TIGA PULUH TUJUH : A Congratulation, A Sayonara

1587 Kata
 Kehidupan kerja kambali, senin datang dan membuat Rendi mengeluh ketika baru bangun tidur. Ia duduk di Pantry dengan kepala tertunduk lemas. Ia tidak langsung membuat kopi dan sarapan, tapi malah meletakkan kepalanya di atas meja seakan tidak mau terima kalau hari ini ia harus kembali bekerja dengan jas dan jabatan yang dia panggul. “Kamu baru bangun bukannya seger malah lemes gitu.” Kataku. Rendi mengangkat kepalanya dan menatapku dengan pandangan lelah, “kenapa senin datangnya cepet banget, ya?” tanyanya dengan suara serak. Aku memberikan gelas berisi air hangat untuk membuat tenggorokan Rendi jadi lebih enakan. “Minum dulu biar kamu jadi lebih seger jangan loyo begitu.” Rendi pun menurut dan menghabiskan air hangat di gelas sampai habis. “Rasanya libur dua hari itu kurang.” “Soalnya kamu libur juga masih ngerjain kerjaan, makanya kurang karena nggak sepenuhnya kamu libur. Coba kalo kamu nggak sambil kerja juga, bener-bener matinn handphone, jauhin itu laptop sama komputer kamu. Baru deh kamu bisa ngerasain yang namanya libur itu gimana.” Kataku yang menyuguhkan roti yang sudah dipanggang dan diberi madu sedikit serta wijen dan butter. Satu menu sarapan yang sejak dulu aku sukai. “Tapi kalo aku bener-bener matiin handphone, nanti kalo ada kerjaan yang urgent aku jadi nggak tahu.” Jawabnya. “Iya, jadi sekarang sih tinggal pilihan kamu aja maunya gimana. Quality time nikmati hari libur yang seminggu cuma dua hari atau kamu mau disambi sama kerjaan jadi kamu nggak sepenuhnya libur. Pilihannya kan di kamu.” Aku tersenyum lebar untuk membuat Rendi jadi bisa berpikir sendiri. “Ah, pilihannya susah.” Katanya yang langsung menyambar roti untuk sarapan. “Hidup selalu penuh pilihan, Beb.” Ujarku. Aku pun duduk di sebelah Rendi dengan sarapan yang sama. Dan karena Rendi  tidak membuat kopi pagi ini, kami minum s**u almod saja sebagai teman sarapan baru setelah itu kami akan membawa kopi dengan tumbler. Sehari tanpa kopi rasanya badan jadi remuk dan bisa membuat tidak fokus. Aku tahu kalau aku sudah ketergantungan cairan hitam pekat penuh kafeine itu, tapi mau bagaimana lagi, di saat harus bekerja dengan fokus, kopi adalah doping-nya. Rendi pun begitu, ia juga sudah ketergantungan kopi yang akan membuat matanya segar. Tapi pagi ini, kami melewatkan itu demi kesehatan kami sendiri setelah kami menonton tentang bahaya mengonsumsi kopi berlebihan. Semakin bertambahnya umur, semakin banyak yang harus dijaga. Dari makanan sampai fisik. Sudah lama rasanya aku dan Rendi tidak lari pagi, biasanya kami hanya menghabiskan waktu di balkon sambil menikmati sarapan. Bersantai dengan cara yang lebih malas karena badan selalu terasa lelah. Padahal, kalau lari pagi kembali kami lakukan, badan bisa terasa lebih segar. “Minggu depan kita massage gimana? Biar badan seger lagi trus bisa lari pagi, udah berasa badan nggak enak karena lama nggak olahraga. Kamu nanti perutnya buncit kalo cibuk kerja doang, bisa diabetes kalo nggak stroke.” Kataku. Rendi menatapku ngeri, “jangan dong. Ya udah minggu depan kita massage, badan aku udah remuk rasanya.” “Padahal kamu belum juga empat puluh tahun, tapi udah begini. Kasian nanti kalo udah ada anak, anaknya gak bakalan bisa ngerasain digendong bapaknya gimana rasanya soalnya bapaknya udah pegel-pegel semua badannya, gak kuat.” “Hon, ah.” Ujar Rendi yang jadi ketakutan sendiri. “Ya udah, habisin sarapannya, biar nggak telat ke kantor.” kataku menepuk-nepuk punggung Rendi.   ***   “Kita mendapatkan kiriman untuk makan siang sangat banyak seperti ini. Bagaimana ini bisa habis untuk sekali makan?” Deby dan Beth datang membawa beberapa kotak makanan dan beberapa kopi. “Wow! Dari siapakah ini? Zoe yang sedang berbaik hati karena ia kembali pergi ke luar kota meski pun katanya untu pekerjaan?” tanya Matt yang langsung menghampiri Beth dan Deby untuk membantu mereka yang tangannya penuh. “Nope, dari Louis.” Ujar Deby. “Louis? Untuk apa ia mengirimkan makan siang banyak seperti ini setelah ia rugi materi dan mental? Apakah ia... kau tahu, terlalu stres sampai seperti ini?” tanya Matt yang keheranan. “Aku dan Bianca biasa membawa makanan sendiri, mungkin bagian kami bisa di taruh di kulkas dulu. Bukan begitu, Bianca?” tanya Anne. “Ya, tentu. Lambungku cuma satu.” Jawabku, “sungguh baik sekali Louis mengirimkan ini untuk kita semua. Apakah ia sudah move on dan akhirnya kembali bisa menghadapi semuanya dan untuk itu ia mengirimkan sesuatu sebagai salam perpisahan?” tanyaku yang imajinasinya terlalu tinggi. “Bisa jadi! Ini apa kopimu mau ku taruh di kulkas juga karena hari ini kau membawa kopimu sendiri?” tanya Deby. “Segelas kopi tidak masalah.” Deby pun memberikan gelas kopi itu padaku, “trims, Deby.” “Terima kasih kembali, rasanya kita harus berterima kasih pada Louis. Dia memesan makanan ini di restoran mahal dan terkenal. Orang dengan banyak privilege akhirnya bisa memberikan orang tak ber-privilege seperti kita merasakan makanan di restoran yang kalau au booking saja harus menunggu tiga bulan lamanya. All hail, Louis!” Kata Deby yang langsung membuka kotak makannya dan menikmati salmon yang dimasak sebentar dengan butter dan rosemary serta entah apa yang membuat aromanya tercium sangat lezat. “Ya tuhan! Ini sangat enak!” puji Deby gembira. Yang lain pun akhirnya membuka makanan mereka masing-masing meski jam makan siang masih setengah jam lagi karena komentar dari Deby barusan. Beth pun mengungsi di meja Deby setelah menyeret kursi kosong dan menaruhnya di sebelah Deby. “Aku pernah makan di tempat ini dan harus menunggu lima bulan lamanya karena reservasi mereka sedang sanagt penuh. Dan akhirnya aku tak perlu menunggu selama lima bulan lagi kalo ini untuk bisa kembali merasakan makanan mereka yang tidak diragukan lagi rasanya.” Tres pun menyendokkan spaghetti ke mulutnya sambil bersenandung senang. “Kau yakin tidak mau mencobanya?” Tanya Matt padaku dan juga Anne. “Lambungku hanya satu, Matt.” Kataku. “I will, kalau aku belum kenyang.” Sahut Anne. Aku pun terseyum senang melihat kelakuan semua orang saat ini yang sedang menikmati makan siang lebih awal mereka dengan tersenyum dan mengobrol ringan sambil tentu saja memuji rasa makanan yang tersaji di kotak makan kayu yang mewah. Aku segera mengambil ponsel yang ada di laci kabinet dan mengirimkan pesan pada Louis. Karena kejadian mabuknya dulu, Zoe jadi memberikan kontak Louis padaku.   Bianca - Hai, Louis, terima kasih atas makan siangnya. Kami semua sangat menikmatinya.   Terkirim. Aku pun mengeluarkan bekal makan siangku dari tas kecil yang selalu ku bawa untuk membuat makan siang yang ku bawa selalu hangat saat dinikmati. Bagaimana pun juga, nasi hangat memang selalu yang terbaik dibandingkan makanan lain. Pagi tadi aku membuat balado telur, tumis brokoli dan orek tempe kering dengan kentang. Menu makan siang yang cukup membuatku senang.   ***   “Eh, akhirnya gue dan Tio bertemu sama cowok yang namanya Emil itu. Damn, di mana selama itu dia bersembunyi sampai nggak keliatan yang modelan begitu ada di Jakarta raya, SCBD minggir dikit!” kata Candra yang menggoyangkan gelas berisi minuman yang jelas bukan air putih dan jamu itu secara bersemangat sampai membuat sedikit isinya jadi tumpah. “Dia nggak pengen ketemu yang modelan kayak lo mungkin makanya dia selalu membuat dirinya nggak mencolok dengan muterin SCBD.” Kataku asal. “Iya, ogah banget kan ketemu predator laki ganteng kayak lo.” Tambah Mila “Wow, ladies! Gue tidak sesangar itu ya, dan ya, ganteng banget kok ya yang namanya Emil itu. Mungkin dia nggak mau tiba-tiba jadi seleb kali ya makanya selama ini nggak ada sosial media. Takut kayak Björn Andrésen. Kasus dia emang sudah gila, sih. Wajar aja Emil menghindar biar nggak jadi mangsa orang-orang napsuan.” Cerocos Candra. “Termasuk elo gitu, ya, maksudnya?” tanyaku. “Hei! Memuji bukan berarti tertarik. Gue mengapresiasi wajahnya yang udah kayak artis-artis holiwud, si Emil emang produk campuran yang berhasil. Muka lokal-interlokal dia udah pas banget kayak pahatan Michelangelo Buonarroti.” Candra pun mengeles lancar. “Sayang namanya Emil ya, bukan David kayak patung yang dibuat Michelangelo.” Aku tertawa. “Jokes lo makin lama makin nggak lucu, ya, Cha. Tinggal di Australia buat selera humor lo jadi garing.” Candra tersenyum mengejek dan menenggak habis minumannya. “Makasih, makin tua gue makin sadar kalo lucu itu nggak perlu pake standar apa-apa. Asal Rendi ketawa, berarti jokes gue udah nyampe meski cuma ke satu orang aja.” Mila tertawa puas mendapati Candra yang langsung diam karena ku balas tanpa ampun. “Puas ya lo semua ketawain gue. Nggak pa-pa gue mah, udah lama kan nggak pada berbalas pantun dengan yang nyelekit begini, gue mah rela deh kalian pedesin kayak mie Abang Adek. Kangen soalnya gue, tuh, gue mah jujur orangnya.” Candra kembali mengisi gelasnya yang kosong kemudian mengangkatnya seakan ingin mengatakan cheers. “Lebih enak kalo ngomong pedesnya itu langsung ya, Can. Sekalian biar bisa jambak-jambakan trus ditangkep Satpol PP. Eh, ngomong-ngomong gimana progresnya, nih, Mils? Udah nyaman?” tanyaku pada Mila kali ini yang sedari tadi hanya menjadi penonton dan sesekali menyahut sedikit. “Nyaman apaan nih maksudnya?” tanyanya pura-pura tidak paham. “Ah, nggak udah belagak bego, lah. We all knew what she meant. Elo ama Emil, lah. Nyaman apa lagi, coba?” Candra pun melempar balik bola yang sedari tadi ku lempar padanya. “Jalanin aja.” Jawab Mila singkat. “Jadi kita punya pasangan baru, nih? Wah! Congrats! Bellini boleh lah, Mils!” Kata Candra yang langsung bertepuk tangan, disusul denganku yang juga ikut bertepuk tangan. “Wah, gayung bersambut! Semoga langgeng sama yang satu ini!” Kataku. “Makasih, guys. Yes, Bellini pala kau!” Kata Mila yang membuatku tertawa. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN