LIMA PULUH LIMA : Zoom's Gossip

1181 Kata
“Jadi kapan kalian ke Prancis?” Candra di depan layer sedang cemberut sambil mengambil satu per satu kentang goreng McD yang tidak berjeda masuk ke mulutnya. “Setelah gue enam bulan lebih di sini biar gue ngurus Visa nggak harus balik ke Indonesia.” Jawabku. Candra mencibir, “kenapa lo ama Mila nggak sama Rendi? Berantem lo ya?”  Insting Candra soal drama, masalah, gosip, dan apa pun itu yang menyengkut kehidupan orang lain memang top notch, juara, pakem. Bisa-bisanya ia mengambil kesimpulan seperti itu dan benar. Meski sebenarnya sekarang aku dan Rendi sudah biasa-biasa saja meski belum lovey dovey seperti dulu. “Ih, sok tau, lo!” kataku sebal karena kata-kata Candra tepat sasaran. “Ya lagi lo jalannya sama Mila, dan elo yang ngajakin Mila bukan Mila yang ajak elo. Mana ada orang udah nikah liburan ke Prancis sama temen ceweknya bukan sama suami.” Aku mengerlingkan mata, “emang kalo orang nikah liburannya harus sama suami mulu?” Aku menyesap kopi panasku yang kini sudah menjadi hangat-hangat kuku karena lumayan lama ditinggal. Hari ini aku hanya melakukan Zoom gibah hanya dengan Candra saja berdua karena yang lain sedang sibuk dan anak satu ini sedang diberi cuti setelah lembur tima hari penuh. Aku juga tidak sedang ada di apartemen, sengaja setelah pulang dari kantor tadi aku mampir dulu ke coffee shop yang ada di belakang halte bus yang tempo hari aku singgahi. Agak berbahaya juga kalau melakukan Zoom di saat ada Rendi karena Rendi kan belum tau keinginanku untuk liburan ke Prancis bersama Mila, dan juga aku tidak mau di mulut bocor di depan layarku ini jadi berkoar-koar tidak jelas. “Udah jujur aja sih sama gue. Lo lagi berantem ya? Tio juga sering berantem sama Dewi, ya biasa-biasa aja sih kalo lo berantem juga sama Rendi. Mana ada nikah lempeng-lempeng aja kayak jalan tol.” Ia terlihat mengunyah kentang goreng di mulutnya banyak-banyak. “Sembarangan kalo ngomong!”  “Itu fakta lagi. Dulu aja lo kalo lagi berantem sama Arya koar-koar, sekarang diem-diem aja. Jangan suka nahan-nahan, nanti cepet mati.” Aku hampir saja menyemburkan kopi yang ku minum ke layar mendengar omongan Candra. Karena menahan untuk tidak enyembur, kini kopi itu salah masuk ke saluran yang seharusnya dan aku jadi terbatuk-batuk sampai wajahku panas dan merah. Beberapa orang yang ada di sekitarku sampai menatapku cemas. Antara takut aku kenapa-napa atau takut aku membawa virus entah apa ke coffee shop ini. Aku pun menenggelamkan wajahku ke tisu dan mencoba untuk menghentikan batuk sialan ini gara-gara ulah si Candra. “Yah, kenapa lo?” tanyanya tidak terlalu peduli. “Elo... ohok...” aku pun memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa dulu sebelum batuk ini selesai.  “Ih bengek.” Susah payah aku menghentikan batuk ini dan akhirnya setelah beberapa lama, semuanya kembali normal. Aku sudah yakin kalau wajahku kini sudah terlihat seperti udahng rebus, merah tidak keruan seperti sedang alergi sampai biduran.  “Gampang banget lo bilang orang cepet mati gara-gara nahan omongan!” protesku dengan suara tak terlalu tinggi namun cukup tajam. “Ya, abis kalo ditahan terus kan jadinya ke stres. Otak banyak pikiran, kecapekan, tipes, mati.”  “Gila, lo, ya, Can!” Candra tertawa, kentang goreng yang dibelinya sudah habis. Kini ia mengambil entah apa dari kantung kertas masih dengan logo restoran fast food yang sama. “Kemaren gue ketemu Renata lagi belanja di Ranch Market sama anaknya. Cakep anaknya, udah lumayan gede juga. Penampilannya berubah seratus delapan puluh derajat, doi sekarang pakai hijab meski tentengan masih Louis Vuitton ala-ala ibu muda nan tajir dan instagramable.”  “Sama Arya?” tanyaku penasaran. “Nggak, bertiga doang sama suster anaknya. Makin lama makin banyak yang begitu ya, kepala ditutup, baju serba panjang, tapi make up tetep menor dan sensual. Nggak ngerti lagi gue sama perkembangan zaman sekarang.” Ia mengedikkan bahu seolah apa yang terjadi cukup mengganggu dirinya. “Lo kena omongan lagi sama orang-orang? Kok belum nikah, umur udah mapan, gaji oke, tapi gak ada gandengan, gitu?” “Yah, kayak nggak tau aja lo gimana. Pindah ke kantor baru adaptasi baru juga sama pertanyaan-pertanyaan klasik begini. I stop dating, ya for your information. Males gue, bawaan umur maunya kalo libur ya di kosan aja tidur, makan, nonton, hangout ke rumah Tio atau kalo Mila lagi senggang ya minum sama Mila sebentar.” Aku  yang tadinya menatap layar dengan wajah terlalu dekat, kini bersandar pada kursi dan tersenyum, “bagus deh, makin tua mending nggak usah pecicilan lagi kayak dulu. Nggak usah aneh-aneh, udah kenyang clubbing dulu ama gue juga, kan, lo? Balik pagi udah kayak orang gila nggak sadar apa-apa sampe muntah-muntah dan dijemput Tio. Satu-satunya temen yang waras di saat semua temennya itu lagi kayak orang gila.” Aku tertawa. “Tapi kadang gue kangen banget ngumpul clubbing sambil gibahin orang-orang di sana yang segala jenis orang kumpul jadi satu. Kalo balik nggak terlalu mabok, mampir dulu makan sate di Sabang.” Aku tersenyum mengingat kenangan-kenanganku dulu bersama Candra dan yang lainnya. Pulang kantor kami pasti selalu mampir dulu entah kemana seakan besok tidak akan kerja. “Gimana kabar si cewek ala Anya Joy? Masih lo ngobrol sama dia?” “Udah nggak ada kontak lagi, sih. Tapi kata temen gue dia sempet jadian sama cowok yang dia taksir itu yang mana adalah temen gue, tapi nggak lama putus, trus nyambung, dan putus lagi. Udah kayak layangan, tapi ya gue tau cuma sebatas itu aja. Nggak ada yang lain yang gue tau atau cari tahu.”  “Tapi segitu juga lo udah update banget, loh, Can. Selama ini aja gue tau kisah mantan gue dari elo semua. Gue udah bodo amat juga sih sama kehidupan orang-orang itu.” “Kalo Arya sama Renata, masih kerja di sekitaran SCBD trus kerja juga masih saham. Nggak mungkin nggak tahu gimana kabarnya. Sama aja kayak elo ada di satu arisan, mau ngumpet juga nggak bisa. Lo lecet dikit juga orang pada tahu gimana ceritanya sampe kenapa lo bisa lecet.” Ucapan Candra barusan membuatku tertawa, benar apa yang dikatakannya itu. “Lebay! Nggak gitu juga kali. Orang-orang kayak lo mungkin ya tahu, bukan orang awam kayak gue yang kehidupannya adem ayem tanpa gunjingan sana-sini.” “Iya! Ngomong lo sama tembok. Dulu lo tau Arya tunangan sama Renata aja dari orang saham. Emang lo pikir orang-orang nggak tau kalau itu bukan anak Arya? They all knew, Cha. Tapi pura-pura bego aja nggak ngerti apa-apa, di mana drama di sana pasti ada orang-orang kayak gue, kalo itu yang lo maksud, yang akan koar-koar ke circle terdekat mereka dan nantinya akan ngomong ke mana-mana seakan apa yang gue bilang itu cuma kayak berita kalo Pak Budi cuti.” “Ya semoga nggak ada aja yang nantinya bakalan ngomong yang nggak-enggak ke Renata. As a woman, gue nggak mau sih dia kena gunjingan nggak enak dari orang-orang. Semua orang punya dosa mereka masing-masing, nggak perlu judge dosa orang lain kecuali hidupnya suci gak berdosa, yang mana, nggak mungkin banget.” “Bijak banget lo ya.” Kata Candra. Aku hanya tertawa. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN