LIMA PULUH ENAM : Every Little Details

1454 Kata
Dulu, waktu aku masih pacaran dengan Rendi dan semua hal yang terjadi aku ceritakan pada anak-anak. Candra yang biasanya akan maju paling depan untuk berkomentar. Entah meledek, mencibir, atau bilang ia iri. Dan setelah mengobrol panjang kali lebar dengan Candra barusan, tidak ada rasa iri yang biasa ia katakan atau kelihatan di wajahnya. Candra sudah berubah, begitu juga dengan diriku yang malah iri dengan Candra yang masih bisa ke mana-mana semaunya di Jakarta Raya. Mau ke Sabang habis pulang kerja bisa, mau ke Bar Gina di Senopati bisa, mau midnight sale sampai berlari kecil karena sudah diteriaki kalau mall sudah mau tutup bisa. Aku jadi ingat pengalaman midnight sale dulu di salah satu mall di Jakarta Barat. Katanya sih midnight sale, tapi baru jam sebelas kami sudah diteriaki orang informasi dengan speaker kalau mall sudah ingin tutup padahal tengah malam saja belum. Alhasil aku, Mila, Candra, dan Tio yang waktu itu belum menikah, akhirnya pergi dan malah singgah di K22 untuk minum, kecuali Tio si anak baik dan lempeng. Puas mengobrol dengan Candra, bukannya rindu terobati, malah semakin rindu saja jadinya. Aku pun meninggalkan coffee shop untuk bergegas pulang. Menurut jadwal bus yang biasa ku tumpangi akan datang lima menit lagi. Aku pun menunggu bersama beberapa orang yang juga memiliki tujuan yang sama denganku. Ku sumpal telingaku dengan air pod yang tersambung pada lagu-lagu yang ada di Spotify milikku. Belakangan ini aku senang sekali mendengarkan cover musik lagu-lagu klasik dari beberapa grup band seperti Pomplamoose dan Avalon Jazz. Aku sudah tidak sabar untuk bisa pergi dan menghabiskan waktu me time ku nanti bersama Mila. Ya, meski aku jadi teringat perkataan Mila tentang pendapat Emil soal me time yang terlalu lama bisa dibilang adalah malas saja dasarnya.  Aku jadi penasaran, apakah memang orang-orang di lingkar pertemanan Rendi seorang pekerja keras yang gila kerja atau bagaimana karena rata-rata memiliki prinsip yang sama dan hidupnya hanya didedikasikan untuk pekerjaan saja seakan lupa kalau mereka punya kehidupan pribadi dan keluarga. Kalau iya, mungkin nanti jika Mila benar jadi dengan Emil, maka nasibnya tidak akan jauh berbeda denganku yang sering ditinggal Rendi dinas ke sana-sini bahkan di rumah saja masih menenteng laptop dan ponsel membahas tentang pekerjaan. Aku menggeleng kecil dan merapatkan coat panjang yang membalut badanku.  Bus datang, aku pun masuk ke dalam dan berjalan ke belakang untuk duduk di sana. Di jam delapan malam seperti ini, Rendi pasti sudah sampai terlebih dahulu. Entah makan malam apa yang dipesannya nanti karena kalau aku pulang lebih telat darinya, biasanya ia akan memilih untuk memesan makan malam karena tidak mau membuatku harus memasak lagi begitu baru saja sampai rumah. Renata anaknya sudah besar, tapi aku sendiri belum memiliki anak atau bahkan belum hamil. Tiba-tiba saja aku jadi membayangkan kalau aku masih tinggal di Jakarta dan bekerja di kantor lama, mungkin omongan itulah yang nantinya akan sering aku dengar. Padahal sama seperti karir, memiliki anak juga ada waktunya. Setiap orang memiliki waktunya masing-masing, dan tidak bisa dipukul rata. Tapi karena omongan itu, aku jadi penasaran bagaimana ruma anak Arya dan Renata. Arya yang tampan dan Renata yang cantik, meski aku tahu kalau Ayah dari anak tersebut bukanlah Arya, tapi dalam banyak kasus biasa orang tua sambung lama kelamaan wajah anaknya akan mirip mengikuti kuntur wajahnya. Seperti aku dan Mama sekarang, mataku terlihat seperti Mama. Sekarang saja aku masih sering mendapatkan omongan “wah penasaran deh sama anaknya nanti, ibunya cantik, bapaknya ganteng.” Itu pujian berbalut desakan yang meski ada pujiannya namun membuat kepala lumayan pusing. Atau ada lagi yang mengatakan, “kalo udah punya nak nanti tambah akur.” Yang ini hanya bisa membuatku tertawa saja. Lihat Tio yang sekarang jadi insekyur dan sering murung karena memikirkan tabungan anak dan uang ini-itu. Sekarang aku hanya ingin hidup realistis saja, tidak memikirkan kata orang yang katanya kalau begini nanti begitu. Itu sih, bullshit. Bel tanda halte sudah dekat berbunyi, aku pun langusng berdiri dan siap-siap untuk turun. Dan begitu pintu terbuka, beberapa orang turun dan aku mengekor di barisan paling belakang. Andai saja ini Indonesia, pasti di sebelah halte bisa ku temukan abang tukang bakso atau pun nasi goreng gerobakan yang kalau sudah lewat satpol PP harus bersiap untuk digusur. Aku masuk ke lobi apartemen dengan senyum dan sapaan dari orang resepsionis seperti biasa dan langsung berjalan menuju lift untuk segera naik ke lantai tempat tinggalku berada. Musik klasik dengan volume kecil mengalun menemaniku yang sendirian ada di sini. Satu kemewahan kecil yang tidak akan bisa didapatkan diapartemen lain yang harga sewa atau harga belinya jauh lebih murah. Aku menghela napas ketika kembali ingat dengan banyaknya uang untuk membeli kemewahan ini dari kocek Rendi. Pintu terbuka, seperti biasa Rendi menyambutku dengan lengan kemeja yang telah ia gulung sampai siku dan rambutnya yang panjang dan lupa ku katakan untuk dicukur saja ia jepit dengan jepit rambut milikku. Iya, Rendi memang tampan kalau sudah berpenampilan seperti ini dan tidak ada yang tahu rupanya seperti apa saat ini, tapi kadang menyebalkan. “Tumben lama.” Katanya yang langsung kembali ke pantry dan mengeluarkan beberapa box makanan ke meja. “Tadi ngopi bentar abis kepala pusing.” Kataku. Aku tidak bohong, mengobrol dengan Candra sambil ngopi adalah satu cara menghilangkan sakit kepala karena stres. “Sama siapa?” Tanyanya lagi yang kini sambil menatapku. “Sendiri. Ngopinya juga di sebelah halte bus kantor.” “Ooh...” “Kamu beli apa?” kataku agak kencang karena sedang berada di kamar.  “Kebab sama sup jagung kesukaan kamu.” Jawabnya. Aku langsung masuk ke kamar mandi dan tak sabar untuk menikmati makanan yang dipesan oleh Rendi. Kapan terakhir kali aku makan kebab, ya? Aku tidak terlalu suka daging dan biasanya sebagian daging dalam isian kebab akan aku berikan ke Rendi atau siapa pun yang akan menerimanya dengan senang hati.  Selesai mandi, aku langsung menghampiri Rendi yang sedang duduk di depan televisi dengan berbagai macam makan tersaji di sana. Ia sedang menonton pertandingan basket kesukaannya. Aku pun duduk di lantai sambil menyesap sup yang masih panas.  “Katanya Emil ada dinas ke Melbourne dua minggu lagi.” Kata Rendi sambil masih serius melihat pertandingan basket di televisi. “Berapa hari?” tanyaku was-was karena takut Emil akan mengatakan kalau Mila akan pergi liburan besamaku ke Prancis nanti. “Tiga hari kalau jadi.” “Dia cerita apa aja ke kamu?” tanyaku. “Cuma bilang mau dinas aja, dia kan irit ngomong.” Jawab Rendi yang membuatku lega. “Emang kenapa? Ada yang harus Emil omongin?” tanyanya. “Nggak pa-pa. Kali dia cerita tentang Mila atau apa.” Jawabku cepat. “Nggak ada cerita dia tentang Mila. Cuma ngomong mau dinas aja trus bahas proyek kerja dia dikit.” “Oh.” “Kamu ada nikahan minggu ini?” “Ada, sabtu sama minggu full. Jadi aku senin sama selasa libur. Emang kenapa?” “Nggak kenapa-napa. Nanya aja.” Kami pun melanjutkan makan tanpa banyak bicara sampai acara pertandingan selesai. Aku yang tidak paham dan tak tertarikd engan pertandingan basket pun sibuk dengan makananku sendiri sambil membuka-buka majalah yang seringnya menjadi tempat di mana aku menemukan inspirasi untuk portofolio klien. Sejak bekerja dengan Zoe, setiap bulan aku jadi langganan majalah dari Brides, Wedding Ideas, Bridal Guide, sampai You and Your Wedding. Tidak semua ku beli fisiknya, beberapa hanya langganan secara online. “Tadinya aku mau ngajak kamu makan di luar.” Kata Rendi. “Sayang aku kerja.” Jawabku sambil melihat artikel tentang spa untuk pernikahan ala Ariana Grande. “Kapan-kapan kalau gitu.” Kata Rendi pada akhirnya. “Oke.” Jawabku. Aku membuka bungkus kebab dan menyisihkan sebagian daging yang melimpah pada piring Rendi. Kini hanya tersisa sedikit daging dengan banyak salad. Aku pun berjalan ke Pantry untuk mengambil kantung salad yang ada di kulkas dan mengeluarkan sebagian untuk di cuci dan ku jadikan isian untuk kebabku yang isinya tak lagi banyak. “Kamu kalau nggak banyak makan daging nanti kurang protein.” Kata Rendi yang memandang piringnya yang kembali penuh. “Aku minum protein shake, makan tahu sama telur banyak.” Jawabku. “Ini dikit aja ke piring kemu.” Rendi hendak memberikan daging yang aku hibahkan padanya ke piringku, namun aku menarik piringku lebih cepat. “Nggak. Itu kamu makan semuanya.” Kataku. Rendi pun mengalah dan membiarkan makan malam kali ini menjadi satu setengah porsi dari yang biasa ia makan. Salah satu hal dari banyak hal lain yang bisa membuatku masih yakin untuk menikah. Kapan saja, akan selalu ada orang yang akan mengikhlaskan piringnya diberikan porsi tambahan dari makanan yang tidak aku suka, begitu pula sebaliknya. Ketika sedang makan salad, biasanya Rendi akan menyingkirkan tomat ceri untukku karena ia tidak menyukai rasanya yang sedikit masam itu.  Itu hanyalah satu dari sekian banyak contoh yang ada. Dan aku selalu mensyukurinya. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN