Tahu alasan sebuah lagu mudah sekali masuk ke otak begitu kita mendengarnya hanya dalam dua kali saja? Itu karena nadanya yang repetitif atau berulang, nada menjadi mudah diingat karena nadanya berulang dan mudah dicerna. Bahkan bagi beberapa orang, nada-nada itu memiliki warnanya tersendiri. Kuning untuk lagu ceria, dan biru untuk lagu yang menenangkan. Sama seperti hubungan manusia, karena kelakuan yang berulang, yang akan membuatnya awet berjalan atau bahkan kandas begitu saja.
Dan hari ini aku ingin menerapkan metode repetitif itu. Kita lihat, apakah aku bisa atau tidak. Aku bangun lebih awal, kembali ke jadwalku sebelumnya yang akan memasak untuk bekal makan siang dan merapikan apartemen di pagi hari karena ketika pulang, sudah tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Dari mencuci baju sampai menjermurnya dan juga merapikan barang bawaan Rendi yang ia taruh di atas meja depan televisi. Hari ini aku memasak sup ayam, bakwan jagung, kerupuk dan sambal. Menu simpel yang tak perlu waktu lama untuk memasaknya. Aku tidak pernah lagi masak kerupuk dengan minyak setelah tahu kalau aku bisa memasaknya dengan microwave. Tinggal taruh saja dan dalam dua puuh detik si kerupuk sudah matang dan mengembang. Ada gunanya aku sering menonton Youtube untuk tips dan trik memasak cepat dan mudah.
Sembari merebus ayam sampai empuk, aku menyalakan mesin cuci. Multitasking memang perlu diterapkan ketika sudah memiliki keluarga seperti ini. Aku menyetel musik pelan untuk menemani rutinitas pagi ini agar tidak membuat mengantuk kembali.
Rendi masih terlelap karena ia baru pulang malam tadi dan semalam ketika Rendi pulang aku baru ingin tidur. Ia pulang sangat larut, dan begitu sampai langusung ditaruhnya semua barang bawaannya itu ke meja depan televisi dan ia meletakkan jas serta dasi yang dikenakannya di atas sofa. Tak lama ia langsung masuk ke kamar mandi dan kemudian setelahnya berbaring disebelahku dan tertidur pulas.
Aku tahu kalau ia kelelahan karena habis pergi dinas. Bahkan saat aku bangun tadi, biasanya dia akan terbangun karena suara gerakanku yang turun dari kasur--meski setelahnya tidur kembali, namun tidak dengan hari ini. Ia sangat pulas dengan napas teratur yang naik turun.
Ponselku berdenting, satu pesan masuk dari grup keluarga besar yang entah kenapa aku harus ada di dalamnya padahal aku juga tidak pernah berkomentar apa pun.
Tante Ani - Bianca apa kabarnya ini diem aja di grup lagi isi ya?
Satu pesan yang berlanjut sahut-sahutan dan akhirnya malah jadi menggunjingkanku di grup yang aku pun ada di dalamnya. Seperti biasa, aku tidak pernah mau membalas pesan apa pun di sana, isinya hanya menyebar hoax, menggunjingkan orang, memamerkan prestasi anak yang ku yakin orang-orang juga tidak peduli dan sederetan chat yang tak penting lainnya.
Rasanya aku ingin keluar dari grup keluarga Ayah itu, namun jika aku keluar, nanti Mama yang akan menjadi sasaran orang-orang bermulut pedas yang tidak memiliki empati sama sekali. Jika dibandingkan denganku, mungkin aku masih lebih berutung dari Mama yang harus mendapatkan omongan yang kadang tidak terlalu baik dari keluarga Ayah. Namun untungnya selalu ada Ayah yang akan menangikis semua omongan tak enak saudaranya itu.
Keluarga Rendi untungnya tidak memiliki chat keluarga seperti ini. Mereka lebih senang telepon atau video call dari pada mengirimkan chat. Meski terkadang aku juga masih agak canggung dibuatnya, namun sejauh ini tidak pernah ada obrolan yang menyinggungku.
Benar kata orang, ketika kita berdoa tentang jodoh, jangan lupa juga berdoa untuk mendapatkan mertua dan ipar yang juga baik. Karena menikah di Indonesia berarti menikahi semua keluarganya. Dari orang tua, nenek-kakek, bahkan sampai kerabat dan saudara keluarga besarnya. Selama ini aku hanya mengenal keluarga dari pihak Ibu Rendi yang kebanyakan kaum jetset dan tidak terlalu banyak omong. Belum pernah aku dikenalkan dengan saudara dari pihak Ayahnya yang kata Rendi tidak terlalu banyak seperti saudara Ibunya. Tapi dari banyak itu juga aku hanya tau beberapa saja.
Bunyi mesin cuci yang memandakan kalau aku perlu memberi pewangi pun berbunyi. Sup sudah matang, aku pun mematikan kompor dan kini pergi ke kamar mandi dan menuang pewangi baju. Rendi masih sangat terlelap dan sedang memeluk bantal milikku. Aku menuju dapur kembali dan menggoreng tempe dan bakwan jagung. Hari ini aku hanya ingin makan sereal saja dan s**u, tak perlu susah-susah. Aku hanya tinggal menghangatkan s**u di microwave saja nanti ketika Rendi sudah bangun.
Ponsel masih berbunyi karena banyaknya chat yang masuk. Aku pun memilih untuk mute grup dan meninggalkan semua kesibukan orang yang senang sekalimembicarakan orang lain seakan hidupnya tidak bahagia jadi harus melukai perasaan orang agar merasa ada yang lebih menderita dari pada dirinya.
Sewaktu aku kecil, aku pernah diberi tahu oleh Mama apa akibatnya saat kita menyakiti perasaan orang. Mama mengambil kertas hvs putih saat itu dari ruang kerja Ayah. Ia merentangkan kertas itu dihadapanku dan tersenyum.
“Cacha kalau lihat kertas ini gimana?” tanya almarhumah Mama kandungku.
“Baru kertasnya.” Kataku.
“Mulus, kan?” Tanya Mama lagi.
Aku mengangguk.
“Perasaan orang itu seperti ini. Kertas putih mulus, tapi kalau ada perkataan yang menyakitkan Cacha bilang ke orang itu,” Mama meremas kertas itu menjadi gumpalan bola, “nanti hasilnya begini.” Mama pun merentangkan kembali kertas hvs yang kini sudah berbeda jauh dengan yang pertama tadi Mama perlihatkan padaku.
“Lecek.”
“Betul. Meski kita sudah minta maaf, tapi ingat, omongan jahat itu akan selalu teringat dan hati yang tadinya mulus sperti kertas hvs ini, sekarang sudah lecek dan nggak bisa mulus lagi. Jangan pernah menyakiti perasaan orang, ya, Sayang. Karena meski sudah meminta maaf, tapi perasaan orang itu sudah terlanjut sakit dan akan terus teringat sampai kapan pun.”
Saat itu aku masih belum terlalu paham karena masih sangat kecil sekali. Tapi seiring berjalannya waktu, aku paham betul maksud Mama pada akhirnya. You can’t fix a broken heart, you never be. Meski sudah dengan permintaan maaf, pasti masih ada rasa sakit yang tertinggal di sana.
Aku menghela napas, dan mengangkat semua bahan makanan yang sudah matang tergoreng. Setelah semua selesai, sembari menunggu mesin cuci juga selesai beroperasi, aku pun berjalan ke arah kamar untuk membangunkan Rendi. Posisinya masih sama dari terakhir aku llihat. Dan ia juga masih sangat pulas sekali. Aku menatap Rendi lekat-lekat. Kini aku bisa melihat kerut di sisi matanya yang dulu tidak ada. Rambutnya sudah sedikit panjang, mungkin aku harus memberi tahunya untuk mencukurnya sedikit agar kelihatan lebih rapi.
“Ren, bangun. Sarapan dulu.” Kataku.
Ia mengerang sedikit, dan menggerakan wajahnya jadi menelungkup ke arah bantal seakan tidak ingin dibangunkan karena masih terlalu mengantuk.
“Ren, ini senin. Kamu nggak ngantor?” tanyaku.
“Sepuluh menit lagi.” Tawarnya.
Aku pun mengalah. Meski ia tidur satu jam lagi pun, ia masih sempat pergi ke kantor tanpa harus telat. Hanya saja sudah menjadi kebiasaan kalau setelah sarapan kami akan duduk di beranda dan bersantai sedikit, meski belakangan ini sudah jarang dilakukan.
Akhirnya, aku kembali ke dapur untuk sarapan lebih awal. Aku membuka laptop dan mengecek bagaimana uang yang aku tanamkan pada beberapa saham berjalan. Semuanya bagus, hijau dan nilainya makin naik. Kalau begini terus selama tiga tahu kedepan, mungkin hasilnya bisa untuk membeli lahan yang diinginkan Rendi. Setelah mengecek keuangan yang tidak perlu dikhawatirkan, aku akhirnya mengecek berbagai referensi wisata yang perlu aku pikirkan untuk liburanku nanti. Aku perlu membuat itinerary karena itu salah satu kewajiban untuk mengajukan visa nanti. Beberapa hotel dan penginapan sudah aku tulis di notes dan nanti akan aku kirimkan kepada Mila karena Mila yang paling ekspert untuk untuk urusan traveling karena ia sudah beberapa kali mengunjungi Paris seperti aku pergi ke Bandung.
Aku akan memberi tahu Rendi akan liburanku ini kalau aku sudah mendapatkan visa-ku nanti. Aku hanya ingin Rendi dapat merenung ketika aku tidak ada, dan aku juga begitu. Mungkin aku terlalu membesar-besarkan, tapi karena kami sama-sama baru masuk dalam hubungan suami-istri dan nantinya aku yakin akan banyak masalah yang menanti di depan sana, ku rasa kami harus belajar untuk mengatasinya dari sekarang. Dan dengan memberi jarak sejenak, mungkin kami akan belajar menjadi lebih dewasa lagi.
Sarapanku selesai, dan ketika aku hendak mencuci piring, Rendi berjalan terhuyung karena masih mengantuk ke meja pantry. Ia pun meletakkan kepalanya di atas meja, sedangkan aku menghangatkan s**u untuknya sarapan dengan sereal. Hanya ada suara musik samar-samar yang mengalun serta bunyi keran air karena aku sedang mencuci mangkuk sarapanku.
“Aku masih ngantuk.” Katanya dengan suara serak seperti biasa.
“Iya, aku masih angetin s**u di microwave.” Kataku.
“Kamu masak buat makan siang?”
“Iya.”
“Oke.” Katanya yang kini meletakkan kedua tangannya di meja untuk menjadi bantalan kapalanya.
Microwave berdenting, aku pun segera mengambil mangkuk dengan kain dan menaruhnya di hadapan Rendi yang masih dengan posisi tidur. Sereal ku tuang agak lebih banyak dari yang aku makan. Dan sendok sudah ku taruh ke meja.
Kali ini mesin cuci yang berbunyi, semua pakaian sudah selesai dan aku tinggal mengeringkannya saja. Praktis, tak perlu menjemur karena semua bisa dilakukan hanya dengan satu mesin saja. Aku sadar kalau saat ini aku hidup dengan banyak privilege yang membuatku bisa hidup dengan nyaman. Namun begitu, bahkan untuk orang yang lebih dariku, yang privilege yang dimiliki tak terkira banyaknya, mereka pun memiliki masalahnya sendiri.
Sedih rasanya kalau dibilang kurang bersyukur. Mereka di luar sana mungkin tidak paham rasanya, dan lebih mudah mengatakannya dari pada menahannya saja.
Ya, heart is like a paper.
-Continue-