EMPAT PULUH EMPAT : Absent

1788 Kata
Aku tidak masuk kantor. Pagi tadi saat bangun seluruh badanku pegal dan aku demam, kepalaku juga pusing bukan main. Akhirnya aku menelepon Zoe dan Anne serta mengabarkan juga di grup kantor kalo aku tidak bisa masuk. Sakit fisik pertama di Australia dan sendirian setelah Rendi menanyakan apakah ia perlu cuti atau tidak untuk mengurusku. Tentu ku bilang tidak perlu karena untuk apa juga, nanti kalau ia terlalu lama dekat denganku yang ada ia bisa terlular penyakitku ini. Lebih aman kalau ia di kantor dari pada di sini untuk mengurusku. Obat-obatan semua sudah dibeli, makanan sudah ada di kulkas tinggal dihangatkan saja dengan microwave. Inilah tidak enaknya sakit di negeri orang. Dan sekarang aku sudah makan dan tiduran di sofa sambil berselimut dan menonton Peaky Blinders Season terbaru. Aku selalu suka aksen British yang terdengar nyaman dan seksi di telinga meski sejujurnya saat ini aku tidak terlalu fokus menonton karena entah kenapa semua yang ku tonton tidak masuk dalam otak. Dan terlebih wajah Cillian Murphy enak sekali dilihat. He’s aged like a fine wine, makin tua malah makin jadi.  Aku menghabiskan waktu dengan menonton dan menikmati camilan berupa macaroon dan buah yang sudah dipotong-potong oleh Rendi. Waktunya bersantai meski sendirian dan terasa agak membosankan. Tapi setidaknya aku benar-benar bisa istirahat dan me time tanpa memikirkan apa pun atau pun tanpa melakukan apa-apa. Menyenangkan jika hanya dilakukan sehari dua hari, namun kalau lebih dari itu rasanya akan sangat amat membosankan sampai bisa membuat badan pegal-pegal. Mungkin nanti malam aku akan meminta Rendi untuk memesankan udon dengan tempura dan onsen tamago, telur setengah matang yang kalau dibelah menjadi dua kuningnya akan meleleh ke mana-mana. Wah membayangkannya saja sudah membuatku ngiler meski perutku kini sudah penuh dan kenyang. Dulu ada restoran udon yang ku sukai waktu aku masih bekerja di Jakarta, letaknya di Citraland namun tak lama tutup padahal udon dan gyoza-nya juara sekali.  Ponselku berbunyi, ada panggilan masuk dari Rendi. Dan saat aku menengok ke jam dinding, tentu saja, ini jam makan siang jadi dia bisa meneleponku sekarang. Pagi tadi dia tidak membawa bekal, mungkin saat ini ia tengah makan dengan teman-temannya di luar. “Halo?” Sapaku dengan suara yang parau. “Hon, kamu udah makan? Udah minum obat? Lagi ngapain?” tanyanya dengan serentetan pertanyaan yang membuatku diam sejenak. “Udah makan sama minum obat tadi, sekarang aku lg nonton sambil tiduran.” Kataku yang kini berbalik arah dan tak lagi menghadap ke televisi. “Biasanya kan habis minum obat ngantuk, kamu nggak ngantuk?tidur aja kamu istirahat.” Kata Rendi.  “Belum ngantuk, nanti kalo ngantuk aku tidur. Kamu lagi makan siang di luar sama temen-temen kamu?” “Nggak, aku beli roti lapis aja sama onigiri tadi trus makan di ruangan, aku males banget keluar soalnya.”  “Oh, pantesan sepi.” Kataku. Aku memang tidak mendengar adanya suara riuh khas jam makan diang di luar ruangan seperti saat kita sedang makan di restoran atau di tempat makan yang biasanya selalu ramai. Tapi menderngarnya hanya makan roti lapis dan onigiri, membuatku jadi kasihan.  “Kamu kenapa nggak makan di luar? Jangan kayak orang yang anti sosial gitu. Kasian aku jadinya.” “Kok jadi kayak orang yang anti sosial?” Rendi tertawa, “lebih ringkes aku makan gini, makan sebentar trus sisanya aku bisa ngerjain kerjaan aku. Win-win solution banget, kan?” “Soalnya kamu mumpung nggak aku bawain bekal, kamu bisa makan di luar sama teman-teman kamu. Ngapain makan di ruangan sambil kerja, makanan jadi nggak enak rasanya kalo gitu. Kesannya kamu itu makan untuk hidup bukan hidup buat makan.” Kataku panjang lebar sementara Rendi di seberang saja hanya diam mendengarkan. “Kalo aku cepet kerjain kerjaan aku, aku kan jadi nggak harus lembur dan ngerjain kerjaan di rumah. Kalo aku kerja di rumah nanti kamu bilang, jangan kerja kalau di rumah, rumah itu buat istirahat, gitu. Ini aku buru-buru kerjain kerjaan aku biar bisa pulang tepat waktu dan bisa liat istri aku yang lagi atit.”  Aku tertawa setelah mendengar Rendi yang sok imut begitu, “ih! Geli ah, jangan sok imut gitu, cringe tau aku dengernya!”  “Aku kan begini pas kamu sakit aja, makanya kamu cepetan sembuh biar nggak aku buat geli sama omonganku yang sok imut.” “Jangan sering-sering kayak gitu, aku geli dengernya. Kamu kayak biasa aja nggak usah macem-macem.” “Tapi kalo aku gini juga kamu tetep suka, kan?” “Ren, keamu lagi kenapa sih? Kamu buat salah ya sampe kayak gini banget ke aku. Aneh tau, ini emang kamu udah selesai makannya nelepon aku lama banget, gini?” “Kalau makan begitu juga sebentar kok sebenernya, sambil kerja bisa. Aku tinggal setengah lagi makan roti lapisnya, tadi aku kebawah dulu beli teh hangat trus ku tinggal makanannya. Habis itu aku telepon kamu jadi belum habis.”  “Ya udah kamu habisin dulu makannya trus lanjut kerja biar bisa pulang lebih tepat waktu, aku juga udah mulai ngantuk. Efek obatnya lumayan juga ini.” Ujarku yang matanya sudah mulai berat dan ingin sekali tertutup.  “Ya udah, aku lanjutin kerjaan aku sambil makan. Kamu tidur, cepet sembuh ya, Hon.” Ujar Rendi yang suaranya melembut. “Iya, aku tidur dulu, sampai ketemu di rumah.” Kataku, sambungan pun terputus. Aku segera berjalan ke arah kamar dan mengganti bajuku yang sudah basah karena keringat dengan baju yang masih kering. Sakit begini jadi mudah sekali berkeringat, dan kata orang kalau sudah ada tanda-tanda mudah berkeringat itu artinya bagus. Setelah berganti pakaian pun aku langsung merangkak naik ke atas kasur. Jendela kamar dari tadi sengaja aku tidak buka gordennya, AC pun tidak kunyalakan, hanya air purifier saja yang menyala karena udara di dalam ruangan ini harus higienis supaya Rendi tidak tertular dengan penyakitku. Setelah menarik selimut sampai ke perut, aku pun memejamkan mata. Tak lama aku terlelap dan bermimpi sampai sore tiba.   ***   Aku ingat dulu saat aku menonton yang katanya film animasi terakhir yang dibuat oleh seorang Hayao Miyazaki yang berjudul The Wind Rises, yang bercerita tentang seorang pria yang terobsesi dengan pesawat terbang dan berkesempatan membuatnya setelah jatuh cinta, menikah, dan mendapati kalau istrinya terjangkit TBC, di bioskop bersama anak-anak. Aku tidak berhenti menangis karena beberapa hal. Pertama karena itu adalah film terakhir dari sang maestro, kedua kisah cintanya sangat indah sekali, dan ketiga momen perpisahan yang mengharukan namun sangat manusiawi membuatku merasa kalau apa yang ada di film adalah sebuah realita hidup di masal lalu yang mana penyakit TBC masih sangat mematikan dan belum ada obatnya.  Bagaimana seorang istri bisa menyemangati suaminya yang sedang mempresentasikan karyanya di depan para petinggi dan orang-orang penting namun di lain sisi ia harus merelakan istrinya yang di rawat di Sanatorium sedang sekarat melawan ajal. Bukan, ini buka tentang cerita penghianatan seorang suami atau pun semacamnya, ini adalah sebuah bentuk rasa bangga seorang istri akan suaminya yang mampu mewujudkan mimpi terbesarnya. Damn, film itu sangat menyentuh bahkan sampai sekarang. Dan entah kenapa aku sekarang berpikiran seperti itu, apakah ketika aku--semoga saja tidak, sekarat dan Rendi tengah mempresentasikan hasil pekerjaan hebatnya yang mana adalah cita-cita dan mimpinya sedari dulu, apa aku rela di tinggal seperti itu. Seperti Naoko yang menyemangati suaminya, Jiro dan melepasnya untuk mengejar mimpi besarnya. Namun ternyata, pesawat yang ia buat digunakan sebagai media untuk berperang. Sudah kehilangan istri, ia pun harus kecewa dengan mimpinya yang ternyata merugikan banyak orang dan menghilangkan banyak nyawa. Hidup memang penuh dengan pilihan, dan semakin sempit piihan yang ada, biasanya risikonya akan semakin tinggi.  Lagi-lagi ketika sakit begini pikiran akan ke mana-mana jadinya. “Kamu ngapain bengong?” Tanya Rendi yang sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian rumahnya. Si pria yang dulu semua bajunya serba hitam, kini sudah berubah dan mulai mengenakan baju yang tidak lagi selalu berwarna gelap. “Aku lagi kepikiran film animasi aja yang aku tonton dulu sama anak-anak.” Kataku. Rendi pun duduk di sebelahku dan mengambil ponselnya di atas meja untuk memesan makanan. “Film animasi apa? Eh kita mau pesen makan malam apa sekarang? Kamu mau bubur lagi?” tanyanya. “Udah mendingan, kan?” Rendi pun memegang keningku untuk mengecek suhu tubuhku. “Aku mau udon sama tempura sayuran, trus pakai onsen tamago, kasih kremes tempura sedikit sama wasabi sedikit, daun bawangnya banyakin, pakai tahu cokelat tipis itu. Tanuki udon pokoknya.” Jelasku ke Rendi akan preferensi makanan yang aku inginkan sebagai makan malam hari ini. “Spesifik banget ya pesanannya, Mrs. Rendi ini. Kamu udah mendingan sih, tapi nanti diminum lagi obatnya biar besok segar lagi. Tapi kalo masih nggak enak kamu ijin lagi aja, takutnya kamu kenapa-napa.” Katanya yang mulai khawatir padahal aku sudah agak mendingan dari siang tadi. “Aku besok kayaknya udah mulai oke buat ke kantor,” kataku yang membuat pandangan jadi Rendi kurang yakin, “iya tapi kalo aku masih agak nggak enak aku ijin lagi tenang aja. Kamu pesen makanan aja dulu, sambil kita nunggu aku mau nonton film animasi yang buat aku kepikiran tadi.” “Oke.” Rendi pun segera memesan makan malam kami dan ia memesan menu yang sama denganku. Tapi bedanya, ia memesan tempura udang juga yang mana tidak bisa aku konsumsi karena aku alergi mengonsumsi hewan-hewan yang tergolong dalam jenis crustacean meski sebenarnya kalau setelah makan aku minum obat alergiku efeknya tidak akan terlalu buruk.  Aku memilih The Wind Rises sebagai tontonan kami malam ini, dari awal saja musiknya sudah membuat hati jadi terenyuh. “Oh, aku udah pernah nonton dulu pas di bioskop. Aku inget banget pas nonton ini seisi bioskop nangis semua, bagus banget sih dan memang menyentuh.” Kata Rendi yang sudah selesai memesan makanan dan kini mengomentari film animasi yang aku pilih. “Ya, kan? Aku juga nangis, mataku dulu sampai bengkak banget. Tapi ini emang bagus banget dan menyentuh.” Kataku bersemangat. “Oh ini yang buat kamu jadi bengong. Kamu mikirin apa? Takut kena TBC?” tanya Rendi tanpa rasa bersalah. “Ih! Nggak! Aku tuh mikir kalo semakin sedikit pilihan yang bisa diambil, jadi semakin besar risiko dan tanggung jawab yang dipikul. Iya nggak sih, Ren?” Kataku yang meminta pendapat sekaligus persetujuan dari Rendi. “Mungkin, tapi ada banyak hal yang seharusnya nggak perlu dipilih. Dijalanin aja semua pilihan yang ada.” Katanya santai. “Ah! Nggak seru, nih. Kan aku lagi menghayati esensi dari film animasi ini.” Ujarku sedikit sebal. “Iya, iya. Ya udah kita nonton aja nggak usah debat, nanti yang ada malah nggak konsen lagi nontonnya. Musiknya bagus-bagus.” Puji Rendi yang mencoba membuatku melupakan perdebatan tak penting kami. “Iya, mimpiku pengen nonton konser Joe Hisaishi suatu saat nanti.” Kataku. “Iya, amin, nanti aku temenin.” Timpal Rendi. “Bener ya? Pokoknya harus, sekali seumur hidup juga nggak masalah.” Kataku senang. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN