"Benar, Livy sudah pulang??" tanya seorang wanita di depan pintu kamar, dengan seorang pelayan yang mengangguk di hadapannya.
"Iya, Nyonya. Nona Livy sudah kembali. Saya permisi dulu, Nyonya."
Pelayan tersebut pergi ke lantai bawah. Sementara wanita yang menanyainya tadi, sekarang mendekati pintu dan menyentuh gagang pintu tersebut, lalu menurunkan dan mendorong pintu hingga terbuka dan memperlihatkan seorang wanita, yang sedang meringkuk di atas tempat tidur dengan mata yang terpejam.
Hembusan napas lega ia lakukan. Pulang juga akhirnya. Ia sudah sangat panik tadi, karena putrinya yang pamit ke toilet tapi tidak kunjung kembali ke acara yang tengah berlangsung.
"Sayang?? Bagaimana?? Benar putri kita sudah pulang??" tanya lelaki, yang ketampanan serta kegagahannya tidak lekang dimakan usia. Walaupun kini, usianya sudah hampir mendekati setengah abad.
"Iya, Mas. Sudah. Akhirnya. Aku kaget sekali tadi. Aku benar-benar takut," balas wanita yang merupakan istrinya, Lily.
"Sudahlah. Jangan terlalu paranoid. Putri kita sudah besar. Sudah delapan belas tahun mau sembilan belas tahun malahan. Dia sudah cukup dewasa, untuk bisa menjaga dirinya sendiri," ucap Rainer sembari merangkul bahu Lily.
"Tapi waktu itu, aku juga...,"
"Ssuttttt." Ucapan Lily terhenti, ketika Rainer menempelkan jari telunjuknya, di depan bibir Lily persis.
"Sudah. Jangan membahas hal itu lagi. Aku yakin sekali, putri kita itu adalah anak yang hebat. Buktinya, dia pulang ke rumah dengan selamat. Mungkin, dia hanya bosan di sana. Sebelumnya, saat masih di rumah, dia bilang tidak ingin ikut dengan kita kan?"
Lily terdiam sambil memandangi tubuh Livy, yang tidak bergerak sama sekali di atas ranjangnya.
"Sudah. Jangan terlalu overthinking. Sebaiknya, kita pergi ke kamar kita sendiri. Istirahat. Ini sudah malam. Livy juga sedang istirahat. Kamu juga dan aku juga butuh istirahat. Ayo, kita keluar dari sini," ajak Rainer sembari berusaha untuk membawa tubuh Lily, yang kini tengah ia rangkul.
"Iya, Mas."
Suara pintu yang ditutup terdengar, dengan kelopak mata wanita di atas ranjang, yang tiba-tiba saja terbuka. Ia terdiam dengan tatapan mata yang kosong dan juga dengan tangan kanan, yang mengepal dan mencengkram erat seprai di sisinya.
Beberapa pekan setelahnya.
"Liv?? Livy???" panggil Lily, kepada putrinya yang sedang melamun di meja makan dan ini, bukanlah kali pertamanya ia melakukan hal tersebut.
Bahu Livy disentuh dan ia baru menoleh kepada orang, yang sedang menyentuh bahunya dan juga memanggil-manggilnya sejak tadi.
"Kamu kenapa sih sayang?" tanya Lily.
Livy tersenyum tipis dan menggeleng dengan kuat. "Tidak apa-apa, Mom," jawabnya yang kembali menyantap makanannya lagi.
"Tapi, Mommy perhatikan akhir-akhir ini, kamu jadi sering melamun," ujar Lily khawatir sekaligus penasaran.
"Tidak apa-apa kok, Mom," ucap Livy sembari tersenyum kaku dan mengambil makanan lagi dari atas meja.
Namun, belum selesai satu, keanehan lainnya justru muncul juga di sana. Dan itu saat Lily melihat putri semata wayangnya ini, mengambil makanan yang tidak biasanya dia ambil.
"Kamu suka itu??" tanya Lily dengan dahi yang mengerut banyak, saat melihat irisan buah mangga, yang putrinya ambil dari sebuah piring dengan menu makanan, ikan goreng saus mangga.
"Iya. Ternyata ini enak juga ya, Mom," ucap Livy sembari melahap irisan mangganya dengan sangat nikmat. Bahkan, ia tidak menyentuh ikannya sama sekali dan hanya mengambil bagian mangganya saja.
Lily menelan salivanya sendiri, lalu tertegun. Sebelum akhirnya, Rainer membuyarkan lamunan istrinya tersebut.
"Sayang? Kamu tidak makan??" ucap Rainer.
Lily menoleh sekilas dan Livy tiba-tiba saja meletakkan sendok dan garpu di atas piring kemudian bangkit dari kursi .
"Mom, Dad. Livy sudah kenyang. Livy duluan ya??"
"Oh iya. Ya sudah sana," timpal Rainer.
Livy pergi dari ruang makan. Sementara Lily, cepat-cepat menoleh kepada Rainer saat putrinya sudah pergi jauh dari ruang makan.
"Mas??" panggil Lily selanjutnya.
"Hm? Ada apa??" tanya Rainer yang tenang-tenang saja menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Lelaki, memang tidak peka sekali terhadap hal sekitar. Ia cuek saja, tanpa memperhatikan keanehan putri mereka.
"Livy aneh sekali belakangan ini. Apa terjadi sesuatu ya??" tanya Lily dengan penuh rasa khawatir, yang nampak jelas di raut wajahnya sekarang.
Rainer tersenyum, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Mulai lagi pikirnya.
"Sayangku, cintaku, istriku yang cantik dan satu-satunya ini... Jangan terlalu overthinking sayang. Kamu itu, terlalu mengkhawatirkan anak-anak kita. Ya, untuk Matthew, aku masih bisa memaklumi itu. Dia sedang bersekolah di LN. Jauh dari kita orang tuanya, yang berada di sini. Wajar. Sangat wajar sekali, bila kamu mengkhawatirkannya. Tetapi Livy??" Rainer tersenyum lagi dan kembali berucap, "Dia ada bersama kita. Bahkan bersama kamu hampir dua puluh empat jam penuh. Kamu selalu mengawasinya. Kita selalu menyuruh bodyguard untuk mengikutinya kemanapun dia pergi. Jadi, kenapa kamu masih mengkhawatirkannya juga??"
"Ya tapi, ini berbeda, Mas. Aku benar-benar merasa, ada yang tidak beres. Aku ibunya. Aku yang mengandung dia selama sembilan bulan. Jadi, aku yakin sekali. Kamu kan laki-laki, jadi mana mengerti??"
Senyuman telah berganti dengan hembusan napas yang panjang. Overthinking yang sudah berada di tahapan lanjut. Rainer jadi bingung, harus menghadapi bagaimana lagi, istrinya yang sedang banyak pikiran ini.
"Ya sudah. Setelah ini, coba kamu temui dia. Kamu ajak dia mengobrol. Siapa tahu, dia ingin bercerita mungkin, kalau memang menurut kamu, ada hal yang tidak beres. Bisa saja nanti dia menceritakannya. Kalau menurutku, dia sepertinya hanya kurang nyaman saja. Atau apa ya aku menyebutnya," ucap Rainer sembari memutar bola matanya ke atas. "Oh iya! Mungkin dia merasa kita pilih kasih. Karena hanya Matthew yang boleh melanjutkan pendidikan di LN. Sementara dia, setelah selesai sekolah dasar, kita hanya mengandalkan home schooling saja untuknya. Aku yang bukan dia saja, rasanya tidak akan tahan bila melakukan hal itu. Ya tapi kembali lagi. Kita ingin yang terbaik untuknya kan? Kita sudah berusaha sebaik mungkin, untuk menjaganya selama ini," ucap Rainer yang sedang Lily cerna sambil termenung.
"Sudah. Ayo makan lagi. Habiskan makanannya. Setelah itu, kamu bisa datangi Livy."
"Iya, Mas," balas Lily, yang kini menyuap makanan ke dalam mulutnya dan setelah semuanya selesai, sesuai dengan apa yang sang suami katakan tadi, Lily pun pergi ke kamar putrinya dan mengajaknya mengobrol.
Pintu diketuk dari luar, oleh Lily yang sudah berada di depan pintu kamar anak perempuannya. Livy yang sedang tertegun di sisi ranjang itupun menoleh dan bangkit, lalu membukakan pintu.
"Ada apa, Mom?" tanya Livy lemas.
"Boleh Mommy masuk? Mommy ingin mengobrol bersama kamu," ucap Lily.
Livy mengangguk pelan dan membuka pintu kamarnya, dengan lebih lebar lagi. Lily meloloskan diri dari pintu yang terbuka dan Livy, kembali menutup pintu kamarnya lagi.
Lily duduk di tepian tempat tidur. Ia menunggu putrinya bergabung bersamanya, sembari memperhatikan gadis yang baru berusia delapan belas tahun itu, yang tengah berjalan ke arahnya dan kini, ia pun ikut duduk di sampingnya juga.
Tidak lantas bicara. Lily pandangi dulu, wanita muda yang sedang tertunduk diam di sisinya ini. Cepat sekali. Putri kecilnya sudah sebesar ini rupanya. Postur tubuh dan tinggi badannya, sama persis ketika ia seusianya. Berbeda dengan putranya Matthew, yang mewarisi postur tubuh ayahnya. Tinggi semampai, gagah dan juga tampan.
"Livy...," panggil Lily dengan lembut sembari membelai rambutnya.
"Iya, Mom," sahut Livy, yang hanya menoleh sekilas kepada ibunya itu.
"Kamu cepat sekali besar dan kamu, persis sekali dengan Mommy dulu," ucap Lily disela belaiannya yang lembut.
"Iya kah, Mom?" tanya Livy yang mulai memberanikan diri, untuk mengangkat kepalanya dan menatap sang ibu.
Lily mengangguk sembari tersenyum. "Iya. Tentu saja. Kita begitu mirip. Anak gadis Mommy yang begitu cantik. Sebentar lagi, akan berusia sembilan tahun ya?" tanya Lily.
Livy mengangguk sembari menurunkan pandangannya lagi perlahan-lahan. Tapi kemudian mengangkat kepalanya lagi, saat Lily menyampaikan hal, yang membuatnya sedikit terkejut dan juga baru terpikirkan, setelah sekian lamanya.
"Dulu saat seusia segitu, Mommy sudah menikah dan melahirkan kakak kamu Matthew."
"Benarkah, Mom??" tanya Livy yang kini memutar bola matanya ke bawah dan mengingat-ingat usia ibunya, dari saat perayaan ulang tahun ibunya itu. Kalau dihitung-hitung dari usianya, memang benar sekali, seperti apa yang sang ibu katakan padanya tadi.
"Mommy menikah muda ya?" tanya Livy lagi.
Lily mengangguk sembari tersenyum tipis. "Iya. Mommy menikah di usia muda, dengan Daddy kamu. Tidak sampai satu tahun usia kakak kamu, ternyata, Mommy malah mengandung kamu juga."
"Oh ya? Bagaimana perasaan Mommy waktu itu??" tanya Livy.
"Em, bagaimana ya?? Pokoknya campur aduk lah. Terpikirkan bisa tidaknya mengurusi kalian berdua. Apalagi, kakak kamu juga masih sangat kecil waktu itu. Tapi syukurlah. Ada Daddy kamu, yang ikut membantu mengurusi kalian. Kalau Mommy kelelahan. Dia pasti mengendong kalian berdua."
"Bagaimana Mom bertemu Dad waktu itu??" tanya Livy dan membuat Lily kesulitan menelan salivanya sendiri.
Senyuman kaku terlihat jelas sekali di bibir Lily. Karena pertemuan pertama mereka, yang sangat jauh dari kata indah. Bahkan, bak sebuah mimpi yang begitu buruk di sepanjang hidupnya.
"Em, itu... Ceritanya panjang sayang . Nanti saja, kapan-kapan Mommy ceritakan ya??"
"Iya, Mom," ucap Livy sembari mengangguk pelan.
Lily hembuskan napas. Ia pandangi lagi putri yang lagi-lagi diam ini, lalu melontarkan kata-kata kembali.
"Kalau ada apa-apa. Ceritakan kepada Mommy ya? Jangan dipendam sendirian. Masih ada Mommy dan juga Daddy, yang akan selalu ada untuk kamu. Mengerti kan??" ucap Lily dengan raut wajah yang serius.
Livy mencoba untuk tersenyum dan mengangguk saja. Sementara Lily kembali membelai rambut putrinya dan berkata, "Ya sudah. Mommy keluar dulu."
"Iya, Mom," balas Livy dengan raut wajah yang muram.
Malam harinya.
Rainer melakukan peregangan otot dengan memutar pinggangnya ke kiri dan kanan. Setelah itu, ia pun mendekati wanita, yang sedang duduk sambil menyisir rambut di depan cermin. Ia usap-usap dahulu kedua bahunya itu, lalu kemudian tersenyum.
"Sayang, malam ini, aku dapatkan? Kamu sudah selesai datang bulannya bukan?" ucap Rainer dengan senyuman mesummnya.
"Iya. Tunggu sebentar ya, Mas. Aku rapikan rambutku dulu," ucap Lily.
"Tidak usah terlalu rapi. Nanti juga berantakan lagi," ucap Rainer yang tangannya sudah mulai menyusup ke pakaian bagian depan Lily.
Baru akan melakukan sebuah remasan. Tiba-tiba saja, pintu kamar diketuk dari luar. Rainer menoleh dan cepat-cepat membereskan gangguan itu dulu.
"Ada apa??" tanya Rainer, ketika pintu kamar dibuka dan ia mendapati putrinya yang berada di ambang pintu.
"Apa Mommy sudah tidur, Dad??" tanya Livy.
"Sudah!" cetus Rainer, tapi malah orang yang dibahas keluar dan bertatap muka langsung dengan Livy.
"Ada apa sayang??" tanya Lily kepada putrinya tersebut.
"Mom, Livy boleh tidur dengan Mommy??"
Rainer membeliak. Baru akan mencegah. Tetapi putrinya itu sudah disambut, serta dibawa masuk ke dalam kamar oleh sang istri.
"Boleh. Ayo sini sayang," ajak Lily.
"T-tapi...," ucap Rainer yang gelagapan dan selanjutnya hanya bisa menghela napas saja, sembari melihat ke arah dua wanita, yang sudah naik ke atas ranjangnya.
"Kalau begitu, aku tidur di kamar lain malam ini!" cetus Rainer yang hanya dibalas singkat oleh Lily.
"Iya, Mas."
Rainer mengembuskan napas sembari memperbaiki tali di bagian depan baju tidur bermodel kimononya dan kemudian keluar dari dalam kamar, sembari menutup pintunya rapat-rapat dan juga menggerutu sambil berjalan.