Dari satu sampai sepuluh, perasaan tidak nyaman ini ada di nilai sembilan dan hampir naik ke sepuluh kalau Anne tidak meracau dan menepuk-nepuk pipiku untuk memintaku menyetopkan taksi untuknya pulang. Aku yang kaget pun lantas melambaikan tangan pada taksi yang kosong dengan lampu di atasnya yang menyala. Aku pun langsung membantu Anne untuk masuk ke taksi, Anne lantas duduk dengan nyaman dan tersenyum padaku sambil melambaikan tangannya. Ia memberi tahu alamat yang harus dituju, dan kemudian aku menutup pintu taksi setelah semua urusan ku rasa selesai. Mobil pun melaju menjauh, dan hilang ditengah kendaraan yang ramai memenuhi jalan. Dan ketika selesai urusan dengan Anne, kumpulan Rendi dengan teman-temannya sudah pergi.
Aku tahu kalau mungkin saja perempuan itu hanyalah seorang teman di kantor yang memang dekat. Seperti aku dan Tio misalnya, tapi pemandangan seperti tadi terasa sangat familier. Aku ingat bagaimana dulu Renata juga seperti itu, ia dengan sangat mesra memeluk lengan Arya ketika aku dan anak-anak baru saja turun dari mobil dan ingin masuk ke gedung untuk mengikuti Program Pendidikan Lanjutan di Bursa Efek. Meski aku tahu benar keadaan saat itu berbeda statusnya, aku dan Arya sudah putus dan sekarang aku dan Rendi adalah sepasang suami istri. Oh, Tuhan! Aku tahu kalau aku seharusnya bersikap biasa saja dan lebih baik lagi tadi aku memanggilnya dan mungkin ia akan memperkenalkan kumpulan teman-temannya seperti ia dulu memperkenalkan diriku dengan teman-teman kantornya di Jakarta saat taruhan futsal.
Tapi aku malah bergeming dan membuat ingatan akan pemandangan itu terpatri di pikiranku sampai sekarang, sampai aku naik bus dan turun di halte terdekat ke apartemen. Dan setelah turun, aku malah berdiri diam dan memandang bangunan mewah pencakar langit yang kepemilikannya sudah ada di tangan Rendi sejak setahun lalu. Sebenarnya aku enggan masuk, tapi rasanya konyol sekali kalau aku tidak masuk di malam seperti ini dengan angin malam yang berhembus dingin sedangkan aku lupa membawa syal. Dengan sedikit berat, aku melangkahkan kaki untuk masuk ke lobi apartemen. Seperti biasa, satu pria yang selalu ada di meja resepsionis tersenyum menyapaku. Aku hanya membalas sekenanya karena perasaanku kini sedang tidak baik-baik saja.
Aku tahu Rendi sudah pulang lebih awal dariku. Jika ia belum pulang, kemungkinan kumpulan itu pergi ke tempat lain dan menghabiskan malam entah di mana. Kepalaku tiba-tiba jadi terasa pusing, mungkin ini juga karena pengaruh alkohol.
Andaikan hidup seperti semua kisah Disney yang akhirnya sudah tahu akan seperti apa. Meski hidup terasa sangat sulit, bahkan sampai berperang dan kehilangan orang tersayang, namun semua putri-putri Disney selalu mendapatkan akhir yang bahagia. The happily ever after moment yang semua orang idam-idamkan bahkan sejak kecil dulu. Belle dengan Beast, Cinderella dengan Prince Charming, Snow White dan Prince Florian. Ariel dan Prince Eric, dan sederet putri dengan pangeran lainnya. Tapi, mudah saja mengatakan kalau semua cerita itu ditutup dengan tag line Happily Ever After ketika rata-rata putri yang ada di Disney umurnya saja baru belasan tahun sampai awal dua puluhan. Mereka belum merasakan patah hati, ditinggal para pangeran berperang di medang perang antah berantah dengan anxiety akut sampai ketergantungan obat penenang. Belum lagi hamil selama sembilan bulan dengan status istri yang ditinggal perang suaminya dan belum tahu kalau suaminya akan kembali hidup-hidup atau sekadar nama. Perjalanan hidup mereka masih panjang, namun Disney tak mau repot-repot membuat film pasca pernikahan mereka yang nantinya akan membuat mimpi banyak anak kecil jadi hancur karena akhirnya mereka jadi paham betul kehidupan setelah pernikahan itu seperti apa. Ada istana yang memutuhkan dana untuk renovasi, rakyat yang bergabung dalam kumpulan-kumpulan kecil bawah tanah yang ingin membangkang dengan kerajaan, intrik ipar dan mertua yang belum tentu suka dengan si putri-putri Disney, dan omongan rakyat ketika si putri belum juga hamil padahal menikah saja baru seminggu.
Lucu, di saat seperti ini aku malah mengomentari kehidupan para tokoh fiksi yang filmnya selalu ku tonton sedari kecil dulu. Memang di saat stres seperti ini aku pikiranku mudah pergi ke mana-mana dan malah berlanjut ke hal-hal aneh yang sama sekali tidak relevan dengan kasusku sekarang ini. Ya, kecuali Ariel yang melihat ursula yang sudah bertransformasi menjadi perempuan cantik yang mencoba menggoda Pangeran Eric.
Dan akhirnya sampailah aku ke tempat yang membuat perutku jadi mulas luar biasa. Padahal semua ketakutanku bisa saja tidak kejadian, bukannya wajar kalau Rendi memiliki teman kerja perempuan yang dekat dengannya? Aku dengan Tio juga begitu, malah aku dan Mila sering sekali gelendotan dengan Tio dan Dewi biasa-biasa saja. Atau mungkin Dewi juga diam-diam memiliki perasaan cemas sepertiku sekarang ini? Loh, kenapa baru sekarang aku jadi sadar kalau belum tentu Dewi suka kalau suaminya jadi boneka gemas yang kerap kali di ajak pergi ke mana-mana sampai dirangkul segala? Apakah ini karma Dewi?
Tuh, pikiranku memang sudah kacau samapai mungkin lima menit aku hanya berdiri diam di depan pintu apartemen tanpa membukanya dan kemudian masuk. Kalau tetangga sebelah atau depan lihat, mungkin mereka bisa mengira kalau aku ini adalah penguntit atau bahkan hantu karena hanya diam mematung tanpa melakukan apa-apa di depan pintu dan tidak bergerak sedikit pun.
Aku menghembuskan napas berat dan akhirnya meletakkan kartu kunci ke sensor kuncian pintu sampai dia mengeluarkan suara bip pelan. Begitu aku masuk, sepatu Rendi sudah ada di rak. Kebiasaannya yang rapi ini membuatku mengira kalau dulu Rendi adalah seorang perfeksionis akut nyaris OCD yang apa-apa harus rapi dan bersih.
“Hon, kamu udah makan?” teriak Rendi yang sudah tahu kalau aku sudah pulang dari suara pintu yang terbuka.
“Udah.” Jawabku pelan yang mungkin tidak terlalu terdengar olehnya.
“Kamu udah makan?” tanyanya ulang ketika aku sudah muncul di dalam ruangan yang terjangkau oleh matanya.
“Udah tadi, kan ku bilang Anne ulang tahun.”
“Oh iya, ku kira kamu minum aja soalnya.” Jawab Rendi yang tersenyum riang seperti biasa tanpa tahu kalau istrinya ini sednag gelisah dengan pikiran yang sudah runyam seperti benang kusut.
Aku meletakkan tas di atas sofa dengan aku yang terduduk diam memandang televisi yang mati. Napasku masih normal tanganku belum gemetaran. Ini artinya aku masih baik-baik saja namun kalau dibiarkan lebih lama lagi, semua gejala itu mungkin akan datang secepat yang ia bisa. Aku mencoba untuk bernapas dengan baik, napas Yoga seperti yang sering aku lakukan. melihatku yang hanya duduk diam tanpa melakukan apa-apa, Rendi pun berjalan menghampiriku dengan membawa air putih dingin dan memberikannya untuk ku minum
“Biar kamu seger.” Katanya, “kenapa pulang makan-makan di ulang tahun Anne kamu jadi kayak orang banyak pikiran gini?”
Aku menghabiskan air yang diberikan Rendi dan lantas menaruh gelas bening tinggi itu ke atas meja.
“Ren, kamu tadi habis dari mana?” tanyaku tanpa memandang Rendi, nada suaraku sudah terdengar sangat kelelahan.
“Meeting sama klien trus makan malam sama mereka, kenapa emangnya?”
“Who’s the client again?” tanyaku yang kali ini memandang Rendi.
“Orang-orang yang kerjain projek kemarin. Ada apa sih? Kok tumben-tumbennya kamu keliatan penasaran sama kerjaan aku, biasanya kamu nggak gini?” Rendi pun memandangku aneh dan menyalipkan sedikit rambutku ke belakang telinga.
“Ada ceweknya?” tanyaku lagi.
“Ada, satu orang namanya Gillian. Dia pihak ketiga yang menjembatani kantorku sama kantor klien.”
“Oh, gitu.” Aku pun bersandar nyaman di sofa dan menghembuskan napas lega.
Setidaknya Rendi jujur saat mengatakan kalau ada teman wanita atau perantara, atau apa pun itu namanya, yang juga datang menghadiri meeting kantor mereka. Ia tidak berusaha unuk menutup-nutupi semuanya, bahkan sampai nama dan status kerja Gillian saja ia jabarkan padaku.
“Kenapa sih? Kamu aneh deh.” Kata Rendi lagi.
“Nggak pa-pa, aku capek aja tadi abis bantuin Anne yang mabok buat dapetin taksi. Kebanyakan minum juga kali aku jadi pusing.”
Aku tidak sepenuhnya berbohong meski kebanyakan minum di sini hanyalah setengah gelas tinggi saja, jauh sekali dari kadar toleransiku pada alkohol,
“Aku ambilin obat sait kepala ya, kamu ganti baju aja habis itu mandi pakai air hangat. Biar bisa langsung tidur, besok kamu ada kerjaan kan? Nikahan klien.” Rendi pun bangkit dari duduknya dan menuju pantry untuk mengambil obat sakit kepala untukku sekaligus mengisi kembali gelasku yang kosong dengan air putih.
“Minggu, bukan Sabtu.” Kataku sambil pergi ke kamar dan melepaskan pakaian untuk segera mandi.
Bisa ku dengar suara langkah kaki Rendi ketika aku masuk ke kamar mandi. Dan agar aku tidak kembali memikirkan imajinasi liar yang banyak orang bilang, aku buru-buru menyalakan shower dan membuat ujung kepala sampai ujung kakiku basah semua. Air hangat yang mengalir membuat lelahku sedikit luruh dan jadi agak mengantuk karena terlalu nyaman. Aku mandi cepat agar bisa minum obat dan langsung tidur karena aku tidak ingin kepalaku ini jadi terlalu aktif bekerja.
Dan ketika aku keluar dari kamar mandi, Rendi sudah duduk di kasur dengan kedua tangan yang memegang sebutir obat serta gelas dengan air putih yang penuh.
“Minum dulu.” Katanya. Ia memberikan kedua benda itu padaku dan aku menelannya dengan sedikit air putih yang kali ini hangat. “Mau aku keringin rambutnya?” Tawar Rendi.
Aku menangguk pelan dan Rendi langsung mengambil hair drayer yang berada di atas meja riasku. Seiring dengan bunyi dengung hair dyer yang membuat rambutku perlahan menjadi kering dan aku jadi tambha mengantuk karena tangan Rendi yang membalik rambutku dengan sisir, benang kusut yang tadi ada di kepalaku pun kini sudah terurai dan menggulung rapi sedikit demi sedikit. Tidak ada lagi pikiran tentang semua putri Disney naif yang belum tahu masa depan yang akan menyambut mereka akan seperti apa, atau pun tentang perempuan dengan rambut emas kecoklatan yang terlihat tersenyum lebar di tiap percakapannya dengan Rendi dan kelompoknya itu.
Untuk sementara, aku lega. Dan ku harap kelegaan itu bisa terus ada tanpa perlu ada hal-hal buruk yang membuatku kembali menjadi gelisah bukan main sampai membuat jantung berpacu dengan tidak normal dan perut mulas bukan karena kepakan sayap kupu-kupu ketika sedang melihat orang yang sangat dicintai bahagi.
Rendi pun menaruh hair drayer ke atas nakas ketika sudah selesai mengeringkan rambutku. “Udah kamu ganti bathrobe dan tidur. Aku matiin semua lampu dulu.” Rendi pun keluar dari kamar dan aku langsung mengenakan pakaian tidur. Aku merangkak naik ke kasur dan membuka selimut untuk masuk di antaranya. Rendi yang sudah mematikan semua lampu di ruangan pun kini mematikan lampu kamar dan juga masuk ke dalam selimut. Ia merapatkan badannya padaku dan memelukku seperti biasanya.
“Doa dulu, bobok yang nyenyak ya.” Katanya dengan suara pelan.
“Iya.” Aku pun berdoa dan kemudian memejamkan mata. Dan tak lama, aku sudah pulas tertidur dengan napas teratur.
-Continue-