Aku tak tahu kenapa aku bisa berada di sini. Mungkin karena sifat peduliku yang terlalu tinggi? Atau aku sudah lelah melihat banyak orang yang dipermainkan perasaannya oleh sang pasangan. Tapi sekarang, aku, berdua dengan Louis, tengah duduk di salah satu cafe antah berantah setelah Louis mengirimkan pesan pada Zoe yang sedang ada di luar kota untu memperbincangkan masalah resepsinya yang gagal.
Kini aku sudah yakin seratus persen bahwa apa yang dikatakan oleh orang-orang di kantor itu benar adanya. Zoe mengandalkanku menjadi orang yang bisa dia limpahkan pekerjaannya ketika ia tidak ada. Sungguh satu hal yang membuatku jadi kelelahan luar biasa. Tapi aku bisa apa, di satu sisi aku tahu kalau itu kewajibanku dan di sisi lain aku merasa iba pada Louis. Dan seperti yang sudah banyak orang pikir dan perkirakan, berita tentang Louis bahkan masuk ke berita gosip dan koran nasional. Semua di post secara online tanpa ampun. Aku yang hanya membacanya saja dan tidak merasakannya merasakan sakit hati dan kasihan. Media memang sangat menyukai berita yang membuat iba atau murka, karena banyak orang yang suka memberikan simpati dan kemarahan mereka secara gratis dan suka cita dibandingkan berita tentang hal-hal yang informatif.
Sangat disayangkan, ketika banyak orang merasa ‘terhibur’ dengan berita seperti itu, namun bagi orang yang mengalaminya, hal itu adalah sebuah ujian dan penderitaan tersendiri. Contohnya seperti sekarang ini, Louis yang penampilannya tak lagi serapi terakhir kali aku melihatnya. Ia telihat lebih kuyu, dan tidak fokus. Sedari tadi ia hanya menenggak alkohol sejak aku datang lebih awal.
“Aku sungguh tidak menyangka kalau semuanya akan berkahir seperti ini.” Louis mengangkat gelasnya yang isinya tinggal setengah. “Dalam hitungan hari dan... Puff. Semuanya lenyap begitu saja tidak menyisakan apa pun.”
Aku diam dan menyesap kopi pesananku perlahan seakan dengan begitu aku bisa lebih fokus mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Louis dan mendapatkan jawaban yang nantinya akan aku katakan padanya. Namun mau sefokus apa pun, aku hanya bisa diam dan mendengarkan. Terkadang, disaat seperti ini kebanyakan orang hanya ingin didengar, bukan dikomentari apa lagi diusik dengan banyaknya omongan atau perbandingan cerita dari lawan bicara yang diharapkan akan bisa menjadi seorang pendengar yang baik. Mendengarkan cerita orang yang juga oernah mengalami hal yang sama atau pun yang merasa kalau certanya juga berdampak sama pada dirinya, malah akan membuat lelah sendiri ketika mendengarkannya.
Setiap orang perlu waktunya sendiri untuk bisa sembuh dari luka hati. Dan tiap orang berbeda-beda dalam menanggapinya. Meski begitu aku tak mau menjadi orang cerewet yang bisanya hanya membandingkan kisahku dengan Louis. Pun cerita kakak yang juga hampir mirip dengan Louis namun berujung lebih tragis.
“Belakangan aku sudah merasakan ada yang janggal dengan Tiffany. Ia jarang ada di apartemen, bahkan melebihi diriku yang semua orang bilang kehidupanku hanya untuk bekerja saja. Sebagai Start Up sudah sewajarnya jika kehidupanku tersita untuk pekerjaan, dan ku kira Tiffany bisa menerimanya, namun ternyata aku salah. Semua tidak seperti apa yang aku bayangkan dan inginkan. Aku memang egois.” Katanya lagi.
“Kau tahu, aku ingin mengatakan kalau kau akan baik-baik saja, tapi aku tidak ingin membuatmu jadi merasa bahwa kata-kataku ini menjadi toxic statement untuk dirimu.” Louis menatapku dengan mata yang sedikit terpejam karena mabuk, “Sekarang kau hanya bisa menerima dan tetap berjalan meski harus tertatih. Kau si pemilik keputusan, kau juga yang akan menjalani hidup setelah Tiffany pergi, artinya kau yang harus bisa menjadi nakoda untuk hidupmu sendiri. Opini orang lain hanyalah angin sepoy-sepoy untuk membuat perjalananmu tidak terlalu panas dan sangat melelahkan, Louis.”
Louis tertawa kecil, namun lama. Dan aku sudah tahu persis dengan kelakuan yang satu ini. Semua orang yang ku kenal, ketika mabuk berat akan merasakan hal yang sama.
“Umurku tiga puluh enam tahun, dan aku masih menangisi hidupku yang seperti ini. Besok aku harus kembali bekerja dan bersikap selayaknya seorang petinggi perusahaan yang tidak memiliki masalah apa pun kecuali memikirkan bagaimana bisnis ini akan berjalan. Aku hanya memiliki beberapa jam saja untuk bisa bersedih karena setelahnya aku harus fokus pada pekerjaanku, pegawaiku, investor, dan segala kesibukan pekerjaan yang rasanya tidak pernah ada habisnya. Oh, dan sekarang aku terdengar sangat cupu karena mengeluhkan ini di depanmu, seorang Wedding Organizer yang membantuku menyiapkan semua keperluan untuk resepsi pernikahanku yang batal. Betapa sempurnanya semua ini.”
Aku hanya tersenyum samar dan kembali menyesap kopiku yang sudah tak lagi panas.
“Itulah hidup. Kau tidak pernah akan tahu bagaimana semuanya berjalan dan dengan siapa kau akan menghabiskan hari dan dengan siapa kau akan mencurahkan semua isi di hati dan kepalamu. Bahkan terkadang seorang musuh bisa menjadi teman, aneh, kan? Tapi mungkin dengan begitu kita bisa menjadi orang yang bisa bertumpu pada kaki sendiri dan tidak perlu mengandalkan orang lain di saat kita sedang tidak baik-baik saja. Anggaplah semua ini hanya intermezzo hidup yang sesekali datang. Selama tidak merugikan atau menyakitkan salah satu pihak, maka semuanya tidak salah.”
Louis kembali tertawa, namun kali ini terdengar lebih kencang. Baru kali ini aku melihat seseorang mabuk di cafe. Bukan di bar seperti banyak orang lainnya menghabiskan minuman mereka yang mana sudah sewajarnya. Meski begitu aku tidak mau berkomentar dengan bagaimana cara Louis bersedih. Aku hanya akan menemaninya, mengobrolkan hal yang menurutku pantas, dan sisanya mendengarkan semua keluh-kesahnya. Meski saat ini hubungan kami adalah mantn klien, namun entah mengapa semuanya masih terasa ada batasan-batasan yang tidak boleh aku lewati begitu saja.
Aku yakin kalau Rendi sudah pulang, aku sudah mengirimkan pesan padanya di jam empat sore. Ku bilang kalau aku akan bertemu dengan klien dan menyelesaikan masalah yang ada, tapi aku tidak sepenuhnya salah, aku memang sedang mencoba menyelesaikan masalah Louis, namun dalam hal menjadi pendengar. Awalnya ku pikir kalau Louis ingin membahas tentang semua uang yang telah ia keluarkan untuk resepsinya yang gagal. Ku pikir kalau kami akan hitung-hitungan karena Zoe juga mengirimkan semua data yang sudah ia hitung dan buat tentang resepsi yang gagal ini padaku ke email pribadiku. Tapi ternyata aku salah.
“Maaf karena sudah mengganggumu. Zoe sedang keluar kota, ku pikir ia tidak akan menyusuh siapa pun untuk datang karena ia yang tidak bisa datang. Aku salah, ternyata banyak hal di luar perhitungan yang bisa terjadi di dunia ini. Yang begini saja ku bisa salah.” Ia kembali tertawa dan meracau sedangkan aku menyesap habis kopi pesananku. Flat White yang rasanya lebih pahit dari pada Cafe Latte karena kandungan kopinya lebih banyak daripada s**u. Sejak pindah ke Australia, pilihan kopiku pun berubah meski aku masih menyukai makanan manis dan tak bisa hidup tanpa camilan di kabinet.
“Tidak masalah. Aku memang selalu membantu Zoe untuk meng-cover hal-hal yang tidak bisa ia kerjakan.”
“Begitu? Baiklah.”
Louis memejamkan mata sejenak dan menutup wajahnya dnegan kedua tangannya seakan dengan melakukan hal itu ia akan kembali menjadi Louis yang biasa duduk di kursi kebanggannya di kantor dan melakukan hal-hal besar dengan hadir ke semua rapat penting yang ada.
“Sepertinya kita harus sudahi sampai di sini. Maaf sudah menyita waktumu sekali lagi dan terima kasih banyak kau sudah mau datang ke sini untuk menemaniku minum meski hanya aku sendiri yang minum. Kau juga mau mendengarkan semua cerita dan keluhanku meski atku tahu dengan mendengarkan semua itu akan membuatmu merasa lebih lelah lagi karena sudah seharian kau ada di kantor untuk bekerja. Tapi aku sungguh sangat menghargainya, aku memang banyak bicara ketika mabuk. Maaf.”
“Sesekali aku harus mendengar cerita orang-orang baru di sekelilingku. Baiklah kalau begitu, ayo kita sudahi semua ini dan kau bisa tidur karena besok ada hari yang harus dilewati terlebih untuk dirimu yang posisi dan tugasnya berat serta banyak.”
“Ya, terima kasih, Bianca.”
***
“Aku pesenin Mie Soba sama tempura sayuran kesukaan kamu.” Rendi menyapaku ketika aku baru saja masuk ke apartemen kami ketika ia membukakan pintunya untukku.
“Wah makasih, kebetulan aku pengen makan yang berkuah yang anget-anget gitu, niatnya aku mau buat indomie rebus aja kalau kamu belum pesen makanan. Eh, ternyata kamu udah pesen dan pas banget lagi sama apa yang aku mauin.”
Rendi berjalan mendahuluiku dan menuju dapur. Beberapa bungkus makanan yang sepertinya baru sampai sudah ada di meja pantry.
“Berarti aku emang jodoh kamu karena udah pas banget tahu apa yang kamu pengen.” Ia menaruh mie soba yang ada ke dalam makngkuk dan menuang kuah kaldunya ke mangkuk yang lain agar tidakmembuat mie berubah teksturnya.
“Iya dong!” teriakku dari dalam kamar untuk berganti pakaian dan mandi.
Aku membasuh badan dengan air hangat dari shower. Rasanya hari ini sungguh melelahkan dan sepertinya setelah makan nanti aku akan langsung tidur karena badanku sudah rontok entah kenapa. Mungkin karena pembicaraanku dengan Louis tadi, pikiranku jadi penuh sampai membuat badan ikut lelah.
Aku tak ingin menghabiskan banyak waktu di kamar mandi. Setelah selesai, aku langsung menuju pantry dan menemukan Rendi sedang membuat teh hangat untuk kami. Ia menyeduh teh Oolong hangat tawar dengan teko kaca transparan yang diberikan oleh Dewi sebagai salah satu hadiah pernikahan yang sangat aku suka. Bentuknya sangat cantik dan tahan panas.
“Gimana? Udah selesai masalahnya?” tanya Rendi begitu aku duduk di sebelahnya dan televisi menyalakan saluran olahraga.
“Belum. Ini aku capek banget karena habis kerja ketemu klien lagi. Kayaknya abis ini aku mau langsung tidur aja deh, besok masih belum weekend. Kenapa weekend itu cuma dua hari dan terasa lama banget, ya?”
Rendi menuangkan teh hangat pada mug milikku yang sepasang dengan milik Rendi. Mug milikku berbentuk kucing sedangkan mug milik Rendi berbentuk anjing. Ini juga dihadiahi oleh Dewi.
“Ya udah, selesai makan kamu tidur aja biar nggak capek besoknya. Tapi jangan langsung tidur nanti asam lambung naik. Kamu duduk-duduk dulu di beranda sambil minum teh hangat. Biar kananannya turun dulu.” Ujar Rendi.
Aku menyuap besar mie soba dan menyesap kuahnya yang panas perlahan.
“Iya, kamu masih ada kerjaan apa mau nemenin aku tidur?”
“Kamu mau aku kelonin biar bisa cepet tidur? Ya nggak pa-pa sih, abis itu aku baru urus laporanku yang tinggal sedikit lagi. Tanggung soalnya.”
“Ya udah kamu temenin aku tidur dulu nanti baru kerjain sisa kerjaan kamu dulu, ya.”
“Oke, nyonya Bianca. Sekarang kamu habisin makanannya, biar bisa cepet tidur.”
“Siap bos! Makan malam hari ini enak banget, kayaknya aku bisa tidur nyenyak deh karena perut enak.”
“Iya ditambah nanti aku kelonin juga. Udah jadi double comfortable banget, kan?”
“Iya.” Aku pun tertawa senang.
-Continue-