TIGA PULUH DELAPAN : Surprise!

1867 Kata
Hari ini adalah ulang tahun Anne. Kami semua mengadakan pesta kecil-kecilan setelah pulang dari kantor dan pergi ke salah satu restoran yang sering didatangi oleh orang-orang di kantor. Aku ingat waktu Anne mengatakan kalau ia tidak ingin orang-orang kantor mengetahui bar yang sering ia datangi. Tak heran kalau ia menurut saja ketika ia dibawa ke restoran yang letaknya tidak jauh dari kantor. Deb dan Matt pergi untuk membeli kue ulang tahun dan lilinnya, sedangkan yang lain langsung menuju tempat yang dituju.  “Setelah ini apa kau memiliki rencana untuk merayakan dengan yang lain?” tanyaku yang jalan berdampingan dengan Anne. “Dengan yang lain? Siapa?” Tanyanya balik. “Entahlah, makanya aku bertanya padamu dan kau malah menanyakannya kembali padaku.” “Tidak ada ku rasa. Aku ingin pulang dan tidur. Usiaku bertambah, begitu pula dengan rasa mudah lelah yang bertambah.” Katanya sambil tertawa. “Aku setuju.” Aku mengangguk, “kau tidak ke bar tempat J?” “Tempat J? untuk apa aku ke tempat J kalau aku sudah minum bersama kalian?” tanya Anne seakan tidak peduli. “Ku kira kau akan ke sana setelah ini. Ku rasa J akan senang kalau kau datang ke sana di hari ulang tahunmu. Bukankah menghabiskan waktu bersama orang terdekat itu lebih menyenangkan?” Anne tertawa lantang sampai membuat orang-orang yang jalan di depan kami menoleh keheranan. Namun Anne mengibaskan tangannya seakan berkata kalau tidak ada apa-apa. “Jangan berpikir terlalu jauh, imajinasimu terlalu liar. Aku dan J hanyalah teman yang kebetulan terkadang saling membutuhkan. Tapi hanya sebatas itu, tidak lebih.” Katanya. “Begitukah? Sudah ada beberapa orang yang mengatakan kalau imajinasiku terlalu liar. Namun sebagian besar apa yang aku pikirkan itu benar, mungkin aku cukup sensitif untuk mengetahui berbagai perasaan orang di sekelilingku meski aku tidak paham akan perasaanku sendiri.”  Anne berhenti dan memandangku, “jangan bicara hal-hal yang orang tua katakan. Itu akan membuatmu jadi terasa lebih tua.” Ia pun tertawa dan lanjut berjalan dengan menggoyang-goyangkan tasnya. Kami pun berjalan bersama dan masuk ke restoran yang sudah di booking untuk tujuh orang. Dan karena Zoe masih berada di luar kota, terpaksa satu tempat kosong jadi tidak terisi. Tres duduk terlebih dahulu, ia selalu senang memilih tempat duduk pertama kali di setiap kami ada acara di luar. Entah itu meeting dengan klien atau pun acara makan-makan santai seperti ini. “Ngomong-ngomong, untuk apa Matt dan Deby pergi membeli kue untukku kalau kau bisa memesannya di sini?” tanya Anne. “Entahlah.” aku mengedikkan bahu saat menjawab pertanyaan dari Anne.  Sang pelayan memberikan buku menu pada kami dan meninggalkan kami untuk memilih pesanan terlebih dahulu karena masih ada dua orang lagi yang belum datang karena sedang menjemput kue untuk Anne. Aku mengecek ponsel setelah tadi lupa untuk mengeceknya lagi ketika mengabarkan pada Rendi kalau aku akan pulang telat. Ternyata balasan Rendi sudah ada, aku pun bergegas membukanya.   Wifey - Ren, aku pulang telat ya. Anne ulang tahun. Hubby - Oke, aku juga ada meeting jadi agak telat. Nanti kabarin aku aja ya.   Aku mengernyitkan dahi, sepertinya Rendi kembali sibuk. Mungkinkan yang katanya projeknya sudah selesai itu harus menghadapi revisi lagi karena ada yang kurang? Aku pun cepat-cepat membalasnya meski Rendi sedang tidak online.   Wifey - Oke, kamu jangan kemaleman nanti sakit.   Tidak ada balasan tentu saja karena Rendi sedang meeting. Aku pun meletakan ponselku kembali ke dalam tas tangan sembari kembali melihat buku menu yang sedang dibuka oleh Anne. Tres dan Beth sudah memilih makanan yang ingin mereka makan, Tres memilih Ravioli dengan saus krim dan jamur serta salmon panggang, Beth memilih salad dan Ayam bumbu lemon dan bawang putih yang dipanggang.  Dan ketika Beth selesai memesan, Matt dan Deby terlihat memasuki restoran. Aku pun mengangkat tanganku untuk memberikan tanda di mana kami duduk dan berada. Matt terlihat membawa tentengan besar yang ku taksir adalah kue ulang tahun untuk Anne sedangkan Deby membawa tentangan yang lebih kecil yang berarti adalah kado yang sudah kami semua pesankan untuk Anne. “Akhirnya kami sampai juga.” Kata Matt. “Kenapa lama sekali?” tanyaku pada mereka berdua. “Karena motor Matt bermasalah. Makanya ku bilang jual saja motormu itu dan belilah Audi.” kata Deby pada Matt yang kelihatan makin kesal, aku tahu kalau mereka dari tadi pasti bertengkar di jalan. “Ah, dan kita kedatangan satu tamu.” Kata Matt lagi setelah ia meletakkan bungkusan yang ia bawanya itu di atas meja. “Siapa? Zoe?” tanya Anne. “Hai, boleh aku bergabung?” suara ini, yang tempo hari bertemu denganku dan mengatakan hal-hal nelangsa, yang beberapa hari lalu memesankan makan siang, sudah ada di antara aku dan Matt. Penampilannya sudah kembali seperti Louis sebelum hubungannya kandas dengan Tiffany. Ia terlihat rapi dengan jas yang masih membalut tubuhnya yang atletis, penampilannya terlihat profesional tanpa wajah kuyu yang beberapa hari lalu cukup mengkhawatirkan. Ia tersenyum dengan percaya diri, kemudian menamdang kami semua bergantian. “Tentu saja!” kata Anne senang karena ada tambahan orang yang ikut makan bersama di meja panjang tempat kami me-reservasi. “Semakin ramai semakin menyenangkan. Terima kasih atas kiriman makan siang tempo hari. Kami semua sugguh menyukainya. Bagaimana tidak, makanan itu datang dari tempat yang kalau ingin didatangi harus reservasi dulu beberapa bulan.” Anne pun mempersilakan Louis untuk duduk di hadapanku, di sebelah Matt yang ada di kursi kebesaran untuk satu orang. “Terima kasih kembali.” Katanya ramah yang membuat Tres jadi tersenyum begitu pula dengan Deby. Sedangkan Beth yang pendiam pun tidak mengatakan apa-apa seakan ia sedang sibuk dengan dunianya sendiri. “Ah, bagaimana kalau kau meniup lilin dulu dan make a wish?” Matt mengeluarkan kue dari kotak berwarna hitam dengan grafir emas yang mewah, kotak kue yang sudah sagat familier dan terkenal di banyak kalangan atas. “Selamat ulang tahun, Anne. Miguel khusus membuatkan kue ini untukmu.” Kata Deby yang berdiri dan tersenyum lebar karena telah menyampaikan hal yang begitu manis yang telah dilakukan oleh miguel si patisserie terkenal yang sangat ramah. Anne pun tertawa dan menepuk tangan karena senang dengan apa yang dilihatnya. Kue dengan krim berwarna putih dan beberapa bercak biru dan putih serta emas di beberapa bagian membuatnya terlihat sangat mewah. Belum lagi dekorasi bunga dan macaroon dengan warna yang kontras membuatnya terlihat tidak lebih sempurna. “Pantas saja kalian heboh sekali sampai katanya membeli kue untukku. Terima kasih banyak, aku sangat terharu dan senang. Ternyata bertambahnya umur selain bertambah mudah lelah, tapi juga bisa bertambah bahagia karena diperhatikan seperti ini.” Kata Anne yang tersentuh sampai memegang dadanya dengan kedua tangan. Matt pun menyalakan lilin-lilin yang tinggi dengan pemantik miliknya yang biasa ia gunakan untuk merokok dan mempersilakan Anne berdoa dan mengucapkan keinginannya dalam hati. Anne menutup kedua matanya dnegan khidmat dengan tangan yang masih berada di dadda. Dan setelah ia selesai bedoa, ia membuka mata dan langsung meniup semua lilin itu sampai padam. Semua orang pun bertepuk tangan, sampai pelayan yang tak dengaja lewat pun betepuk tangan dan memberikan selamat. Dua orang yang duduknya berada di sebelah meja kami pun bertepuk tangan dan memberikan selamat. Sungguh suasana hangat yang akan membuat siapa pun bisa tersenyum dan melupakan masalah mereka barang sejenak saja. Ucapan selamat pun tak berhenti diucapkan dari banyak mulut termasuk dariku. Ini pertama kalinya aku merayakan ulang tahun rekan kerja sekaligus teman di Australia, dan menyadari bahwa kini aku benar-benar bagian dari sebuah kelompok, membuatku senang. Sedikit rasa rindu akan Indonesia jadi agak terobati. “Dan kami juga punya sesuatu untukmu. Hadiah!” kata Deby bersemangat.  Ia memberikan bungkusan yang tadi dibawanya pada Anne dan menyuruhnya untuk membuka bungkusan itu untuk bisa mnegetahui apa yang ada di dalamnya. “Ya ampun ini sangat lucu! Terima kasih banyak.” Kata Anne setelah membuka kotak kecil yang berisi jam tangan dari Chanel yang di pilih bersama termasuk Zoe yang memberikan lebih banyak sumbangan untuk hadiah Anne. Tentu saja, harga jam yang diberikan sebesar gaji beberapa bulan. Jam berwarna hitam dengan rangka berwarna silver itu terlihat sangat cantik dan mahal melingkar di lengan Anne. Sungguh sangat cocok digunakan ketika ada acara pernikahan klien dengan seragam kami yang memang berwarna hitam. Little black dress yang memiliki model berbeda-beda antara satu staff dengan staff yang lain. “Ya, sekarang mari kita pesan makanan. Louis jangan sungkan untuk memesan, malam ini yang membayar adalah Zoe yang absen dan mengirimmu ke sini sebagai tanda terima kasih kami atas makan siang yang sudah kau kirimkan untuk semua orang di kantor. Minumlah yang banyak, besok akhri pekan.” Kata Matt senang. “Terima kasih, kalian sungguh baik.” Katanya tulus. “Kau juga baik sudah mau mengirim kan makan siang.” Tambahku. Louis tersenyum. Kami memesan beberapa menu yang menggungah selera. Memang restoran ini bukanlah restoran mewah yang makanannya sangat spesial, tapi kami semua suka ambiance dari tempat ini, terlebih saat datang beramai-ramai setelah jam pulang kantor yang pasti selalu padat untuk makan malam. Aku memesan Zucchini Enchilada dengan ayam cincang, jagung dan kacang hitam yang di panggang dengan saus yang sangat lezat. Anne memesan Greek salad yang ia bagi denganku karena porsinya yang sangat besar. Kami semua makan sambil mengobrol ringan. Louis pun ikut bergabung, dan ia terlihat sangat menikmati makan malam bersama ini. Mungkin inilah tujuan Zoe untuk mengundang Louis, agar ia merasakan berada di lingkungan sosial kembali tanpa perlu merasa sungkan. Kami pun tidak ada satu pun yang mengungkit-ungkit tentang Tiffany dan semua kejadian yang telah lewat itu meski aku yakin kalau semua orang di meja ini termasuk Louis, tetap kepikiran tentang masalah resepsi itu. Hal itu cukup membuat trauma, bahkan pada orang-orang yang hanya mengenal Louis dalam waktu yang sangat singkat saja. Tapi hari ini, setidaknya semua itu hanya tersisa di ruang kecil dalam kepala yang tidak lama mengganjal karena ada hal yang lebih menyenangkan untuk dipikirkan dan diobrolkan bersama. “Kau kelihatannya langusng dari kantor. Apakah undangan Zoe menggangu jadwal kerjamu?” tanyaku pada Louis yang sedang menikmati steak medium rare yang ia pesan. “Tidak, kebetulan aku sedang tidak terlalu sibuk di kantor dan undangan Zoe ini cukup menarik. Aku jadi tidak harus menghabiskan malam sendirian.” Katanya. “Aku senang mendengarnya.” Kataku tulus. Louis pun tersenyum. Acara makan malam kali ini selesai dengan Deby yang mabuk dan Anne yang sempoyongan karena minum terlalu banyak. Aku sengaja hanya minum sedikit saja karena harus pulang dengan kendaraan umum. Kami semua pun keluar dari restoran setelah Tres membayar tagihan dengan kartu kredit milik Zoe yang juga dulu digunakan untuk membeli laptop untukku.  “Anne kau mabuk, kau tidak bisa menyupir.” Kataku yang merangkulnya agar ia tidak jatuh karena sudah sempoyongan. “Ah, taksi.” Katanya seakan mengeluh. Dan ketika aku sedang berdiri menunggu Tres, sesosok pria yang tak jauh berada dari kami menarik perhatianku. Ia terlihat seperti Rendi dengan gerombolan kecil yang sedang mengobrol ringan. Seorang wanita ada di sebelahnya, dan ia terlihat nyaman sekali memegang lengan Rendi. “Bianca.” Kata Louis yang memanggil namaku dan membuatku menoleh. “Ya?” tanyaku padanya. “Apa kau juga mabuk?”  Aku tersenyum tipis, “tidak, aku sangat sadar sekali sekarang ini.” Aku kembali melihat kerumunan kecil itu dan Rendi masih di sana, begitu pula dengan sang wanita yang kini terlihat dekat. Ya, aku sangat sadar sekali malam ini. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN