“Aku ingin semuanya berwarna merah muda. Kalau bisa gaunku juga berwarna merah muda, tapi aku takut kalau nanti ibu mertuaku akan membunuhku kalau gaunnya juga sampai merah muda jadi putih saja lebih baik. Dan tolong jangan fuchsia tetapi merah muda yang lembut, pastel. Dan berikan aksen itu ke semuanya meski hanya sedikit saja, aku tidak mau resepsi pernikahanku jadi terlihat seperti ulang tahun anak kecil. Yang elegan, berikan asken itu dengan sentuhan elegan dan terkesan dewasa. Kalian paham kan dengan maksudku? Aku ingin resepsi pernikahan ini akan menjadi resepsi pernikahan terindah yang pernah diulas ileh Vogue atau Elle. Semua undangan nanti akan ku berikan rose wine dari Prancis. Mas de Cadenet Cotes de Provence Sainte Victoire Rose yang berasal dari Provence, rose wine terbaik yang labelnya dilukis oleh Paul Cezanne, pelukis legendaris yang melukis Les Joueurs de Cartes, The Card Players. Pernah melihat lukisannya? Lukisan itu ada di Musée d'Orsay, di Prancis.” Kata klien kami yang paling baru Andrea Galison si penyanyi Opera yang akan menikah dengan pengusaha berlian yang sangat terkenal di sini.
“Baik, semuanya sudah kami tulis dan rekam. Mungkin dua hari lagi kita bisa bertemu kembali untuk membahas portofolio-nya? Kami akan membuatnya secepat yang kami bisa.” Kata Anne yang sedari tadi kebingunga mencatat nama-nama asing di buku notes miliknya.
“Baiklah, dua hari lagi di sini, di jam yang sama. Jam makan siang, kalau begitu aku undur diri dulu, aku harus latihan untuk pentas besok malam. Semuanya harus lancar dan sesuai dengan kriteria yang aku inginkan, tolong kalian kerjakan dengan baik. Semua orang terkenal akan datang ke acaraku ini, jangan sampai aku dipermalukan di resepsi pernikahanku sendiri. Aku ingin yang grande, spektakuler sampai orang selalu mengingatnya disepannjang hidup mereka.” Kata Andrea dengan tangan yang mengeliat kemana-mana.
“Baik, kita bertemu dua hari lagi.” Kami semua berdiri dan bersalaman, kemudian Andrea mengambil tas tangannya dan pergi dari coffee shop tempat kami masih tinggal untuk mencerna semua keinginan Andrea yang ‘ajaib’.
“Oh, Tuhan. Semakin hari kosakata bahasa asingku makin bertambah namun rasa pusingku juga tidak mau berkurang. Klien ajaib lain, sungguh menyenangkan sekali pekerjaan ini.” Kata Anne yang membuka kedua tangannya tak terlalu lebar untuk menyindir kemauan klien yang barusan.
“Untungnya kita selalu merekam semua pembicaraan dengan klien. Sekarang tinggal kembali mencerna apa yang dia inginkan dan bagaimana kita bisa melakukan semua list dan panduan berdasarkan kriteria yang ia inginkan. Apakah kita harus memasukkan musik-musik Prancis? Karena sepertinya dia suka sekali dnegan Prancis. La vie en Rose, Clair de Lune, La Mer?” tanyaku pada Anne yang sedang sibukmengamati catatannya.
“Kau tahu banyak juga ya tentang musik.” Puji Anne yang langsung memandangku kagum.
“Itu kan lagu-lagu umum yang siapa saja tahu.” Ujarku merendah.
“Ya, meski begitu aku kagum kau tahu basic yang asal kau tahu saja, tidak semua orang tahu dengan lagu-lagu itu. Aku bahkan baru tahu semua lagu yang kau sebutkan saat bekerja di tempat Zoe, sebelumnya ku pikir semua nama itu adalah nama Brand pakaian dalam.” Aku tertawa mendengar ucapan Anne.
“Maksudmu seperti La Perla? Itu pakaian dalam dari Italia, bukan Prancis.” Jelasku yang membuat Anne jadi ikut tertawa.
“Oh! Ku pikir itu dari Prancis karena terdengar sangat Prancis sekali! Ya, Tuhan, aku jadi malu!” katanya tertawa tidak berhenti-henti.
“Awalnya ku pikir juga itu dari Prancis, kau tidak sendirian.” Kataku.
“Ah, baiklah sekarang kita harus segera kembali ke kantor, aku sudah mencatat semua istilah Prancis ini dan kita harus segera rapat untuk membuat portofolio. Semoga saja tidak ada yang banyak dirombak karena aku sudah bisa membayangkan bagaimana tabiat klien kita yang satu ini. Merah muda! Baiklah.” Anne pun merapikan semua barang bawaannya dan memasukkannya ke tas tangan serta map. Kami pun segera menghabiskan minuman kami masing-masing sebelum pergi dari coffee shop ini. Perutku sudah lapar, aku ingin buru-buru makan karedok yang ku buat pagi tadi dengan tahu goreng dan telur dadar. Simpel, namun enak.
Makanan enak tidak berarti susah. Dan ini benar-benar ku terapkan di kehidupanku sekarang. Memasak di pagi hari untuk sarapan dan kemudian bekerja bukanlah perkara yang mudah. Kalau terlalu susah, tenaga sudah habis duluan sebelum berangkat ke kantor dan yang ada aku jadi tidak fokus.
Kami pun segera pergi dan kembali ke kantor dengan mobil Anne.
***
“Kau punya tamu.” Kata Matt ketika aku dan Anne baru sampai ke kantor.
“Tamu? Siapa?” tanyaku bingung. Siapa tamu yang datang menemuiku si anak baru ini?
“Ada di ruangan Zoe. Silakan dicek sendiri ke sana.” Kata Matt yang tersenyum penuh arti. Aku yang kebingungan pun langsung menuju ruangan Zoe yang transparan. Bisa ku liat seorang pria yang sedang memungguiku ada di sana. Dari perawakannya tentu saja itu bukan Rendi, tapi entah kenapa punggung itu terlihat familier.
Aku mengetuk pintu kantor Zoe sebelum dipersilakan untuk masuk. Zoe pun menyuruhku untuk masuk sesaat setelah aku berhenti mengetuk. Dan si tamu yang ku dapati sedang mengobrol dengan Zoe menoleh.
“Louis?” Tanyaku bingung.
“Hai, Bianca. Ku bawakan oleh-oleh, aku baru saja pulang dari Prancis.” Kata Louis memperlihatkan dua tentengan besar kepadaku.
“Oh, hai... terima kasih.” Ujarku yang masih bingung.
Matt, kenapa juga Louis datang dengan membawa oleh-oleh dari negaranya dibilang ingin bertemu denganku. Sudah jelas semua ini ia bawa untuk semua orang di kantor. Ku rasa ia memang ingin menjahiliku begini. Padahal aku sudah lapar, mau menikmati bekal yang dari tadi sudah buat ngiler.
“Bianca, sini.” Zoe pun menyuruhku untuk duduk di sebelahnya. Aku pun menurut dan berjalan ke arah Zoe untuk duduk di sofa lain yang ada di dekatnya. “Bagus sekali, kan?” tanya Zoe yang memperlihatkan tas kecil imut dengan logo Gucci di tengahnya.
“Ya, bagus sekali. Warnanya cocok untukmu.” Kataku pada Zoe.
“Untukku? Bukan, bukan, ini untukmu dari Louis.” Zoe pun memberikan tas kecil dengan warna hitam dan aksen rantai emas dan patch berwarna khas Gucci, hijau dan merah. Tali bentuk lilit pun berwarna senada, hitam, merah, dan putih keemasan padaku.
“Maaf, bagaimana? Aku tidak memesan apa pun.” Ujarku yang sudah ngeri harus membayar puluhan juta hanya untuk tas kecil dengan logo yang terkenal di seluruh dunia dan ingin di film-kan juga skandalnya oleh Lady Gaga dan Adam Driver.
“Tentu tidak, itu untukmu. Aku membelikannya untukmu dan juga untuk Zoe.” Louis mengatakannya sangat enteng dengan suaranya yang berat.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mencerna apa yang dikatakan dan juga dilakukan oleh pria dihadapanku ini yang dengan mudah mengeluarkan uang puluhan juta hanya untuk menghadiahi tas. TAS!
“Kau tak perlu memberikanku tas ini.” Kataku yang mencoba menolaknya dnegan halus karena aku tidak ingin ada balas saja setelahnya.
“Sudah ku belikan untukmu, terimalah. Ini juga sebagai rasa terima kasihku karena sudah merepotkanmu dulu, kau harus mendengarkan semua ceritaku dan jadi orang yang harus bosan setengah mati karena aku recoki terus sehabis pulang kerja dan bukan di jam kerjamu. Tapi meski pun di jam kerja, ku rasa rengekan mantan klien bukanlah lagi sebuah pekerjaan. Jadi mungkin hanya ini yang bisa ku berikan sebagai rasa terima kasihku padamu, Bianca.” Louis pun memberikan kotak tas serta paper bag-nya kepadaku.
“Bianca, kita bukan sedang bekerja di kantor pemerintahan. Hadiah dari klien bukanlah suatu hal yang buruk.” Zoe pun mengambil barang pemberian Louis itu dan menaruhnya di pangkuanku.
“Kau tahu, ini sungguh sebuah hadiah yang sangat... besar. Apa kau yakin?” tanyaku lagi karena aku masih ngeri dengan bundal harga yang meski tidak terlihat secara gamblang, namun bisa ditaksir tidaklah murah.
Aku memiliki satu tas tangan Gucci, dan itu ku beli saat dengan sale besar-besaran. Sudah gila rasanya membeli tas dengan harga normal yang kalau ditukar dengan motor, mungkin bisa terbeli dua.
“Dulu Bianca bekerja di perusahaan investasi. Dia bekerja sebagai Broker di bagian Sekuritas. Jelas saja, hadiah seperti ini mungkin akan ia pikirkan berkali-kali sebelum diterimanya.” Zoe pun pada akhirnya menceritakan background pekerjaanku dulu pada Louis.
Bukannya aku tidak suka, tapi aku lebih baik tidak perlu menceritakan latar belakang pekerjaanku dulu kalau memang tidak sangat perlu sekali. Aku lebih suka menyimpannya dan memberitahukannya pada orang yang memang aku mau. Dan Louis tidak masuk dalam daftar itu.
“Oh! Begitukah? Ternyata Bianca hebat soal saham? Mungkin kapan-kapan aku boleh berkonsultasi kalau begitu.” Ia terlihat terkejut namun takjub dengan pekerjaanku dulu.
“Jika kau ingin bertanya, aku sebenarnya tidak terlalu mengikuti pergerakan saham di sini.” Jawabku.
“Tapi kau pasti bisa membaca semua grafik yang ada, kan? Beli atau tak perlu, ambil atau tunggu. Itu adalah hal-hal yang selalu menjadi perhatian seorang Broker. Mungkin kalau suatu saat nanti kau berencana mengganti pekerjaan, silakan datang ke kantorku. Aku selalu butuh orang yang bisa menganalisa hal apa pun itu. Perusahaanku masih baru, masih perlu banyak orang-orang berkualifikasi yang memiliki pengalaman dan kemampuan terbaik.” Ujar Louis.
“Kalau hanya membacanya bisa, tapi sebelum itu aku harus tahu dulu bagaimana keadaan pasar di sini. Karena kau tidak hanya perlu bisa membaca, tapi juga mengerti dan memiliki strategi untuk bisa menang di pasar modal. Saham itu tricky, semuanya perlu dipelajari dan terkadang bahkan yang sudah senior pun masih suka salah dalam mengartikannya. Tapi terima kasih atas tawarannya, itu pun kalau Zoe rela melepasku nanti, kalau sekarang aku masih nyaman dengan pekerjaanku ini.” Jawabku sesopan yang aku bisa.
Entah kenapa kini aku merasa tidak terlalu nyaman setelah dihadiahi tas Gucci begini. Rasanya kado pemberian dari Louis adalah sebuah beban yang membuat perasaanku menjadi berat. Bukan berarti aku menolah rezeki, tapi bukanlah rezeki yang kita dapat juga ada limitnya? Bukankah keberuntungan orang itu ada batasannya? Aku yakin, tidak ada orang di dunia ini yang hidupnya selalu beruntung tanpa pernah sial sekali pun.
“Sepertinya Bianca adalah jenis pegawai yang berdedikasi tinggi. Ku rasa Zoe sangat berutung memiliki pegawai sepertimu.” Louis pun tertawa di susul dengan Zoe yang juga ikut tertawa bersama.
“Mungkin.” Ujarku yang hanya tersenyum dan bingung ingin mengatakan apa lagi.
“Bianca masih sangat ku butuhkan di kantorku, jangan coba-coba mencuri pegawaikku, Louis.” Ancam Zoe bercanda.
“Aku tidak janji.” Balasnya yang membuatku makin keki.
Ah, kapan obrolan ini selesai? Aku sudah kelaparan!
-Continue-