuatu di balik hilangnya sang kekasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN