"Tumben sekali. Kamu mau tidur di sini," ucap Lily yang sudah merebahkan tubuhnya bersama dengan Putrinya Livy.
"Iya, Mom. Livy takut tidur sendirian. Tadi sempat mimpi buruk."
"Ya sudah. Sekarang tidur ya? Mommy temani," ucap Lily sembari membelai rambut putrinya tersebut.
Livy memejamkan matanya dan mengangguk. Sementara Lily terus memberikan belaian. Meski putrinya sudah terpejam.
Tepat di tengah malam.
"Lepaskan aku! Aku mohon lepas!"
Lily mengernyitkan dahinya. Ia yang baru akan terlelap itupun menoleh, kepada wanita muda, yang ternyata masih terlelap di sisinya. Matanya terpejam, tapi air bening malah keluar dari kedua sudut matanya dan ia nampak tersedu-sedu sendiri.
"Lepas! Itu sakit!" ucap Livy lagi dengan begitu jelas dan sontak membuat Lily cepat-cepat mengguncangkan bahu putrinya.
"Hey, Livy?? Ayo bangun!" ucap Lily disertai guncangan yang cukup kencang di bahu Livy.
Livy bukan kelopak matanya dengan napas yang terengah-engah. Ia lihat juga, wajah sang ibu yang penuh dengan kekhawatiran.
"Mommy!" seru Livy sembari mendekap erat tubuh ibunya.
"Kamu kenapa?? Mimpi buruk??" tanya Lily.
Livy mengangguk cepat dan semakin tersedu-sedu. Sementara Lily mengusap bahunya dan melontarkan kata-kata, yang mungkin bisa menenangkan putrinya.
"Sudah tidak apa-apa. Itu hanya mimpi. Sudah tenang ya?"
Livy mengangguk pelan dengan tangan yang semakin mengerat di tubuh ibunya. Ingin cerita. Tapi ia takut sekali. Takut disalahkan dan takut dimarahi, karena semua yang terjadi, karena ulahnya sendiri, yang sudah berusaha lari dari pengawasan.
Sudah mulai sedikit tenang dan sudah lelah menangis dalam pelukan. Livy melepaskan dekapan sang ibu dan tertunduk diam. Lily pandangi putrinya, dengan segala kejanggalan yang memenuhi isi pikirannya.
"Kamu mimpi apa?" tanya Lily lembut.
Livy gelengkan kepalanya. "Tidak tahu, Mom. Livy lupa."
"Ya sudah. Kalau begitu, kamu tidur lagi saja ya?"
Livy mengangguk dan ia pun kembali terlelap lagi sambil diselimuti oleh sang ibu, yang memandanginya dengan penuh kekhawatiran.
Keesokan harinya.
Lily terbangun, setelah mendengar suara dari dalam kamar mandi. Ia bergegas turun dari atas tempat tidur dan pergi kepada putrinya, yang sedang membungkuk di depan wastafel.
"Hoek!" Livy gelengkan kepala, dengan rasa mual yang tidak tertahankan dan tiba-tiba saja menerima pijatan yang lembut, tepat di bagian belakang lehernya.
Kran dinyalakan dan Livy langsung membasuh mulutnya, lalu menatap Lily, yang dahinya penuh dengan kerutan dan sekarang, sedang berusaha membantu Livy menyeka bibirnya yang basah.
Lily terdiam dengan perasaan yang campur aduk. Ia mulai merasa sesuatu di dalam dadanya bergemuruh dengan kencang. Kenapa firasatnya pergi pada kemungkinan gila itu?? Dan semakin lama, ia malah semakin merasa yakin saja. Tidak mungkin kan, putrinya ini...
"Kamu tunggu di sini," ucap Lily yang kini kembali masuk ke dalam kamar dan mengambil sesuatu dari laci nakas, yang selalu ia sediakan untuk berjaga-jaga. Tadinya hanya untuk dirinya sendiri. Tetapi kini, ia malah memberikan benda tersebut, kepada putri semata wayangnya yang nampak kebingungan.
"Coba ini," ucap Lily sembari menelan salivanya sendiri.
Livy tertegun sejenak. Ia lihat benda yang di usianya sekarang, bukan tidak paham itu apa. Tapi yang jadi pikirannya sekarang, berarti ibunya ini, sudah mulai curiga, dengan apa yang terjadi terhadapnya?
"Ayo, coba ini. Kamu lihat arahan di bungkusnya. Lalu kembali ke sini lagi dan berikan kepada Mommy."
"Mom, tapi...,"
"Coba dulu!!" seru Lily yang sudah sangat gemas sekali dan tidak sabaran.
"Iya, Mom. Livy akan coba," ucapnya sembari mengambil benda tersebut dari tangan sang ibu.
Livy masuk ke dalam kamar mandi dan Lily langsung menautkan kedua tangannya yang terasa dingin. Masih berharap, bila apa yang ia curigai tidak terjadi. Masih sangat menginginkan, bila apa yang terjadi padanya, tidak terjadi pula kepada putrinya.
Tidak sampai lima menit. Livy sudah kembali. Ia kembali dengan benda pipih, yang langsung Lily ambil alih dan lihat hasilnya di sana. Lily pandangi benda tersebut dalam beberapa saat, kemudian mulai menatap putrinya, dengan mata yang berkaca-kaca dan tangan, yang mencengkram benda pipih itu di tangannya. Firasat ibu memang tidak pernah salah. Benar. Sudah terjadi hal, yang ia takutkan terhadap putri kesayangannya ini.
"Kenapa bisa jadi begini??" tanya Lily dengan rasa sesak, yang ia rasakan di rongga dadanya.
"Kamu tahu apa artinya ini??" ucap Lily lagi, kepada wanita yang hanya tertunduk diam, sambil mengeratkan jemari tangannya satu sama lain.
"Kenapa? Kenapa bisa jadi begini Livy. Kenapa hal seperti ini bisa terjadi?? Mommy dan Dad menjaga kamu mati-matian. Tetapi apa yang malah kamu lakukan?? Siapa dia?? Siapa yang melakukan ini terhadap kamu??"
Livy menggelengkan kepalanya dengan mata yang sudah berair dan tiba-tiba saja, Rainer masuk ke dalam kamar untuk mengambil pakaian kerjanya.
"Sayang pakaian aku mana?" tanya Rainer yang sontak membuat Lily menyembunyikan benda di tangannya, di belakang tubuhnya sendiri.
Rainer menatap dua orang yang sama-sama menunduk diam dan juga mendekati keduanya.
"Mana pakaian kerjaku?" tanya Rainer kembali, saat ia sudah berada di hadapan sang istri.
"Iya, tunggu sebentar, Mas," ucap Lily yang kini pergi ke lemari pakaian dan berusaha menggeser benda, yang tadinya sempat berada di belakang tubuhnya ke depan. Namun, sekelebat terlihat, oleh Rainer yang kini mengernyitkan dahinya.
"Itu apa??" tanya Rainer, yang segera Lily sembunyikan, di balik tangannya.
"Tidak ada apa-apa, Mas," ucap Lily yang tidak menoleh sama sekali.
Rainer penasaran. Ia hampiri Lily dan memutar tubuhnya, lalu berusaha mengambil benda, yang sedang Lily tutup-tutupi.
"Mas, ini bukan apa-apa!" cetus Lily, sembari berusaha untuk menyembunyikan benda, yang sudah Rainer sentuh dan pindahkan ke tangannya. Ia perhatikan dengan seksama dan kemudian, ia tatap lagi wanita yang terlihat diam membatu ini.
"Sayang, ka-kamu hamil lagi?? Kita mau punya bayi lagi??" ucap Rainer dengan mata yang berbinar-binar kepada sang istri dan sekarang, ia alihkan kepada putrinya yang masih terdiam di depan pintu kamar mandi. "Livy, kamu akan jadi seorang kakak!!" seru Rainer dengan semringah sekali, kepada wanita yang tertegun dengan tatapan mata yang kosong.
Rainer tatap kembali Lily dan mulai berkata lagi. "Hari ini, aku tidak akan pergi ke kantor dulu. Aku antar kamu ke rumah sakit ya??" ucap Rainer yang sudah sangat antusias sekali dan senyuman yang lebar.
"Mas, tapi...," Lily telan salivanya sendiri dan kembali mencoba, untuk mengatakan hal yang sebenarnya kepada sang suami. "I-itu bukan... Itu. bukan milikku, Mas," ucap Lily dengan terbata-bata.
Rainer kehilangan senyumannya. Dahinya pun mengernyitkan. Aneh. Aneh sekali. Kenapa Lily mengatakan, bila ini bukanlah miliknya? Kalau bukan milik istrinya ini, lantas milik siapa?? Oh iya, bukankah istrinya ini, baru selesai datang bulan juga kemarin?
"Kalau bukan milik kamu, lalu milik siapa hasil tes ini??" tanya Rainer, sembari mengacungkan benda di tangannya.
Semuanya terdiam dan Lily terlihat melirik kepada putrinya, Livy. Rainer melihat pergerakan itu, dengan kerutan yang semakin banyak di dahinya. Firasatnya jadi tidak enak. Apa mungkin, itu adalah milik...
"Ini milik kamu??" tanya Rainer, yang langsung menunjukkan benda itu kepada putrinya, yang langsung tersentak.
Livy menyentuh siku kiri dengan tangan kanannya. Ia menunduk dan menghindari tatapan sang ayah, yang penuh dengan amarah. Rainer turunkan tangannya, ia berjalan perlahan-lahan dan mendekati putrinya tersebut.
Kini, Rainer sudah berada persis di hadapan Livy. Ia pandangi lekat-lekat, gadis kecilnya yang sudah mulai beranjak dewasa ini. Ia atur juga napasnya dulu, baru setelah itu, pertanyaan yang membuat ia penasaran pun dilontarkan.
"Livy, jawab pertanyaan Dad. Apa tes kehamilan ini milik kamu??"
Livy bungkam. Ia takut sekali. Ia juga tidak menyangka, bila akan terjadi hal seperti ini di hidupnya. Ia berharap, bila hal ini hanyalah mimpi. Tetapi bukan. Ini bukan mimpi, melainkan kenyataan yang begitu menakutkan.
"Milik kamu atau bukan!!!" seru Rainer dan Lily langsung datang untuk melindungi putrinya, dari amukan sang suami. Ingat sekali, saat dirinya ditampar habis-habisan oleh ibunya dulu. Sekarang, jangan ada lagi hal itu dan jangan sampai terjadi juga, terhadap putrinya.
"Mas, kita bicarakan ini baik-baik ya? Bisa kan?" ucap Lily.
"Bicarakan baik-baik bagaimana!!?? Aku bertanya saja tidak dia menjawab!!" seru Rainer lagi.
"Itu punya Livy," ungkapnya dan dalam seketika membuat dua pasang mata menatap ke arahnya.
"Itu punya Livy, Dad," ucapnya lagi, yang tidak pernah Rainer sangka, akan keluar dari mulut putri kecilnya ini.
Bagaimana mungkin?? Selama ini, putrinya ini tidak pernah pergi kemanapun kan? Ia selalu diawasi dan tidak pernah pergi kemanapun itu, tanpa pengawasan sama sekali. Kenapa bisa sampai kecolongan begini??
Rainer menatap intens kepada putrinya yang menundukkan kepala sembari menangis tersedu. Rainer mengembuskan napas dan menelan salivanya, lalu berkata lagi, dengan yang awalnya ingin perlahan, tetapi karena emosi ia malah kembali meneriaki putrinya sendiri.
"Siapa dia hm? Siapa laki-laki keparatt itu!!? Selama ini kamu tidak pernah kemana-mana kan?? Kamu selalu di rumah dan bahkan mengambil home schooling. Jadi bagaimana bisa, hal ini terjadi terhadap kamu??"