Aku menaruh seluruh barang bawaanku ke atas meja di depan sofa. Apartemen sepi, Rendi pulang telat lagi karena ada acara entah apa aku tidak mengerti karena aku sudah terlalu lelah untuk menelaah isi pesan yang Rendi kirimkan ke w******p. Aku tidak langusung berganti pakaian karena pikiran serta badanku sedang kelelahan. Aku sudah membawa hadiah dari Louis tadi, tas serta beberapa kotak cokelat, teh, macaroon, dan juga stamp dari toko Shakespeare & Company yang ku rasa adalah barang yang mungkin akan diinginkan semua orang sebagai souvenir atau oleh-oleh dari sana. Ini bukan hari ulang tahunku, tapi semua yang ku bawa terasa seperti hadiah ulang tahun entah kenapa. Bahkan hadiah ulang tahun Anne tempo hari tidak sebanyak ini.
Aku merentangkan tangan ke atas denga kaki yang lurus sejajar. Ku ambil satu kotak hijau pastel yang ada di kantung dan membukanya, sederetan macaroon aneka warna ada di sana. Ku ambil satu dan ku gigit sedikit. Tentu saja rasanyanya enak, tidak ada macaroon terenak yang pernah ku makan kecuali milik Laduree ini. Kotak lumayan besar yang berisi dua puluh empat macaroon itu ku taruh ke atas meja. Macaroon yang ku nikmati rasanya agak pahit, mungkin ini rasa bitter chocolate yang membuatku, si penyuka makanan manis ini, sangat suka. Di sunyinya apartemen ini, aku hanya menikmati camilanku tanpa ada suara apa pun. Televisi tidak ku nyalakan, begitu pula dengan musik. Aku hanya diam memandang lurus ke arah televisi yang mati dan mengunyah lamat-lamat.
Dan ketika satu macaroon itu habis, aku kembali bersandar dan memejamkan mata. Aku lelah dan mengantuk.
***
Aku tidak ingat kapan aku sudah tidur di atas kasur dengan selimut yang membungkusku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan bangun ketika badanku sudah mulai terbiasa. Baju yang ku kenakan masih baju saat aku ke kantor hari ini. Lampu ruang tengah masih menyala, mungkin Rendi sudah pulang dan memindahkanku ke kamar ketika melihatku tertidur di sofa tadi dengan posisi duduk bersandar.
“Kamu udah pulang?” tanyaku pada Rendi dengan suara pelan.
Ku lihat Rendi tengah duduk di atas pantry dengan laptop yang terbuka.
“Kamu kok bangun? Laper?” tanyanya sambil menengok ke araku yang berjalan menuju pantry.
“Kebangun.” Kataku, “laper juga belum makan malem.”
“Mau pesen makanan apa?” tanyanya yang agak menggeser laptop yang ku lihat menampilkan entah dokumen apa.
Aku pun bersandar ke lengannya yang polos karena ia sudah mengganti pakaiannya dengan kaus putih kebesarannya itu.
“Nggak tau, aku bingung.” Kataku.
Bisa ku lihat telapak tangannya yang besar mendarat ke keningku beberapa saat.
“Badan kamu anget. Kamu sakit? Makan bubur aja mau? Kita pesen bubur aja gimana? Congee ayam di restoran Chinese deket Starbucks itu enak. Makan itu aja ya, kamu.” katanya yang kini merangkulku dengan tangan kirinya dan aku balas memeluk tubuhnya.
“Ya udah.” Kataku.
“Kamu kecapekan? Jangan sampai sakit apa lagi tifus, kalo capek kamu istirahat yang cukup. Makan yang banyak.” Katanya menasehatiku yang sudah mulai menunjukkan gejala akan sakit ini.
“Aku makan banyak nanti aku gemuk.”
“Emang kalo gemuk kenapa?” tanyanya heran, “kamu gemuk juga kan yang penting sehat. Mau gemuk kek, mau nggak gemuk, ya nggak apa-apa. Yang penting kan sehat, aku lebih suka kamu sehat tapi gemuk dari pada badan kamu yang menurut kamu udah ideal ini tapi kamu cepet sakit.”
“Aku nggak mau gemuk.” Kataku pelan.
“Ya udah, yang penting jangan sakit aja. Aku pesen makanan dulu, handphone aku ada di kamar.” Aku pun melepaskan pelukanku pada Rendi dan ia bangkit berdiri untuk memesankan makan malam untuk kami. Aku sudah yakin Rendi akan memesan mabo tofu yang pedas, makanan kesukaan Rendi. “Oh, iya, semua barang-barang kamu aku taruh di kamar, di atas meja. Tumben kamu belanja banyak.”
“Bukan belanja, tapi oleh-oleh dari klien.” Kataku.
“Oh, baik juga ya klien-klien kamu. Merasa dibantu banget berarti ya buat adain resepsi jadi yang mereka mau, apa lagi kan yang pakai jasa kantor kamu itu rata-rata orang atas.” Rendi pun mengatakannya sambil berjalan menuju kamar untuk mengambil ponselnya yang ada di atas nakas kamar tidur.
Aku hanya diam tidak menanggapi. Louis tidak masuk dalam kategori klien yang sukses malangsungkan pernikahan dengan resepsi yang diinginkannya. Jelas ia bukan kategori yang dimaksud oleh Rendi tapi, yang memberikan semua itu faktanya Louis. Kalau dipikir kembali, rata-rata orang yang telah menjadi eks klien tidak pernah memberikan barang-barang berlebihan seperti Louis. Mereka biasanya hanya memberikan souvenir yang sesuai dengan tamu-tamu lain. Hanya Wine yang paling wah yang pernah ku terima.
Andaikan aku menceritakan semua ini pada Rendi, apa dia akan bereaksi seperti saat aku melihatnya bersama Gillian dulu? Sesaat, aku ingin menceritakan semuanya, tapi aku sedikit khawatir kalau nanti akan muncul kesalahpahaman dan akhirnya kami bertengkar lagi. Pertengkaran kemarin saja sudah membuatku lelah, kalau ditambah ini, entah apa yang akan terjadi nanti.
Rendi selesai memesan makanan untuk kami. Dan benar seperti dugaanku, ia memesan mabo tofu yang rasanya pedas nyelekit sedangkan aku bubur yang rasa pedasnya sedikit pun tidak ada.
“Kamu jangan makan yang terlalu pedes gitu sering-sering, Ren. Kasihan perutnya, kamu kan suka telat makan kalo lagi sibuk kerja. Harus diingetin, bahkan kalo di rumah aku suami mata nggak lepas dari laptop.” Tegurku pada Rendi setelah ia selesai menelepon dan kembali duduk di sebelahku.
“Sakit sekali-kali nggak apa-apa, biar aku nggak harus ngantor dan pusing sama kerjaan.” Katanya.
Aku memukul lengan Rendi lumayan keras sampai ia mengaduh, “nggak boleh kamu ngomong begitu! Omongn itu doa, tau! Ini aja aku mau sakit kamu udah heboh, nanti aku juga begitu, kalo semuanya sakit siapa yang mau urus kita? Di sini kita cuma berdua aja, loh, nggak ada keluarga. Masa semuanya masuk rumah sakit? Kan nggak lucu banget!” Kataku sebal.
“Iya nggak, aku bercanda aja. Cuma sekali ini aja makan pedesnya, besok-besok nggak lagi. Kamu tenang aja.” Rendi pun merajuk agar aku tidak ngomel-ngomel padanya lagi.
“Jangan sakit-sakit pokoknya, ini nanti kamu minum s**u habis makan mabo tofu, biar perutnya dingin, nggak panas karena cabe.”
“Iya.” Kata Rendi menurut.
“Aku ada cokelat di tas yang ku bawa itu, tolong ambilin, Ren. Ada macaroon, teh, sama sabun handmade juga.”
“Kamu, nih, nggak sekalian. Sukanya buat aku bolak-balik.” Kata Rendi yang kembali berdiri untuk kembali ke kamar dan membawakan tas berisikan oleh-oleh dari Louis.
“Biar kamu olahraga, nggak cuma mata aja yang dibuat olahraga sama kamu karena nggak dibiarin istirahat sebentar aja.” Jawabku dengan suara yang lumayan kencang agar Rendi bisa mendengarnya.
Setelah keluar dari kamar, Rendi pun menyalakan televisi dan memutar musik dari Youtube supaya suasana apartemen sedikit ramai. Seperti biasa, pilihan lagunya jatuh pada musik klasik yang sering juga ku putar.
“Olahraga keliling apartemen aja ya, nggak usah jogging pagi-pagi.” Ia tertawa dan menyerahkan tas besar itu padaku.
“Iya, seratus langkah muterin apartemen aja sampai yang penghuni di bawah komplain.” Aku pun ikut tertawa.
Ku keluarkan semua hadiah yang ada di dalam tas kecuali si Gucci yang tidak ku masukkan ke dalam tas oleh-oleh. Aku membuka kotak Laduree namun Rendi hanya meringis karena macaroon adalah makanan termanis yang pernah ada. Ia membuka kotak cokelat yang di dalamnya terdapat berbagai jenis bentuk dan rasa. Ia pun mengambil kartu yang diselipkan di dalam kotak, yang menjelaskan rasa dari tiap-tiap cokelat yang ada.
“Ini pasti mahal sampai ada information flavor card juga. Ada yang isinya Brandy sama Wine, kebanyakan makan nanti mabuk.” Ujarnya yang masih membaca satu per satu bahan-bahan yang terkandung di tiap-tiap cokelat.
“Kamu makan yang ini aja, Wine. Bisa buat angetin badan juga, satu aja.” Rendi pun menyuapiku dan mengambil satu untuknya juga.
“Lumayan, nggak terlalu manis tapi rasanya lumayan kuat, ya.” Kataku.
“Iya, cokelat mahal rasanya elegan.” Rendi pun tertawa.
“Orang mana yang makan cokelat mahal di pantry dan lagi demam.”
“Tapi paling nggak, backsound-nya mendukung. Musiknya berkelas, masih okelah, masih masuk dan nyambung.”
Aku tertawa dan menangkupkan kedua tanganku pada wajah Rendi. Aku mengecup sekilas bibir Rendi dan tertawa.
“Jangan lama-lama nanti kamu ketularan sakit.” Kataku.
Namun Rendi tidak sependapat denganku, ia malah meletakkan tangannya di atas tangaku yang masih memegang kedua pipinya dan menciumku dalam. Rasanya sedikit aneh karena bercampur dengan cokelat dan panas tubuhku yang di atas normal. Dan karena aku jadi sedikit pusing dan terhuyung, satu tangannya memelukku agar aku tidak jatuh.
Aku mendorong tubuh Rendi, dan akhirnya ia meniadakan jarak antara wajahnya dan wajahku. Bel apartemen pun berbunyi, sungguh sangat pas sekali.
“Ambil... makanannya.” Kataku yang mencoba mengais oksigen untuk paru-paruku karena tadi sempat tak bisa bernapas. Napasku sedikit tersengal karena ulah Rendi.
“Abis makan kita lanjutin nggak?” Katanya tersenyum sambil menyalipkan sebagian rambutku ke belakang telinga.
“Nggak. Kamu mau aku pingsan?” Tanyaku dengan wajah yang sedikit bersemu.
“Yah, cuma setengah jalan.”
“Ren...” Ancamku.
Ia pun tertawa dan berjalan menuju pintu apartemen dan bisa ku dengar suara pintu yang terbuka. Ia turun untuk mengambil makanan delivery dan aku menjatuhkan kepalaku ke atas meja pantry karena lelah.
-Continue-