“Kemarin seharian aku tidur.” Kata Anne yang tengah merapikan alat-alat makan ke meja panjang untuk hidangan makan malam di resepsi klien kami.
“Aku juga seharian tidur, dan tidak keluar kamar kecuali untuk makan.” Kataku menimpali Anne.
Anne menatapku tersenyum, “apa yang kau lakukan dengan suamimu? Kau sudah memikirkan untuk punya anak?”
“Bukan seperti itu. Entah kenapa kemarin aku tidak ingin melakukan apa-apa, aku hanya ingin ada di kasur seharian, tidur dan bangun, dan tidur, mengecek ponsel, dan tidur kembali sampai kepalaku pusing.”
“Kenapa begitu?” Tanya Anne bingung.
“Mungkin memang sedang ingin saja.”
“Kau tidak ada masalh, kan?” tanyanya lagi karena khawatir.
“Bukankah kita semua punya masalah? Ku rasa tidak ada orang yang tidak memiliki masalah di hidup mereka. Tapi tenang saja, aku baik-baik saja.” kataku yang langsung tersenyum dan menepuk punggung Anne, “kalau ada masalah, aku akan cerita padamu dan minta pendapatmu biar aku tidak merasa sendirian.” Tambahku.
“Bagusnya begitu, bercerita akan membuatmu jauh lebih baik dan stresmu karena pekerjaan tidak jadi bertambah. Oh, rasanya hari ini aku akan minum sampai mabuk lagi karena semua kesibukan ini membuatku stres!” Ujar Anne dramatis.
“Besok Senin, kau yakin ingin mabuk dan membuat dirimu pusing sehari besok? Kita harus bekerja, Anne. Dan besok kita harus mengecek venue, perjalanan dua jam akan membuatmu pusing dan muntah-muntah di jalan.”
Anne pun mengernyitkan dahinya sambil cemberut karena hari ini tidak boleh banyak-banyak minum. Kami segera berjalan masuk ke dalam villa besar yang kini sudah dipenuhi banyak undangan yang sedang bercengkrama dengan musik yang mengalun dan beberapa orang terlihat berdansa termasuk kedua mempelai pengantin yang siang tadi sudah melakukan pernikahan mereka dengan isak tangis bahagia dan tepuk tangan yang bergemuruh.
Sekarang mereka bisa tertawa bersama, namun nanti setelah menikah setahun, dua tahun, akan ada banyak masalah yang muncul dan membuat pertengkaran kecil akan bermulai. Siklus hidup entah kenapa selalu seperti itu. Dari kecil lalu sekolah di tiga jenjang yang berbeda, sebagian ada yang langusng bekerja setelah lulus namun ada juga yang melanjutkan untuk berkuliah kemudian bekerja, setelah itu mereka jatuh cinta, menikah, memiliki anak pertama, disruruh orang untuk menambah anak padahal mereka tidak diberikan uang untuk membesarkan anak lainnya, bertengkar, memiliki cucu, kemudian meninggal.
Aku juga sudah mendengar suara-suara sumbang dari kanan kiri khususnya tante, paman, sepupu, dan orang yang bahkan tidak dekat denganku mengomentari hidupku dan Rendi. Bagaimana kami belum memiliki anak karena terlalu sibuk, padahal nyatanya aku masih berpikir lebih jauh untuk itu setelah Rendi tidak masalh aku mau punya anak atau tidak, mau hamil sekarang atau nanti, dan mungkin saja Rendi tidak masalah kalau nanti aku lebih memilih untuk mengadopsi anak yang terlantar daripada harus hamil sembilan bulan mengingat kejiwaanku yang tidak stabil.
Entah kenapa perempuan tidak pernah dipuji karena karirnya bagus, mandiri dan bisa menghidupi keluarga sebagai tulang punggung. Semuanya selalu dinilai dari dia belum menikah jadi beasiswa doktornya malah yang menghambat, dia belum punya anak karena jabatan di kantor adalah sebagai manager yang memiliki puluhan anak buah yang setiap hari harus ia bimbing dan perusahaan sangat membutuhkan kemampuannya agar jalannya pekerjaan bisa mulus dan semua karyawan makmur sampai mendapatkan bonus dan tunjangan yang layak.
Ah, sekarang pikiranku malah melantur ke mana-mana jadinya. Padahal kan aku sedang lemas begini karena insiden perempuan waktu itu. Meski aku tahu kalau Rendi bilang si Gillian itu hanyalah rekan bisnis, tapi tetap saja pikiran itu masih saja menyangkut di kepala dan perasaan. Kalau sudah seperti ini aku jadi susah fokus dan tidak profesional sama sekali.
Setelah selesai merapikan meja dan selesai menghias semua dekorasi bersama para asisten Fleur. Anne menghimbau si MC untuk mempersilakan semua tamu untuk ke teras dan menyantap makan malam yang akan dihidangkan begitu semua orang duduk memenuhi tempat. Setiap kursi diberikan papan nama kecil dari kertas tebal di atas mejanyanya. Semua ini sudah disusun berdasarkan permintaan sang mempelai wanita karena ia berniat untuk menjodohkan beberapa temannya dengan teman suaminya. Aku sering mendapatkan alasan seperti ini, karena ketika makan malam, mau tak mau kau harus mengobrol dengan teman di sebelahmu. Entah itu untuk memuji makanannya atau memuji dekorasinya.
Musik lain pun mengalun dari band kecil yang biasa kami sewa. Makanan seperti yang sudah ku katakan di awal, langsung disajikan ketika semua orang sudah duduk di kursi mereka. Makanan dibawakan berdasarkan urutan menu yang tertulis di kartu yang ada di atas piring mereka. Dari mulai makanan pembuka atau Appetizer, salad, makanan utama atau Entrees, sampai makanan penutup atau Dessert, dan juga wedding cake. Kue yang dibuat Miguel kali ini bertingkat lima dengan dekorasi bubuk emas dan fondant dan gula serta krim yang berbentuk bunga peonies yang lengkap dengan dedaunannya.
Satu klien lagi yang berbahagia telah kami bantu untuk mewujudkan penikahan impiannya.
“Resepsi yang indah.” Kata Matt yang rambutnya ia sisir dengan rapi dan dikuncir serta diberi gel. Berbeda dari biasanya yang dibiarkan terurai asal-asalan padahal rambutnya itu lumayan panjang hampir ke bahu.
“Betul. Apakah ini membuatmu jadi ingin menikah?” tanyaku yang sedang menggodanya.
“Tidak. Indah tapi melelahkan, aku masih suka yang simpel dan tidak beraturan.”
“Begitukah? Kau mau bertaruh denganku?” tawarku yang membuat Matt terlihat tertarik.
“Apa taruhanmu?”
“Kalau kau akhirnya memutuskan untuk menikah nanti, berikan aku kue Miguel dengan tiga tingkat dengan banyak fondant.”
“Dan apa untungnya untukku?”
“Kau akan bisa melihatku senang.”
Matt tertawa pelan karena tidak mau mengganggu suasana makan malam yang ada. “Tidak terima kasih, kesenanganmu bukanlah satu hal yang bisa mempengaruhiku.”
“Apa kau tidak mau melihatku bahagia?”
“Kau memiliki suami yang bisa membuatmu bahagia dan makan puluhan kue buatan Miguel tanpa harus mengemis padaku.”
“Aku harus berhemat.”
“Aku juga, aku ingin membeli action figure limited edition dari Optimus Prime The Last Knight.”
Aku mnegernyit heran, “memang berapa harganya?”
“Sekitar tujuh ribu enam ratus dollar.”
“Sudah gila!”
“Bukankan resepsi pernikahan juga gila? Untuk apa orang menghambur-hamburkan uang hanya untuk resepsi pernikahan satu kali saja? Dan ketika sudah selesai resepsi mereka harus dihadapkan pada tagihan hutang, biaya sewa apartemen, dan ketika memiliki anak harus pindah ke tempat yang lebih luas dan tabungan untuk anak. Makanya memang lebih enak banyak uang ketika menikah, karena persoalan tentang uang akan hilang, dan kita jadi tinggal memikirkan urusan lain saja. Hidup dengan privilege memang sangat menyenangkan, seperti orang-orang ini.”
“Ya, tapi semua orang ini juga punya masalah lain selain tentang keuangan yang pasti sudah di approved sebagai orang yang tak pantas memikirkan persoalan tentang uang.”
“Betul sekali. Ayo kita harus mengecek persediaan wine yang ada. Jangan sampai Zoe dan Anne minum terlalu banyak dan membuat keonaran.”
“Betul.”
Sebelum kami pergi mengecek dua orang yang senang sekali minum sampai mabuk, Matt meminta para kru band untuk memainkan musik Merry Go Around dari Joe Hisaishi untuk soundtrack Howl Moving Castle yang filmnya sangat terkenal dan romantis. Siapa pun yang pernah menonton itu pasti akan langsung jatuh hati dengan Howl Jenkins Pendragon.
Aku tersenyum. Aku ingat saat resepsi dulu, aku menyusun playlist lagu yang ingin dimainkan dan ada musik ini yang juga mengalun indah. Musik yang membuat perasaan seakan sedang jatuh cinta dan berada di tengah ballroom dengan orang yang dicintai. Aneh ya, hanya dengan musik saja perasaan seseorang bisa berubah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Selesai dengan urusan musik, aku dan Matt mendapati Anne sedang berdiri dan mengobrol dengan salah satu tamu undangan. Seorang pria dengan jas biru tua yang usianya ku kira tak jauh berbeda dengan Anne.
Matt tidak mengatakan apa-apa karena satu orang telah aman dari alkohol, dan kini saatnya kami mencari Zoe. Deby sedang menghitung bingkisan untuk diberikan pada undangan ketika mereka pulang nanti. Isinya adalah cherry wine di dalam kotak kayu yang di masukkan pada tas-tas wine dengan inisial nama penantin tercetak jelas di sana.
Zoe terlihat tengah berdiri memandang ke luar villa seorang diri sambil memegang gelas berisi wine. Ia terlihat sedang melamun entah memikirkan apa.
“Sudah ku duga kau pasti sedang minum.” Matt pun mengambil gelas dari tangan Zoe dan tidak memperbolehkan bosnya itu untuk minum kembali sampai mabuk.
“Biarkan aku menghabiskannya, Matt.” Kata Zoe yang mencoba merebut gelas miliknya dari Matt.
“Tidak, kau nanti akan mabuk.” Matt menyingkirkan tangan Zoe yang berusaha untuk mengambil gelasnya itu.
“Kenapa kau sendirian di sini dan memandang entah apa, termenung.” Tanyaku.
“Ah, aku hanya ingin sendirian saja. Apakah kau pernah merasakan kalau kau sangat lelah di keramaian dan hanya ingin sendirian sambil menikmati minumanmu dan mendapati dirimu entah memandang ke mana di temani angin malam?” Tanyanya balik.
“Ya, aku sering seperti itu ketika aku masih tinggal di Jakarta dulu. Kadang aku menyupir malam dan membiarkan jendela mobilku terbuka ditemani lagu-lagu yang ada di radio. Rasanya sendirian seperti itu bisa membuatku jadi relaks.”
“Ya, aku sedang seperti ini sekarang. Makanya biarkan aku menghabiskan minumanku, ku mohon. Pergilah kalian semua dan awasi flow resepsi ini dengan baik.” Pintanya pada Matt.
“Tidak, kau akan mabuk dan meracau sampai muntah. Aku tidak mau merapikan semua kehebohan yang nantinya kau perbuat. Kita sedang bekerja, kan kau sendiri yang bilang kalau kau ingin bekerja dengan baik setelah pulang liburan. Apa kau lupa dengan kata-katamu itu, Zoe?”
Zoe pun akhirnya mengalah dan tidak lagi berusaha mengambil gelas miliknya yang isinya masih banyak. Dan ketika kami semua kembali ke teras, lagu sudah berganti dengan lagu Code Fry, I Hear A Symphony yang mengalun indah dan dengan lirik yang bisa membuat siapa pun jadi jatuh cinta. Si penyanyi adalah pria yang tadi berbicara dengan Anne yang ku pikir adalah seorang undangan. Suaranya berat seperti Michael Buble.
“I used to hear a simple song,
That was until you came along,
Now in its place is somethin’ new,
I hear it when I look at you.”
“Sangat pas sekali.” Kataku pada semua orang yang ada disekitarku.
“Maksudmu sangat pas ketika lagu sederhana mengalun saat pacaran namun nantinya akan berubah menjadi orkestra maha megah dan ramai sampai membuat semua bulu berdiri setelah menikah karena adanya banyak permasalahan?” Tanya Matt.
“Jangan terlalu sinis dengan pernikahan, suatu saat nanti kau pasti akan menyesal.”
“Kenapa begitu?” tanya Zoe.
“Karena aku sudah mengalaminya.” Kataku singkat.
-Continue-