TIGA PULUH ENAM : Overly Protective

1727 Kata
Ponsel Rendi kembali berdering. Ini sudah tiga kali orang yang sama menelepon Rendi di akhir pekan. Dari nama yang ada di panggilan, aku bisa melihat nama Gillian tertulis di layar ponsel.  “Ren! Hon! Beb! Hape kamu bunyi, ada telepon lagi!” teriakku dari ruang tamu pada Rendi yang sedang berada di kamar karena sedang mengganti baju karena bajunya terkena tumpahan kopi yang ia minum sendiri. “Iya, sebentar!” tariaknya balik. Aku pun tak bisa mengalihkan pandangan dari ponsel Rendi yang masih berdering. Meski kami sudah menikah, namun aku selalu menjaga privasiku dan Rendi agar tidak menggangu dan embuat risih. Sebagai seorang individu, aku paham kalau Rendi juga memiliki kehidupan pribadi di mana aku tak perlu masuk ke dalamnya. Begitu pula denganku yang mau dihormati kehidupan pribadinya. Aku belajar dari Mama dan Ayah, karena meski pun sudah menjadi pasangan, kita juga masih perlu ruang untuk sendirian. “Di weekend ini kamu masih sibuk aja.” Kataku sambil memandang Rendi yang tergesa berjalan dari kamar menuju ruang tamu untuk mengambil ponselnya sendiri. “Ini soal laporan final yang aku bilang itu.” Rendi pun berjalan menuju kamar tamu di mana seluruh tumpukan pekerjaanya berada.  Aku yang sudah sering melihat nama Gillian di layar ponselnya jadi tidak bisa berkonsentrasi melanjutkan untuk menonton series Lucifer yang sedang seru-serunya. Gillian, dari nama saja sudah bisa dipastikan kalau itu adalah nama seorang perempuan. Aku tahu kalau aku sampai cemburu rasanya berlebihan sekali karena Rendi bilang semua itu adalah urusan tentang pekerjaan yang mengharuskannya, tentu saja, berkerja dengan rekan kerja perempuan. Meski aku tahu rutinnya telepon itu masuk karena mereka sedang membicarakan tentang pekerjaan yang sangat penting, namun tetap saja rasa sedikit cemburu itu tetap muncul. Ah, aku menggelengkan kepala beberapa kali karena berharap dnegan melakukan hal itu semua pikiran negatif akan pergi dengan sendirinya. Aku bisa mendengarkan samar-samar suara Rendi yang sedang membahas tentang project yang sedang ia jalani. Aku pun melanjutkan waktuku dengan menonton televisi meski tidak fokus dengan telinga yang awas terjaga untuk mendengarkan suara samar Rendi di telepon. Dan pada akhirnya, aku memutuskan untuk mematikan televisi karena aku tahu kalau aku tetap memaksa melanjutkan untuk menonton, semuanya akan percuma karena aku tidak fokus. Fokusku alah dengan menguping pembicaraan Rendi dan diam agar makin jelas terdengar.   “Udah?” tanyaku pada Rendi yang baru saja keluar dari kamar dengan ekspresi senang. “Udah, aku lega soalnya semua udah oke dan report terakhir aku udah diterima tanpa perlu ada revisi lagi.” “Jadi kamu nggak perlu sibuk-sibuk lagi, nih, ya? Nggak ada yang namanya lagi nonton asik-asik trus ada telepon dari temen kerja dan itu membut hari libur terasa sangtat produktif sekali.” Kataku panjang lebar. “Iya, semuanya udah beres akhirnya. Sekarang aku bisa duduk di sebelah kamu sambil mencoba mencerna series yang kamu tonton itu ceritanya kayak gimana selain terlalu banyak snogging-nya dari pada adegan actionnya yang mana sayang banget.” “Bagus kalau begitu. Mari kita fokus aja buat nonton, yang lain, yang udah selesai nggak perlu dipikirin lagi.”  “Tapi bisa nggak nonton yang lain? Ini tuh, aku... hmm...” “Gara-gara pemeran utamanya laki-laki?” tanyaku. “Nggak, ini kayak nggak ada esensinya gitu. Nonton cuma selewat aja, yang lain aja, ya.” Bujuknya yang sudah menempelkan wajahnya di antara leher dan bahuku sedangkan tangannya sudah memeluk erat perutku. “Nonton Kenshin? Action semua itu.” “Boleh, kita nonton itu aja.” Kata Rendi yang tersenyum dan langsung duduk tegak karena sudah siap untuk menonton. Kalau tahu dia akan bisa serius dan tidak menempel terus padaku seperti anak kucing begini sampai membuatku kegerahan dan pegal-pegal, dari tadi saja aku suguhkan film action apa pun itu pada Rendi. Aku dan Rendi adalah dua kubu yang berbeda, Rendi sangat suka public display affection, seperti gandengan tangan di muka umum, peluk sampai kadang jahil mencium, maka aku kebalikannya. Aku orang yang timid, tidak terlalu suka memperlihatkan semua itu di muka umum. Tapi mungkin karena perbedaan itu kamu bisa cocok. Setiap aku kesal dengan kelakuannya, Rendi akan tersenyum dan tertawa seakan itu bukan apa-apa, dan melihatnya seperti itu, aku pun langsung maklum dan tersenyum. Aku sudah mulai terbiasa, sudah tahu dan paham bagaimana cara meng-counter Rendi. Begitu pula dengan Rendi, dia tahu kalau aku lemah pada sifat kekanakannya, maka dari itu, kalau sedang ada cekcok atau ribut-ribut kecil ia akan bertingkah seperti anak-anak dan tertawa. Awalnya aku sebal, tapi balik lagi, lama-lama aku terbiasa. Karena aku tahu, kalau tidak ada rasa kompromi, hubungan ini sudah dari dulu bubar jalan.  Aku memandang Rendi yang sedang fokus menonton. Saat-saat di mana hanya ada aku dan Rendi dan tanpa gangguan pekerjaan sekarang ini sudah menjadi hal yang mewah. Tidak terbayang nanti ketika kami sudah memiliki anak, mungkin waktu berduaan seperti ini akan sangat jarang kami lewati. Sekarang waktu yang tepat untuk menganggap kalau dunia hanya milik berdua, sedangkan yang lainnya mengontrak. “Tuh, giliran aku fokus nonton, kamu nggak fokus.” Kata Rendi yang tiba-tiba menatapku yang sedang fokus memerhatikannya. “Abis kamu fokus banget.” Kataku. “Ya udah, sini.” Rendi membuka lebar tangannya dan menyuruhku untuk mendekat. Aku pun akhirnya mendekat dan sudah ada di pelukan Rendi. Kami menonton dengan fokus meski aku kegerahan karena pelukan Rendi yang menghantarkan panas. Rasanya seperti berselimut tebal. Tapi aku tidak protes, kami pun menonton dengan sesekali terpukau dengan sinematografi dan koreografi yang tersaji. Akhir pekan ini pun kami lewati dengan menyenangkan.   ***   “Recital-ku kemarin gimana? Semuanya nonton kan?” Hana terlihat senang di layar laptopku. Ia sedang menikmati makan malamnya di depan laptop sementara Ibu Rendi sedang ada acara di luar kota. “Nonton! Keren banget! Aku suka semua musik yang dimainin. Penampilan kamu bagus dan pas duet itu keren banget, pantesan kamu nggak hubungin aku sama Mas Rendi.” Kataku bersemangat. Rendi pun datang dengan dua cangkir kopi ditangannya. Ia meletakan gelas di depanku dan yang satu untuknya sendiri. Rambut Rendi masih basah karena baru selesai mandi. Bangun tidur tadi bukannya langsung sarapan, ia malah duduk di teras sambil membuka laptopnya dan sibuk bekerja selama dua jam baru setelah itu sarapan dan kemudian mandi. “Tante kamu ini sampai teriak-teriak liat kamu karena terlalu bersemangat.” Timpal Rendi sambil menikmati kopi panasnya. “Keren, kan? Coba nonton langsung pasti lebih keren lagi nontonnya.” Hana tersenyum senang dan terdengar bangga. “Kamu kapan lagi ada recital?” tanya Rendi. “Kemarin terakhir, nanti lanjut lagi kalau aku udah lulus SMA kata Mama. Sekarang kerjaan aku les aja sama belajar, pusing.” Keluhnya. “Nggak usah terlalu fokus belajar, main juga selingin nggak pa-pa biar nggak stres. SMA itu harus penuh kenangan yang menyenangkan, kenal banyak orang baru, main, belajar, seru-seruan, naksir sama orang. Porsinya harus seimbang jangan sampai timpang nanti kamu depresi duluan.” Kataku. “Om bilang ke Mama kalo gitu, jangan kasih aku banyak-banyak les. Pusing tau, pulang sekolah les, aku kan juga perlu kehidupan sosial. Temenku pada les juga sih, tapi nggak terlalu padet kayak aku yang kayak mau ikut olimpiade pelajaran entah di mana. I’m not even understand!” Protesnya dengan logat yang bercampur-campur antara Indonesia dan British.  Dulu, sewaktu di Dubai, Hana masuk ke sekolah internasional di mana kebanyaka gurunya adalah orang Inggris, dan akhirnya sampai sekarang logat itu masih terbawa meski pun hanya sedikit. “Iya, kamu nanti bilang aja ke Mbak. Kasihan kalau belajar terus, Gion dulu kerjanya main basket sama playstation, les juga tapi nggak penuh jadwalnya.” Rendi pun menatapku dan hana bergantian, “ini kenapa jadi satu tim, ya? Ya udah nanti Om bilang ke Mama Hana.” Kata Rendi pada akhirnya.  Aku dan Hana pun tertawa senang karena keinginan kami akan disampaikan oleh Rendi si perantara. Aku bukannya tidak mau mengobrol dan mendiskusikan perihal ini dengan kakak Rendi yang mana sekarang sudah menjadi Kakak Ipar, tapi entah kenapa kalau soal keluarga begini, aku merasa tak perlu ikut campur secara langsung. Paling tidak, karena Rendi adalah Om Hana dan adik dari Ibu Hana, protesnya atau diskusinya nanti tidak akan jadi hal yang diluar batas.  “Terus sekolah gimana sekarang? udah punya pacar?” Tanyaku pada Hana yang membuat Rendi kaget sampai tersedak karena sedang menyesap kopinya. “Ren, pelan-pelan.” kataku yang langsung menepuk-nepuk punggungnya dan langsung mengambilkan tisu untuk mengelap sisi bibirnya yang basah karena kopi. “Kamu...” dia terbatuk, “jangan pacaran dulu.” Ujarnya yang membuat keningku bertaut. “Loh, kenapa emang?” tanyaku bingung, “Nggak pa-pa asal dalam tahap wajar. Pacaran kan belum tentu nikah sama yang dipacarin. Baru juga SMA.”  “Nope. Nanti aja kalau udah gede.” Kata Rendi.  “Emang aku kurang gede gimana, Om?” tanya Hana bingung dan sedikit kesal karena sifat over protective milik Rendi. “Kamu belum cukup umur.” Kata Rendi. “Gini emang kalo cowok tuh, soalnya dia tahu kalo kaumnya banyak yang kurang ajar. Nggak pa-pa, suka sama orang itu normal kok. Cuma kamu harus pinter-pinter bergaul aja, zaman sekarang pergaulan udah terlalu bebas dan mereka nggak tau hal negatif dan efek dari pergaulan mereka itu jadinya gimana.” “Nanti aja, ya.” Bujuk Rendi lagi. “Rendi, stop. Kalo kamu larang-larang nanti Hana bakalan nekat dan malah nggak kekontrol, mending terbuka aja. Nggak pa-pa kalo kamu mau punya pacar. Mau main sama temen-temen, tapi izin dan pamit jangan pernah lupa. Kabarin kamu lagi di mana sama siapa pulang jam berapa. Kau udah dewasa, udah punya tanggung jawab dan paham sama hal-hal yang baik sama yang buruk itu gimana. Nggak pa-pa, luasin pergaulan dan jaga diri baik-baik.” Ujarku pada Hana dan Rendi. “Tuh, Tante emang paling top, deh!” kata Hana tertawa. Rendi hanya menghela napas dan pasrah dengan segala negosiasiku tadi.  “Kita semua pengen yang terbaik buat kamu. Kalo ada apa-apa, kasih tau tante atau Om. Jangan pernah tutup-tuupin apa pun dari keluarga, nakal nggak pa-pa tapi asal masih dalam tahap wajar.” Tambahku. “Iya, Tante. Aku bakal bertanggung jawab sama diri aku dan kepercayaan Tante. Makasih banyak ya udah mau dengerin aku dan kasih nasihat. Aku nggak mau ngecewain Tante sama Om, tenang aja, Om! Untung yang nikah sama On Tante Bianca, kalo yang lain belum tentu mau peduli sama aku.” Ujar hana sambil tertawa. “Iya. Untung, emang.” Jawab Rendi yang akhirnya tersenyum dan merangkulku, si beruntung yang menikah dengannya, pun sebaliknya.    -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN