EMPAT PULUH SATU : Paris Can Wait

1735 Kata
Ini kedua kalinya aku bertemu dengan Nenek dan Kakek Rendi dari pihak Ayahnya via Zoom. Saat pernikahan kami dulu, Nenek dan Kakeknya tidak bisa datang karena mereka tinggal di Prancis dan sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jarak jauh. Aku pun maklum dan kasihan kalau mereka harus menempuh jarak yang sangat jauh untuk bisa datang ke pernikahan cucunya itu. Dulu, kami akhirnya membuat live session untuk para kerabat yang tidak bisa datang. Entah karena terlalu jauh atau berhalangan. Bukan hanya artis saja yang bisa melakukan acara live seperti itu di televisi, kami pun bisa meski tidak di televisi namun sajian live di media lain.  Jujur saja, aku masih terlalu canggung untuk mengobrol dengan Kakek dan nenek Rendi yang bahasa indonesianya sudah berlogat Prancis karena sejak muda dulu mereka tinggal dan menetap di sana karena Kekek Rendi dulu bekerja di Kedubes Indonesia di Prancis sampai pensiun. Sebenarnya Rendi tidak jarang menghubungi mereka namun hanya lewat telepon, aku pun melakukan pembicaraan basa-basi hanya dalam waktu singkat saja di telepon. Namun kali ini berbeda, kali ini kami melakukan panggilan Zoom dengan aku yang sedikit gugup dan Kakek serta Nenek Rendi yang terlihat senang di seberang sana karena bisa melihat cucu dan istrinya. “Oh, selemat pagi.” Kata Kakek Rendi dari seberang sana. “Ini sudah sore di Australia, Pere.” Ujar Rendi yang memanggil kakekknya itu dalam bahasa Prancis. “Begitu kah? Oui.” “Bagaimana kabar kalian?” tanya sang Nenek yang mengenakan baju putih dan terlihat sangat stylish meski tidak berdandan. “Baik, Mere. Bagaimana keadaan kalian di sana?” Kali ini Rendi giliran bertanya pada Neneknya. “Baik, kami sehat.” Kata Mere.  “Baik, mainlah kapan-kapan ke sini dengan Bianca.” Aku tersenyum ketika ajakan untuk berkunjung terlontar.  Sebenarnya, pilihan kami dulu saat ingin berbulan madu ada dua. Pertama ke Raja Ampat dan kedua ke Prancis sembari mengunjungi Pere dan Mere di sana. Namun karena untuk mengurus visa dan segala keperluan lainnya membutuhkan waktu yang lama, akhirnya kami mengurungkan niat untuk bulan madu di sana. Padahal aku sudah bisa membayangkan aku akan mengunjungi Champs-Élysées dan menikmati kopi di sembarang coffee shop di sana sambil mengenakan sepatu dan tas kebanggannku. Aku juga ingin seperti Louisa Clark dengan kaus kaki lebahnya yang duduk sendirian di kafe dan menikmati kopi serta pemandangan santai kota Paris. Tapi semuanya harus pupus tidak terlaksana karena prosedural yang panjang dan belum tentu juga visa kami bisa lolos di pertama kali percobaan. Bye, Champs-Élysées, Eiffel Tower, Ladurée, Carrousel du Louvre, dan semua tempat yang sudah aku buat list-nya di buku notesku. Semua bayanganku dari semua film yang aku suka mulai dari Midnight in Paris yang ditulis oleh Woody Allen, sampai Paris Can Wait yang dibintangi oleh Diane Lane lulntur seketika. Siapa pun yang pernah menonton Paris Can Wait ku jamin ingin sekali menikmati berkendara dengan mobil menyusuri French Riviera. Pergi dari Menton, ke Antibes lalu lanjut ke kota Nice, lalu berakhir di Cannes. Tempat di mana semua film legendaris di putar. Siapa tau aku bisa bertemu dengan Pierce Brosnan atau Daniel Craig yang sedang syuting James Bond, kan? Tapi semua itu kini hanya seperti angan-angan. Kalau dilihat dari intensitas kerja Rendi, untuk bisa benar-benar berlibur ke sana rasanya hanya saat ia pensiun saja. “Dengan senang hati saya juga mau berkunjung ke sana.” Kataku, “bayangan tentang Paris selalu ada karena semua film dan dokumenternya.”  “Tentu! Datanglah kalau kalian sedang libur, nanti kalian bisa tinggal di l’appartement kami di Paris.” Ujar Pere. “Apartemen yang kami sewakan di Paris pas sekali ketika kalian membuka balkon, kalian akan langsung melihat pemandangan Eiffel tower dengan jelas. Ada di Paris 7rd.” Jelas Mere. “Wow.” Ujarku singkat karena terlalu terpana. “Bianca pasti akan suka kalau tinggal di sana. Tapi bukankah apartemen yang di sana di sewakan? Apa penyewanya tidak ada?” Tanya Rendi. “Sekarang kami hanya menyewakannya per hari atau per minggu saja. Yang menyewa biasanya turis yang ingin sekali memiliki hunian sementara dengan pemandangan menara Eiffel. Kami tidak mau menyewakannya sampai sebulan atau bahkan lebih karena sudah banyak kasus hunian harus kami banyak perbaiki karena sikap tidak bertanggung jawab dari penyewa.” Mere pun terlihat sebal ketika mengatakannya. “Sofa kami hancur.” Pere pun tertawa mengingat sofanya yang hancur karena ulah sang penyewa apartemen.  “Tidak lagi mau ku sewakan pada orang-orang seperti itu. Karena kalau mereka menyewa dalam waktu yang lama, mereka seperti menganggap kalau hunian itu adalah milik mereka saja. Mereka bebas melakukan apa pun, dan memperlakukan furniture kami seenaknya. Sungguh sangat tidak bertanggung jawab sekali.” Berbeda dengan Pere yang mungkin menganggapnya lucu, Mere malah kebalikannya. Ia terlihat sebal sekali. “Jadi kalau kalian ke sini, kalian bisa menempatinya karena kami tidak pernah menyewakannya dalam waktu lama. Dari Paris kalian bisa ke Switzerland, lalu ke Milan, dan ke Venice.” Pere menjelaskan tur antar negara yang bisa ditempuh hanya dengan kereta api saja.  “Kami akan menguhubungi Mere dan Pere jika ingin berlibur ke sana.” Ujar Rendi.  “Tentu, kami akan senang sekali kalau kalian ke sini. Kita hanya bertemu lewat panggilan seperti ini saja, tidak bertatap muka langsung sambil makan malam.” Mere pun tak lagi sebal karena topik pembicaraan sudah berganti. Dan selama setengah jam kemudian, kami membicarakan tentang tur dan wisata terkenal yang ada di sana. Dari yang tradisional seperti Opera sampai yang modern seperti Fashion Week yang biasanya akan sangat ramai karena banyak turis yang ingin melihat bagaimana pagelaran itu berlangsung meski tanpa masuk ke gedung-gedung yang menyajikan runaway berbagai rumah mode.  Pembicaraan selesai ketika Mere dan Pere pamit untuk sarapan. Kami pun mematikan komputer dengan aku yang masih termenung membayangkan bagaimana indahnya kota Paris dengan segala wisata yang disajikan.  “Kayaknya kita kapan-kapan harus ke sana deh, beneran. Aku udah ngebayangin bakalan duduk di salah satu kursi coffee shop di sana sambil pesan Flat White trus makan macaroon di siang hari, malemnya kita makan entah di restoran mana sambil menikmati pemandangan kota yang rame. Tapi kayaknya dateng jangan pas lagi Fashion Week, soalnya turlisnya terlalu banyak sampai membeludak. Mau makan atau minum di kafe aja sampai harus antre.” Kataku. Rendi pun tersenyum, “hmm... kalau ada libur panjang mungkin bisa, tapi kalau sekarang-sekarang ini aku nggak jamin kalau aku bisa. Kamu juga kerjaan lagi sibuk-sibuknya, kan? Sekarang lagi musimnya orang nikah, Zoe juga mungkin nggak akan izinin kamu buat cuti liburan ke Paris.” “Iya, aku tahu. Nggak sekarang-sekarang ini, tapi nanti. Aku sih malah udah berpikiran mungkin baru bisa ke sana kalau kamu udah pensiun jadi kamu nggak sibuk lagi dan nggak dikejar-kejar kerjaan pas kita liburan nanti. Masih lama banget.”  Rendi tertawa dan mengacak-acak rambutku gemas yang ku biarkan saja karena memang apa yang aku katakan bisa saja kejadian karena memang Rendi sesibuk itu belakangan ini. “Nggak sampai aku pensiun juga. Mungkin tahun depan atau tahun depannya lagi bisa.” “Iya, atau tahun depan depannya lagi, atau mungkin lima tahun lagi. Siapa yang tahu, kan? Kamu aja nggak tahu apa lagi aku.” “Kita pasti bisa ke sana kok, tenang aja, pasti bisa. Nggak harus nunggu sampai lima tahun lagi apa lagi nunggu sampai aku pensiun, kelamaan. Nanti kita rencanain ini semua ya, pasti bisa ke sana nggak harus nunggu sampai bertahun-tahun lamanya.” “Lebih baik kita langsung pergi tanpa direncanain terlalu lama. Persentase nggak jadinya akan semakin besar.” Kataku, “liburan sama kayak nikah, kalau terlalu lama direncanain, bisanya kemungkinan besar akan gagal.” Rendi hanya menatapku tanpa berkata-kata.   ***   “Gue buat tato.” Kata Mila yang memamerkan tato berbentuk detak jantung di pergelangan tangannya pada kami semua. “Wow, tato is selamanya ya, Mils.” Kata Candra yang kaget dengan tato di pergelangan tangan Mila yang mulus. “Si Emil ini yang nyuruh lo apa gimana?” “Nggak, gila! Gue yang mau sendiri, Gue buat ini waktu ke Bali kemarin. Emil bahkan belum tahu soalnya kami belum ketemu lagi.”  “Berantem?” tanyaku. “Orang nggak ketamuan itu bukan hanya karena berantem aja, ya, alasannya. Bisa juga karena masing-masing sibuk.” Jawab Mila. “Biasanya kalo udah sekali mau nambah lagi sih kalo buat tato begitu.” Tio pun berkomentar. “Just this one, gue cuma mau inget aja kalau gue itu hidup, jantung gue masih naik turun karena berdetak. Cuma itu, gue cuma mau ada yang jadi pengingat aja.” Aku tersenyum, “sangat filosofis sekali ya. Lo berasa idup juga kan kalo udah dikata-katain sama Candra, diomelin sama Tio? Tapi itu pilihan lo, so it’s okay.”  “Gue kan kalo ngatain elo semua itu pake cinta jadi terdengar biasa-biasa aja, bahkan elo semua kalo nggak denger gue ngomel jadi kangen kan? Belakangan ini kan gue udah jarang ngomel, malah kayaknya sekarang gue jadi sering banget di-bully entah kenapa. Apakah gue sekarang ini jadi terlihat sangat lembek? Atau karena lo semua lega karena bully gue via internet begini? Emang pada kurang ajar semuanya.” Kami tertawa, “ngomel sih nggak, ya. Merepet doang sampai bikin kuping jadi nyut-nyutan dan kepala pusing. Udah kayak abis minum banyak tau nggak.” “Tuh, kan, mulai lo semua.” Candra menunjuk kami satu per satu, “tapi ngomong-ngomong ya, gue kemarin abis makan siang di tempat kesukaan kita, di kantin Electronic City. Sumpah kok rasanya makin enak aja ya? Apa karena udah lama nggak makan si sana jadinya hawa kangen nostalgia itu bikin rasa makannya jadi tambah enak, ya?” Tanya Candra. “Duh, gue jadi kangen tau! Lo mah bahas itu! Gue kangen juga makan di Sego Jongkok, makan ikan bawal bakarnya trus abis itu minum es kelapa, gorengan cimpedak, sama pulang beli asinan betawi. Wah gila, sih, gue jadi ngiler! Di sini mana ada!” Ujarku. “Ya udah, Yo, Can. Minggu depan makan siang bareng bisa kali ke sana? Biar si Cacha ngiler dan kita bisa pamer. Ujung-ujungnya dia balik ke Jakarta hanya demi makanan.” Mila tertawa. “Bolehlah, minggu depan bisa lah gue, bisa-bisain. ELo juga kan, Can? Lo yang paling deket ke sana.” Tembak Candra ke Tio. “Bisa, gampang lah itu bisa diatur.” Jawab Tio. “Ih! Pada jahat banget ke gue lo ya semua!” Aku pun protes karena bisa membayangkan kalau mereka semua berkumpul untuk makan dan gibah. Aku rindu masa-masa itu. “Makanya balik lo!” Candra pun tertawa. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN