Livy masih terdiam sambil melipat erat bibirnya. Rainer terdiam juga. Sebab sedang menunggu jawaban dari putrinya yang tetap saja membungkam mulutnya dengan rapat.
"Guru les bahasa kamu??" pertanyaan yang akhirnya Rainer layangkan. Karena sudah tidak sabaran.
Livy menggeleng cepat. Ia tidak mau orang yang tidak bersalah malah jadi tersangka. Tapi sialnya, ia juga tidak tahu, siapa orang itu.
"Lalu siapa??? Apa diam-diam, kamu memiliki kekasih?? Atau bagaimana??" cecar Rainer yang sudah mulai kembali habis kesabarannya.
"Livy tidak tahu, Dad. Livy tidak kenal dia."
Dahi Rainer nampak mengerut. Lelucon macam apa ini?? Bagaimana mungkin putrinya tidak tahu, siapa lelaki yang sudah menanamkan benih di rahimnya.
"Bagaimana dan dimana!?? Coba ceritakan, dimana dan kapan hal itu terjadi!?" cetus Rainer, yang ingin mencoba untuk mencari jawaban dari clue yang putrinya berikan.
"Waktu launching produk terbaru Dad waktu itu. Livy pergi dari sana. Livy bosan tidak pernah kemana-mana. Kalau pergi pun, harus selalu dikawal dan harus bersama Dad ataupun Mommy. Tadinya, Livy cuma mau sembunyi. Tapi, tidak tahunya, Livy malah masuk ke dalam kamar orang jahat dan dia malah menyakiti Livy di sana."
"The Luxury Hotel ??" ucap Rainer yang dibalas anggukan oleh Livy.
Rainer ambil ponselnya dari dalam laci nakas dan berjalan cepat sembari keluar dari dalam kamarnya. Sementara Lily nampak memandangi putrinya, yang tengah mengusap air di kedua sudut matanya.
Terjadi lagi. Apa yang menimpanya dulu, kini terulang kepada anak perempuannya. Sudah sengaja menjaganya dengan sedemikian rupa, tetapi ternyata, nasib buruk itu tetap tidak bisa dihindari juga. Sekarang ia tahu, bagaimana hancurnya perasaan orang tuanya dulu. Betapa sakitnya, melihat putri mereka mengalami hal buruk semacam ini. Pantaslah, bila ia sampai ditampar berkali-kali. Ternyata begini rasa sakit, yang melebihi sebuah tamparan yang keras.
Lily mendekat dan mendekap tubuh Livy yang bergetar, karena tangisan yang tengah ia lakukan.
"Maafkan Livy, Mom. Maaf."
Lily tidak mengatakan hal apapun. Ia hanya mempererat dekapannya saja. Tidak ingin menghakimi. Karena ia tahu persis, bagaimana rasanya tidak didengar. Ia tahu dengan jelas bagaimana rasanya dan tentu saja, ia tidak akan mengulangi hal, yang pernah dilakukan oleh ibunya kala itu.
Sementara itu di luar. Rainer tengah menuruni tangga dengan langkah yang cepat, di genggaman tangannya sudah ada ponsel, yang menempel di daun telinganya.
"Halo, Ron," ucap Rainer ketika panggilan teleponnya akhirnya dijawab.
"Iya, Bos. Siap. Ada yang bisa saya kerjakan??" tanya Aaron, yang selalu siap melakukan perintah apapun itu dari atasannya tersebut.
"Mintalah kepada pihak The Luxury Hotel, rekaman video cctv, tempat kita launching produk bulan lalu. Berikan saja berapapun itu, agar mereka memberikannya!" cetus Rainer.
"Tapi, untuk apa, Bos??"
"Jangan banyak bertanya!! Cepat lakukan saja!!" seru Rainer dengan sangat kencang. "Aku juga sedang menuju ke sana sekarang."
"Iya. Ok baiklah."
Rainer memasuki mobil dan menutup pintunya dengan kasar. Sial sekali. Kenapa hal semacam ini, harus terjadi di hidupnya?? Kenapa harus putrinya, yang mengalami hal ini??
"Ayo jalan! Kita pergi ke The Luxury Hotel!!" perintah Rainer, kepada supir yang sudah memasuki mobil.
"Baik, Tuan."
Mobil pun akhirnya melaju juga, dengan membawa Rainer beserta dengan api amarahnya yang sulit untuk dipadamkan.
Sesampainya di The Luxury Hotel.
Rainer terdiam, sembari melihat rekaman video, yang memperlihatkan kemana perginya Livy malam itu. Saat dimana ia berlari dan dikejar oleh para bodyguard-bodyguardnya. Sampai akhirnya ia memasuki salah satu kamar di hotel ini.
"Siapa yang berada di kamar itu??" tanya Rainer pada pihak keamanan.
Hembusan napas dilakukan oleh orang tersebut. Tidak bisa melakukan ini sembarangan. Tetapi nominal uang yang dijanjikan pun tidak main-main. Jadi, ia lakukan saja, setiap permintaan yang Rainer katakan.
"Tamu di kamar 106, atas nama Samuel Luke Anderson, Pak," jawabnya yang setidaknya sudah menjadi clue yang cukup mumpuni.
"Baiklah. Ron, bereskan sisanya. Aku tunggu di mobil."
"Siap, Bos!"
Rainer duduk termenung pada kursi belakang mobil. Hanya ditemani oleh supir, yang sedang berada di luar mobil. Ia hembuskan napas sembari memijat-mijat ruang diantara kedua matanya. Jadi begini rasanya. Jadi beginilah dulu, apa yang dirasakan oleh ayah mertuanya. Sekarang, entah karma atau bagaimana, pada akhirnya ia juga mengalami nasib sial ini. Putrinya yang ia besarkan dengan penuh cinta kasih. Harus berakhir di atas ranjang dengan seorang bajingann, yang entah seperti apa rupanya.
Pintu belakang mobil tiba-tiba saja terbuka dan Aaron masuk, lalu duduk di sisi Rainer, dengan tangan yang sudah membawa segala hal yang kiranya ia butuhkan.
"Sudah kamu cari tahu, tentang laki-laki itu??" tanya Rainer.
"Iya. Sudah. Kamar 106, di tempati oleh Samuel Luke Anderson. CEO Luxio Enterprise. Putra dari pemilik perusahaan tersebut yaitu, Griffin Lukas Anderson."
"Ikut aku! Kita pergi ke sana sekarang juga!!" cetus Rainer.
"Baiklah. Aku ambil mobilku dulu," ucap Aaron, yang hendak keluar tetapi dicegah oleh Rainer.
"Tidak usah!! Berikan saja kuncinya kepada supir dan kamu yang membawa mobil ku ini."
"Ok baiklah," ucap Aaron yang kini keluar hanya untuk bertukar kunci dengan supir dan masuk kembali serta duduk di kursi kemudi.
Saat berada di perjalanan.
"Mau ke rumah atau ke perusahaan mereka?" tanya Aaron sembari mengemudi.
"Sudah kamu dapatkan alamat rumahnya?" tanya Rainer.
"Iya, tentu saja. Aku langsung mencari tahu juga tadi. Kemungkinan, Tuan Griffin berada di rumah. Sementara putranya berada di perusahaan."
"Kalau begitu, kita pergi ke rumahnya saja!" perintah Rainer.
"Siap!" balas Aaron yang kembali fokus mengemudi. Namun, saat berada di tengah perjalanan. Ia nampaknya penasaran dan ingin tahu alasan Rainer mendatangi keluarga itu.
"Kenapa kita pergi ke sana?? Apa kamu ada keperluan bisnis, dengan Tuan Griffin??" tanya Aaron, yang belum dijelaskan secara mendetail. Apa kiranya hal yang sedang Rainer cari dari keluarga tersebut.
"Aku ada perlu dengan putranya yang brengsekk!"
"Ada keperluan apa memangnya, dengan putra dari keluarga itu?? Apa ada hubungannya dengan anak bungsumu?" tanya Aaron lagi. Setelah mengingat-ingat, pada rekaman cctv, putri dari atasannya ini yang memasuki kamar lelaki itu.
"Ya. Ada. Dia sudah menyentuh putriku! Si brengsekk itu, dia sudah membuatnya hamil!"
Aaron mengerem mendadak dan langsung menoleh kepada Rainer, yang tengah mengepalkan tangannya.
"Hah?? Yang benar?? Anakmu Livy??" tanya Aaron dengan kelopak mata yang terbuka lebar.
"Kalau tidak benar, untuk apa aku bersusah payah mencari informasi tentangnya!! Aku bukan orang yang tidak punya pekerjaan!! Tapi, kalau sudah menyangkut putriku, aku tidak bisa lagi tinggal diam! Cepatlah jalan! Aku benar-benar sudah tidak sabar untuk segera sampai di sana!" cetus Rainer.
"Ok baiklah." Aaron bergegas melaju lagi dan secepat mungkin, untuk bisa segera mencapai kediaman keluarga Anderson.
Sementara itu di kediaman keluarga Anderson.
Griffin tengah menautkan kancing jas hitamnya di depan cermin. Hingga kancing terakhir tertaut, disaat itu juga, Grizelle masuk ke dalam kamar.
"Kamu mau kemana berdandan rapi begitu??" tanya Grizelle sembari berjalan mendekati Griffin.
"Aku akan pergi ke kantor hari ini. Ingin melihat-lihat keadaan di sana."
"Kenapa tidak berangkat bersama Samuel saja tadi?" tanya Grizelle.
"Biar saja dia duluan. Aku juga ingin melakukan sidak atas kinerjanya di sana. Ya sudah. Aku berangkat dulu ya?" ucap Griffin yang tidak pernah lupa, untuk memberikan kecupan dulu. Di bibir dan lama, hingga Grizelle melayangkan cubitan di pinggang Griffin.
"Awh! Astaga! Kenapa aku selalu saja dicubit??" tanya Griffin dengan dahi yang mengernyit.
"Kita ini sudah tua, Grif! Malu!" cetus Grizelle.
"Kenapa juga harus malu? Kita ini suami-istri kan??" ucap Griffin sembari menaikkan alisnya bersamaan.
"Hah kamu itu. Ya sudah sana! Kamu mau berangkat kan? Aku juga mau siap-siap pergi arisan. Mau mandi dulu."
"Ya Sudah. Aku berangkat," ucap Griffin sembari pergi ke arah pintu dan keluar melalui pintu tersebut.
Sudah sampai di tangga paling bawah. Tiba-tiba saja langkah kakinya di hadang oleh penjaga, yang menghampiri dengan tergesa-gesa.
"Tuan, ada tamu di luar," ucap penjaga tersebut.
"Siapa??" tanya Griffin.
"Tuan Wilson. Tuan Rainer Wilson."
Griffin kerutan dahinya. Nama yang sepertinya tidak asing. Oh benar, pemilik dari Time Luxury bukan? Mereka dulunya pun, sudah sempat bekerja sama dalam bisnis. Apa sekarang, ingin menjalin hubungan kerjasama lagi?
"Ya sudah. Suruh saja masuk!" perintah Griffin.
"Baik, Tuan."
Si penjaga nampak keluar dalam beberapa saat dan kembali lagi, dengan membawa Rainer serta Aaron bersamanya.
"Selamat pagi dan selamat datang Tuan Wilson! Lama tidak bertemu!" ucap Griffin dengan tangan yang ia lebarkan. Senang sekali, bisa kedatangan tamu spesial di pagi hari begini. Padahal, ia terkenal sibuk. Tidak sembarang orang bisa menemuinya. Ingin membuat janji bertemu pun sulit. Sekarang, ia malah melihat orang tersebut berada di kediamannya begini. Sungguh keberuntungan yang tidak datang kepada setiap orang sepertinya.
"Ayo, silahkan duduk," ucap Griffin setelah menyalami Rainer.
"Apa ada yang bisa saya bantu Tuan Wilson? Ataukah, ada hubungannya dengan sebuah kerja sama bisnis?" tanya Griffin saat mereka semua sudah duduk di sofa.
"Untuk hal yang satu itu belum. Tapi, saya ingin menemui seseorang di sini," ucap Rainer.
"Siapa??" tanya Griffin dengan dahi mengerut.
"Putra anda. Bukankah, anda memiliki seorang putra??"
"Oh iya, benar sekali. Dia adalah putra saya satu-satunya dan sekarang, dialah yang hampir sepenuhnya menangani perusahaan."
"Kalau begitu, tolong panggilkan dia sekarang juga. Saya ingin bicara dengannya."
"Em, kebetulan dia sudah pergi ke kantor. Tapi, saya akan menghubunginya dan memintanya untuk pulang. Kalau memang Tuan ingin bertemu dengannya. Tunggu sebentar ya, Tuan," ucap Griffin yang kini nampak menghubungi orang yang dimaksud melalui telepon selulernya.
"Sudah, Tuan. Sudah saya hubungi. Kita tunggu saja, sebentar lagi dia akan tiba di sini. Oh iya, ingin minum apa?"
"Tidak usah. Tidak perlu repot-repot," jawab Rainer dingin.
"Jangan begitu, Tuan. Saya pasti akan menjamu, Tuan dengan baik di sini. Tolong buatkan teh untuk tamu-tamu kita ini ya?" perintahnya kepada pelayan.
"Baik, Tuan."
Sudah menunggu beberapa puluh menit. Akhirnya, yang ditunggu-tunggu tiba juga. Seorang pria berjas hitam, dengan kemeja maupun celana yang berwarna senada pun datang dari luar. Ia berjalan dengan gagahnya dan mendekat ke arah orang-orang, yang sudah berkumpul di ruang tamu. Sontak Rainer langsung bangkit dari sofa dan menatap orang, yang sudah hampir dekat dengannya.
"Nah, ini dia putra saya. Sam...,"
BUGHHH!!!!!!
Sebuah bogem mentah Rainer layangkan, dengan sekencang-kencangnya dan membuat Samuel jatuh tersungkur ke lantai.