Griffin membeliak kaget dalam seketika. Setelah melihat putranya ditumbangkan, dengan sekali pukulan yang telak.
"Astaga!! Apa-apaan ini?? Kenapa putra saya dipukul??" ucap Griffin, yang langsung berusaha untuk membangunkan putranya, yang tengah mengerjap-ngerjapkan mata sembari menyentuh rahangnya yang terasa sakit.
"Dia pantas menerimanya! Bahkan, seharusnya dia mendapatkan yang lebih dari ini!!" seru Rainer berapi-api dan dengan bola mata yang seperti akan keluar dari tempatnya.
"Tapi kenapa?? Apa kesalahannya??" tanya Griffin.
"Dia! Si bajingann ini!! Dia sudah menodai putri saya! Dia telah menghamilinya!!" seru Rainer dengan sangat bengis.
"Apa??" Griffin memutar kepala, sekaligus bola matanya kepada Samuel dan berkata, "Benar, apa yang dikatakan Tuan Wilson tadi??? Kamu menghamili putrinya???"
"Tidak tahu, Dad. Sam tidak kenal dengan putrinya!" seru Samuel yang merasa telah difitnah.
"Masih berani mengelak!!" seru Rainer yang sudah kembali maju untuk memukul, tetapi malah dihalang-halangi oleh Griffin dan juga tangannya dipegangi oleh Aaron.
"Tenang, Tuan! Kita bicarakan ini baik-baik! Jangan menuduh sembarangan tanpa bukti!" bela Griffin sembari merentangkan kedua tangannya untuk menghalau Rainer.
Rainer tersenyum kecut. "Menuduh?? Aaron!" seru Rainer dan dengan secepatnya, orang yang Rainer panggil itu mengeluarkan segala jenis bukti. Termasuk, dengan foto Livy juga di sana.
Dalam sekejap, Samuel membuka mulutnya dan menganga, saat melihat foto wanita, yang ia temui sekali. Tetapi masih sangat ia ingat sekali wajahnya. Wanita itu...
'Oh s**t! Jadi, wanita yang waktu itu, adalah putrinya??'
Griffin mendekat. Ia mengecek segala bentuk bukti, yang dikeluarkan dan langsung menatap putranya, yang kini malah diam seribu bahasa.
"Sam, What is this?? Are you crazy?" ucap Griffin dengan bola mata yang membulat sempurna, terhadap putranya yang juga masih tidak menyangka.
"I don't know dad!" Seru Samuel, bukan ingin menghindar. Tapi, ia tidak tahu bila wanita itu bahkan hamil. Bisa saja kan, bukan karena ulahnya?
"Hanya satu kali kan?" ucap Samuel lagi, yang malah ditambahkan pukulan, dengan kertas-kertas yang berada di tangan Griffin pada kepala Samuel.
"Diam lah!!" seru Griffin kepada putranya sambil menepuk-nepuk kepalanya berkali-kali.
Kini, Griffin beralih kepada Rainer. Ia menelan salivanya dan mulai memohon sedikit pengampunan.
"Maafkan putra saya. Dia... Saya akan memberinya pelajaran."
"Oh tentu saja! Biarkan hukum saja yang berbicara! Jebloskan dia ke dalam penjara!! Penjahat ini, memang harus diberi pelajaran!!" seru Rainer.
"Apa?? Tidak, Tuan. Kita bisa membicarakan ini baik-baik kan?? Tidak perlu sampai ke pihak kepolisian. Kita selesaikan saja secara kekeluargaan. Tidak dengan gegabah. Ini semua menyangkut masa depan perusahaan kita juga bukan?? Bagaimana, kalau jadi berita di luaran sana?? Bukan hanya satu keluarga yang terkena imbasnya. Tetapi, dua keluarga dan dua perusahaan juga akan terkena efeknya. Jadi, lebih baik kita selesaikan ini dengan kepala dingin, Tuan. Tidak dengan gegabah," jelas Griffin.
Aaron mendekati Rainer yang masih terlihat kesal dan berbisik-bisik, "Aku rasa, apa yang dikatakan Tuan Griffin ada benarnya."
"Apa maksudmu??" ucap Rainer dengan dahi yang mengerut kepada Aaron.
"Dejavu, Rai. Ingat dulu dengan Lily?" bisik Aaron dengan lebih pelan lagi.
Rainer terdiam. Ia pandangi lelaki, yang raut wajahnya saja sudah membuatnya kesal setengah mati. Masih saja berusaha berkelit, padahal semua bukti telah ia tunjukkan.
"Tuan tunggu saja di rumah. Nanti malam. Saya sekeluarga akan datang ke sana. Tidak akan kabur kemanapun. Saya pastikan, nanti malam kami akan pergi ke sana. Kita akan selesaikan semua ini secara baik-baik, kekeluargaan."
Rainer masih terdiam. Bak memakan buah simalakama. Bila ia teruskan tuntutannya, seluruh dunia akan tahu, apa yang terjadi kepada putrinya. Tetapi, bila ia lepaskan begitu saja, ia amat sangat tidak rela dan tidak mau hal itu terjadi.
"Rai?" ucap Aaron, yang membuat isyarat untuk mengikuti saran dari Griffin.
Rainer berusaha meredakan emosinya yang menggebu-gebu. Ia coba atur napasnya. Mencoba untuk sedikit mendinginkan kepalanya yang terasa panas.
"Rai," ucap Aaron sembari menyentuh lengannya.
"Ya sudah. Terserahlah! Bagaimana baiknya menurutmu!" ucap Rainer pasrah.
"Baiklah," balas Aaron, yang kini mulai maju dan berhadapan langsung dengan Griffin.
"Tuan Anderson, kami tunggu kedatangan, Tuan. Dan kami berharap, tidak ada kata melarikan diri atau semacamnya. Karena Tuan pasti tahu, konsekuensi dari hal itu "
"Iya iya. Tenang saja. Nanti malam. Pukul tujuh saya sekeluarga sudah akan berada di sana tepat waktu. Tidak akan terlambat."
"Baiklah. Kami tunggu dan kami permisi dulu," ucap Aaron sembari berusaha merangkul Rainer, yang malah menghempaskan rangkulannya dengan kasar dan berjalan lebih dulu.
Di dalam mobil.
"Apa yang kamu lakukan, Ron?? Harusnya, aku hajar saja dia sampai mati tadi!" seru Rainer yang amarahnya kembali memuncak. "Atau, aku kembali saja dan lakukan itu sekarang??"
"Sabar, Rai. Tidak akan ada ujungnya, bila menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Apalagi dengan kondisi sedang emosi begini. Tenanglah sedikit," nasehat Aaron.
"Tenang?? Apa kamu bilang tadi?? Kalau seandainya, putrimu yang berada dalam masalah ini, apa kamu masih bisa tetap tenang!??"
"Iya. Aku pun pasti sama marahnya. Tapi, kita tetap harus mencari solusi untuk permasalahan ini kan?? Ingatlah, sejak dulu kita selalu berusaha menutupi skandal mu bersama Lily dan untuk apa semua itu?? Untuk nama baikmu dan nama baik perusahaan juga. Begitu juga dengan nama Lily. Apa kamu lupa hal itu?? Sekarang, keadaannya pun sama, hanya tukar posisi saja."
"Dan maksudmu, apa yang aku lakukan dulu, harus dilakukan oleh anakku juga?? Aku tidak rela dia bersama dengan bajingann itu!"
"Ya sudah. Gugurkan saja kalau begitu!" cetus Aaron tidak benar-benar serius. Hanya ingin mengetes saja, kira-kira Rainer akan melakukannya atau tidak.
"Apa?? Gugurkan??" ulang Rainer.
"Iya. Apalagi jalan keluar yang terbaik? Hanya ada dua pilihan saja."
Rainer bergeming sembari mengusap-usap pelipisnya sendiri. Tidak tahu harus apa. Tidak mengerti harus bagaimana. Tetapi yang jelas, ia harus membicarakan masalah ini dengan Lily dulu.
"Ya sudah. Cepat pulang sekarang! Aku ingin cepat-cepat sampai di rumah!" cetus Rainer.
"Baiklah. Kita jalan sekarang," ucap Aaron sembari melaju kembali dengan mobilnya.
Sementara itu di dalam kediaman keluarga Anderson.
Samuel yang sudah disuruh duduk pada sofa, kini tengah melirik kepada sang ayah, yang tengah memijat-mijat ruang diantara kedua matanya. Ia akan segera diadili sekarang juga. Tetapi rasanya, ia sudah tidak betah hanya duduk diam saja.
"Dad, I'll go back to the office first, okay?"
"Diam lah dasar keparatt!!" seru Griffin dengan kelopak mata yang terbuka lebar.
Samuel menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada sofa. Bertepatan dengan datangnya Grizelle, yang baru saja turun usai mandi dan bersiap-siap untuk pergi arisan.
"Lho? Kamu kok di sini, Sam?? Kamu juga, kenapa masih di sini?? Katanya ingin menyusul Samuel ke kantor?" tanya Grizelle.
Kedua-duanya diam saja dan Grizelle yang merasa sudah akan terlambat, nampak melihat jam pada pergelangan tangannya dan sudah mengambil ancang-ancang untuk berangkat.
"Sudah ya? Mom mau pergi dulu. Sudah terlambat," ucap Grizelle yang baru beberapa langkah berjalan, tapi malah dihentikan oleh ucapan Griffin.
"Tidak usah pergi dulu untuk hari ini," ucap Griffin.
"Lho kenapa memangnya??" tanya Grizelle.
"Kita bereskan masalah anak kurang ajar ini dulu!" cetus Griffin.
Grizelle mendekat dan menanyai apa kiranya masalah, yang dibuat oleh putranya tersebut. "Kenapa memangnya dengan Samuel?? Apa dia membuat masalah di kantor?" tanya Grizelle yang kini duduk sejajar dengan Griffin sembari menatap Samuel di depan mereka.
"Lebih dari itu! Si brengsekk ini, malah menghamili anak orang!" cetus Griffin.
"Hah?? Yang benar?? Siapa?? Jangan-jangan, dia hanya mengaku-ngaku!" cetus Grizelle, yang merasa putranya adalah anak yang baik sejak dulu.
"Bagaimana bisa mengaku-ngaku, kalau yang dihamilinya adalah anak pemilik Time Luxury!" cetus Griffin.
"Hah? Yang benar? Kenapa bisa?? Memangnya, kamu menjalin hubungan dengannya??" tanya Grizelle sembari menatap putranya.
"Tidak, Mom," balas Samuel.
"Kalau tidak, kenapa bisa kamu membuatnya hamil??" cecar Grizelle.
Samuel menggaruk kepalanya. Bingung harus menjawab bagaimana pertanyaan ibunya ini.
"Jawab, Sam!!" seru Grizelle.
"Itu tidak sengaja, Mom. Sam tidak bermaksud begitu. Dia sendiri, yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar hotel."
"Lalu??"
"Ya, Sam tidak sengaja lakukan itu. Tidak tahu, kalau akan sampai hamil."
"Astaga!" seru Grizelle sembari bersandar lemas pada sofa. Like Father Like Son. Kenapa suaminya menurunkan kebejatan ayahnya begini?? Dulu pun, ia sempat dibuat hamil, walaupun akhirnya keguguran.
"Lalu bagaimana sekarang??" tanya Grizelle sambil menatap Griffin yang masih memijat-mijat ruang diantara kedua matanya.
"Nanti malam, kita pergi ke sana. Kita selesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Karena kalau tidak, mereka pasti akan menjebloskan Samuel ke dalam penjara."
"Memangnya mereka punya bukti??" ucap Grizelle yang langsung disodorkan lembaran kertas, yang digulung.
Grizelle ambil dan lihat dengan seksama isi dari lembaran kertas itu, lalu kemudian bersandar dengan lemas lagi.
"Lalu bagaimana sekarang?" tanya Grizelle.
"Dia harus bertanggung jawab dan harus menikahi putrinya," jawab Griffin.
"Wow wow tunggu dulu. Menikah?? Sam tidak mau menikah!" cetusnya, yang memang selain belum siap. Ia juga masih ingin bersenang-senang.
"Kalau begitu, masuk dan membusuk saja di dalam penjara!!" cetus Griffin.
"Dad, tapi Sam belum siap menikah," elaknya lagi.
"Tapi usiamu saja sudah kepala tiga!! Sudahlah! Tidak ada kata siap tidak siap. Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu! Tetapi kalau tidak mau? Dad yakin sekali, mereka akan mengejar sampai dapat dan bahkan bisa saja langsung menghabisi nyawamu! Jangan main-main dengan keluarga itu! Mereka memiliki uang dan juga kekuasaan, lebih dari apa yang kita punya! Apapun bisa mereka lakukan! Dad bukan menakut-nakuti. Hanya kenyataannya saja memang seperti itu!" cetus Griffin.
Tangan kanan Samuel mengepal dengan gigi yang gemeretak. Ada-ada saja, masalah yang menyebalkan seperti ini.
Sementara itu di kediaman keluarga Wilson.
Rainer yang baru saja tiba, langsung naik ke lantai atas. Ia hendak menemui Lily, yang kebetulan sekali baru akan keluar dari dalam kamar.
"Dia tidur?" tanya Rainer, yang melihat dari celah pintu, yang baru akan Lily tutup.
"Iya, mungkin kelelahan. Dia menangis terus sejak tadi."
"Ayo kita bicara," ajak Rainer yang menggiring Lily ke kamar lain dan Lily pun menutup rapat pintu kamar.
Di kamar lainnya.
"Aku sudah menemui lelaki itu dan juga keluarganya tadi. Bahkan, aku juga sudah sempat menghajarnya."
"Terus?" ucap Lily tanpa menatap Rainer, yang kini tengah duduk di sisinya.
"Mereka akan datang ke sini dan ingin menyelesaikan secara kekeluargaan," sambungnya lemas.
"Lalu bagaimana lagi?" tanya Lily.
"Aku, aku juga bingung."
Lily menghela napas. "Ini karma bukan sih, Mas??" tanya Lily sembari menoleh kepada Rainer.
"Aku tidak tahu. Tapi aku rasa, ini takdir yang tidak bisa kita hindari. Kita sudah berusaha untuk menjaganya dengan baik bukan? Meskipun pada akhirnya, harus berujung seperti ini juga." Rainer menghela napas dan berkata lagi.
"Menurut kamu, bagaimana kalau kita minta Livy, untuk menggugurkan kandungannya?" tanya Rainer yang dibalas dengan kerutan yang banyak di dahi Lily.
"Mas juga ingin melakukan itu terhadap Matthew dulu?" ucap Lily dan langsung membuat Rainer panik.
"Tidak! Mana mungkin aku melakukan itu?? Aku menyayangi Matthew. Bahkan, aku meminta kamu untuk menjaganya dengan baik bukan??"
"Lalu bagaimana dengan Livy?" ucap Lily lagi dan membuat Rainer serba salah lagi.
"Lalu harus bagaimana sekarang?? Aku benar-benar tidak rela, melihat putri kita bersama lelaki brengsekk seperti dia. Kamu pun pasti begitu. Iya kan?"
"Iya. Tapi, kita masih bisa mencari cara lain kan?"
"Cara apa??" tanya Rainer.
"Kita bisa meminta beberapa syarat, kalau memang mereka berniat untuk menyelesaikannya dengan sebuah pernikahan. Yang jelas, kita buat Livy merasa nyaman."
Rainer menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sepertinya, memang tidak ada cara lain lagi.
"Baiklah. Aku ikuti saran kamu saja. Aku rasa, kamu yang lebih tahu dan lebih paham tentang hal ini," ucap Rainer pasrah. Ia tahu persis, bahwa Lily pasti mengerti, karena ia sendiri, pernah mengalami posisi putri mereka sekarang.
Malam harinya.
Livy menggenggam erat tangan Lily, saat ia baru saja duduk diantara orang-orang yang tidak ia kenali. Meski ada satu orang juga, yang terselip di sana dan orang itu adalah orang, yang sudah menyakitinya dan kini terlihat tengah menatap dirinya, dengan kelopak mata yang tidak bergerak sama sekali.