Safa melenggang pergi tanpa memedulikan Azril yang mematung. Air matanya masih ingin tumpah, tetapi berusaha untuk tidak dikeluarkan dan tiba-tiba Safa dikagetkan oleh Marlan yang sudah berdiri di hadapan.
“Loh, kamu mau pergi?” tanyanya pada sang putri. “Azril mana?”
Safa tertegun dengan tubuhnya yang kaku. Matanya sedikit terpejam, berharap ayah tidak mendengar keributan di kamarnya tadi.
“A-ada di kamar, Yah!” jawab Safa gugup.
Marlan menggeleng menatap Safa yang sepertinya tidak baik. Ia paham jika Safa belum terima dengan pernikahannya, tetapi Safa harus sadar jika kekasihnya sudah pergi meninggalkan. Melihat ketegangan di wajah sang putri, Marlan tersenyum dan menuntun Safa ke meja makan.
Kebetulan makanan sudah siap dan sudah waktunya sarapan. Namun, ia tidak suka melihat wajah putrinya yang tidak ceria.
“Masih pagi itu harus senyum. Tidak baik wajah ditekuk kaya gitu. Kamu lagi ada masalah?” Marlan sudah menarik kursi untuk Safa duduk.
Dugaan seorang ayah memang selalu tepat sasaran, tetapi Safa yang mendengar pertanyaan itu langsung melengkungkan bibir tipisnya ke samping.
“Tidak ada, Yah, Safa baik ko.” Lagi-lagi Safa menjerit dalam hatinya karena harus berbohong. Ingin sekali mengatakan semuanya, tetapi ayah tidak akan mengabulkan. Apalagi ayah begitu percaya pada Azril.
Tak lama, Azril pun hadir menambah rasa kekesalan Safa di meja makan. Terlihat jelas betapa baiknya ayah pada pria itu hingga Safa mengalihkan pertanyaan untuk mengurangi rasa amarah yang ada.
“Ayah mau pakai lauk apa?” tanya Safa dengan tangan sebelah yang memegangi piring.
“Sayur dan tempe saja, Nak!” sambar Marlan cepat.
Safa mengangguk antusias, lalu memberikan piring itu kepada ayahnya hingga terdengar ucapan terima kasih. Safa pun membalas dengan senyum dan kembali mengambil piring kosong untuk diisi nasi.
“Ambilkan untuk suamimu juga, Nak!” Marlan melirik putrinya yang melupakan Azril.
Safa meneguk saliva, lalu menoleh ke arah Azril dengan tatapan sinis. Pria itu memang pandai mengambil hati ayah, tetapi jangan harap untuk mengambil hatinya dengan mudah. Bahkan, batinnya tidak berhenti bergelut karena Safa keberatan melayaninya.
Azril yang menyadari ketidaksukaan Safa pun tersenyum tipis. “Ah, tidak perlu, Pak, biar saya ambil sendiri saja.”
“Memang seharusnya begitu, kau punya tangan sendiri untuk apa jika tidak digunakan,” kata Safa dalam hati yang emosinya sudah meluap hingga ubun-ubun.
“Jangan, kalian ini sudah menikah dan seharusnya Safa melayani kamu,” tutur Marlan lembut hingga kembali menatap Safa seolah memberi peringatan.
Mau tidak mau, Safa yang merasa kesal pun tak bisa menolak perintah sang ayah. Ingat, demi ayah ia mau melayani Azril. Dengan hati yang tidak ikhlas, Safa mengambilkan nasi semaunya beserta lauk hingga piring itu penuh akibat ulahnya.
“Silakan dinikmati,” ujar Safa memberikan piring itu dengan senyum getir sekaligus rasa kesal yang menggebu.
Sedangkan Azril yang melihat piring itu sudah tertegun lebih dulu. Bagaimana tidak, isi piringnya sudah penuh dengan nasi juga berbagai lauk yang tidak mampu ia habiskan sendiri.
Sarapan pun selesai, Safa meninggalkan tempat untuk segera pergi, tetapi langsung ditahan oleh ayah membuat Safa sedikit tercengang.
“Kalo kamu mau pergi, lebih baik diantar Azril. Tidak baik wanita keluar sendiri, terlebih kamu sudah menikah, Fa.” Marlan sengaja menyindir Safa dan memberi ruang agar bisa beradaptasi dengan Azril. Safa tidak akan terbiasa jika terus menjauh dari suaminya sendiri.
Safa semakin murka mendengar perintah ayah yang menurutnya konyol. Bagaimana ia bisa mencari Faqih jika harus diantar dan diikuti oleh Azril. Safa tidak terima.
“Azril, lebih baik kamu segera bersiap,” kata Marlan memberitahu Azril.
Bahkan, Safa sudah memelas, tetapi ayah tidak memedulikan. Safa sangat kesal yang akhirnya terpaksa menunggu pria itu selesai berganti pakaian.
Keduanya pergi membuat Safa tak banyak berbicara. Sepanjang jalan bibirnya tak berhenti komat kamit dan tangannya sibuk menggeserkan layar ponsel.
“Kita mau pergi ke mana, Safa?” tanya Azril bingung. Ia tidak tahu ke mana arah tujuannya. Lagipula, sedari tadi Safa tak memberitahu.
“Terserah kamu. Kamu senang, ‘kan, Ayah memintamu untuk pergi denganku?” Ia sudah kesal karena satu mobil bersama pria yang dibencinya. Dalam hatinya ingin sekali berputar balik dan kembali ke rumah, lalu memilih bersantai daripada menyimpan amarah yang tertahan.
Bahkan, ia juga tidak tahu harus ke mana mencari Faqih karena semua kerabat tidak ada yang tahu kabarnya hingga membuat Safa memiliki kesempatan tipis untuk menemukannya. Nomor ponselnya pun masih tidak bisa dihubungi sampai sekarang.
“Ucapan ayahmu tidak salah, Fa, lagipula aku juga khawatir jika membiarkanmu pergi seorang diri,” kata Azril jujur. “Kamu ingin mencari Faqih, bukan?” Ayo kita cari. Aku antarkan kamu ke mana pun kamu mau.”
Ia melirik lekat wajah Safa tanpa ada ragu sedikit pun. Tidak ada yang salah juga dengan keinginan Safa mengenai kehilangan kekasihnya yang tiba-tiba. Kelihatannya Safa memang terpukul dan mencintai pria itu.
Namun, entah mengapa pria itu sangat tega menghilang di hari pernikahannya. Hal itu membuat Azril cukup penasaran.
Sedangkan Safa tak menanggapi pernyataan Azril. Ia tidak percaya jika pria itu mau menolongnya. Apalagi kedekatan bersama sang ayah membuat Safa menaruh curiga. Tidak menutup kemungkinan jika dia pasti akan menceritakan kepada ayah.
“Tidak perlu. Pulang saja ke rumah,” ujar Safa amat dingin.
Azril memutar bolanya heran. Padahal tadi dia sangat keras kepala sekali ingin mencari kekasihnya itu. Lantas, mengapa sekarang berubah pikiran? Ia pun melirik wanitanya jika dia tidak sedang mengigau berbicara seperti itu.
“Ka-kamu serius, Fa?” tanya Azril tak percaya bahkan sudah setengah perjalanan yang masih tanpa arah.
“Kamu pikir wajahku terlihat bercanda?” Safa mengedepankan wajahnya. “Jika kamu keberatan, turunkan saja aku di sini.”
Safa tidak ingin mengambil perkara, terlebih berurusan dengan pria di hadapannya yang semakin panjang. Lagipula, ia tidak sudi jika harus berlama-lama satu mobil bersamanya. Walau niat dia sudah baik ingin menolong.
Pria itu pun menghela napas pasrah. Berucap istigfar dalam hati, lalu menuruti keinginan wanitanya. Ia kembali pulang ke rumah tanpa banyak tanya.
Sesampainya, Safa langsung turun dan berlari dengan keras. Bahkan, ia melewati Marlan yang berada di ruang tamu hingga pertanyaan pun ia abaikan. Safa tidak ingin diganggu dan ingin menenangkan pikirannya.
Di dalam kamar, Safa menumpahkan kekesalannya dan meraung tak terima seiring hatinya yang kacau. Semua orang begitu egois, tidak ada yang mengerti perasaan dan kebahagiaan Safa.
“Bu, Safa kangen Ibu. Safa mau tinggal sama Ibu saja,” lirih Safa dalam tangisnya. “Dan Mas Faqih di mana kamu, Mas! Kenapa semua orang tidak ada yang tahu keberadaanmu?”
Safa semakin terisak seiring dadanya yang amat sesak. Ia merintih merasa hidupnya tidak adil dan emosi kian menggebu membuat Safa histeris. Bahkan teriakan itu terdengar oleh Marlan hingga menghampiri putrinya di kamar.
“Safa!” Marlan yang melihat pun langsung mendekap tubuh putrinya erat. “Maafin Ayah. Ayah tahu kamu marah sama Ayah, tetapi semua yang terjadi sudah menjadi takdirmu, Nak. Lagipula tidak ada pria baik yang menghilang di saat hari pernikahannya.”
Safa hanya menitikkan air mata. Ia menyayangi Marlan, tetapi mulutnya tidak bisa berkata buruk padanya. Semua yang ia rasakan pun hanya tertahan dalam d**a.
“Tapi, Yah ... Azril juga belum tentu baik.” Safa membuka suaranya dengan penuh tanda tanya.
Marlan menggeleng dengan sendu. “Kamu salah, Azril pria baik dan Ayah telah mengenal Azril, Nak!”
Tenggorokan Safa tercekat dan terkejut mendengar pengakuan sang ayah. “Ja-jadi, Ayah?”