“Gimana? Nggak apa-apa?” Tanya Rendi padaku yang berjongkok dan sedang mengelus anak kucing yang kehujanan dan basah kuyup karena terkena genangan air yang terciprat dari mobil yang melaju kencang.
Aku dan Rendi baru saja pulang dari supermarket untuk membeli sayuran dan buah untuk stok kami beberapa hari. Dan ketika kami hendak berbelok dan pulang ke apertemen, kami melihat kejadian yang membuatku langsung berlari dan mengecek apakah si anak kucing tersebut terluka atau hanya sekadar basah saja. Meski begitu, melihat anak kucing yang masih kecil sendirian di pinggir jalan basah kuyup, kalau dibiarkan saja mungkin ia akan mati karena kedinginan.
Aku menatap Rendi, dan Rendi yang seakan paham dengan pandanganku pun mengangguk pelan dan membiarkanku untuk menggendong kucing kecil itu sementara Rendi yang membawa kantung belanjaan. Namun sebelum membawanya, aku dan Rendi menunggu beberapa saat untuk memastikan kalau ia tidak sendirian. Kalau ia memiliki induk, kasihan induknya yang nanti akan mencari anaknya ke mana-mana. Namun setelah ditunggu beberapa lama, ternyata memang ia sendirian dan tidak memiliki saudara bahkan induk. Mungkin ia ditinggal atau terpisah, entahlah.
“Nanti bawa ke dokter kali, ya. Kasian, Ren. Takutnya ada penyakit.” Kataku.
“Ya udah, nanti siangan kita ke dokter hewan. Dkter hewan di sini di mana ya, harus googling dulu kayaknya ini.”
“Iya, kalo bisa dirawat mungkin di rawat dulu ya biar dia bener-bener sehat. Kita kan juga sibuk kerja, jadi paling nggak kalo sehat banget dia bisa ditinggal setelah diajarin buang air sama makan.” Ujarku.
“Kamu beneran mau melihara dia?” Tanya Rendi yang sedikit ragu dengan keputusanku.
“Iya. Nggak pa-pa, kan?” tanyaku pada Rendi yang sebenarnya berupa sedikit paksaan dari nadanya.
“Yakin?” Tanyanya sekali lagi untuk meyakinkanku dan meyakinkan juga kalau sebenarnya ia tidak terlalu setuju.
“Kamu tega biarin dia hidup sendirian di dunia luar sendirian? Dia masih kecil trus ringkih, tadi kecipratan air kubangan aja kayak kena banjir. Untung tadi nggak keserempet juga. Kalau dia sendirian trus ketabrak mobil gimana? Dia mati sia-sia sendirian karena nggak punya saudara apa lagi ibu. Trus nggak ada yang bakalan kuburin dia karena yang nabrak nggak bertanggung jawab trus--”
“Oke, oke, iya.” Potong Rendi setuju dengan gestur tangannya yang menyuruhku untuk berhenti melontarkan sederetan alasan yang akan membuatnya merasa bersalah.
“Kamu coba cari dokter hewannya ya, aku mau keringin dia dulu. Kayaknya dia agak kotor, aku bersihin pakai tisu basah nanti.” Aku pun masuk ke apartemen setelah Rendi membuka pintu apartemen kami.
Rendi langsung pergi ke pantry untuk menaruh semua barang belanjaan sementara aku buru-buru ke kamar mandi untuk mengeringkan anak kucing yang mungkin masih berusia sebulan atau sebulan setengah. Tubuhnya kecil dan kurus, terlihat jelas kalau ia adalah kucing liar yang tidak terurus. Aku jadi prihatin karena aku bisa merasakan perasaan si kucing kecil ini yang hampir sama denganku. Berada di tempat asing tanpa memiliki saudara meski aku jelas lebih beruntung karena memiliki Rendi, tempat tinggal, makanan, dan pekerjaan yang layak. Dan rasa iba ini yang membuatku igin merawatnya supaya ia tidak sendirian lagi dan memiliki tempat tinggal yang layak dan hangat serta makanan yang tersedia setiap harinya.
“Kamu mandiin?” tanya Rendi yang menyusulku masuk ke kamar mandi.
“Nggak, aku bersihin pakai tisu basah aja, nanti ku keringin habis ini biar dia nggak kedinginan. Kamu udah cari dokter hewannya?” tanyaku pada Rendi yang ikut berjongkok di sebelahku dan mengamati kucing kecil yang hanya diam saja tidak bersuara.
“Nurut ya dia, aku belum cari. Aku mau liat kamu dulu.”
“Kita ada ikan nggak sih? Kasih rebus ikan aja kali ya?” Aku menatap Rendi yang masih fokus memerhatikan kucing di tanganku.
“Kayaknya ada salmon. Mau ku rebusin? Nggak pakai apa-apa, kan?”
“Nggak usah, plain aja rebusannya cuma air dikit.” Ujarku.
Rendi pun keluar dari kamar mandi dan menuju dapur untuk merebus ikan untuk makan si kucing kecil ini. Aku bisa mendengar suara kulkas yang dibuka. Setelah membersihkan dengan tisu basah meski tidak sangat bersih sekali karena memang harus dimandikan, aku pun mengeringkan badannya dengan handuk kecil yang lembut. Dan saat aku keringkan, ia baru membuka suara dan mengeong beberapa kali dengan suara yang pelan, untungnya saja. Aku tidak ingin membuat keramaian di apartemen sampai tetangga di sekitar mendengar dan malah jadi keributan bahkan mungkin akan timbul komplain.
Tidak lucu karena suara kucing ia jadi tidak bisa tinggal di sini karena tetangga tidak setuju. Sebenarnya terkadang aku mendengar suara gonggongan anjing yang sepertinya berasal dari entah tetangga yang mana. Tapi tetap saja aku takut kalau ada orang yang terganggu dengan lengkingan suara kucing. Inilah salah satu alasan aku tidak terlalu suka tinggal di apartemen. Aku jadi tidak mengenal tetangga di sekitar karena semua merasa tidak perlu berkenalan dan saling mengenal. Tapi enaknya, kita jadi memiliki privasi yang tinggi dan tak perlu mendengar gunjingan tetangga yang terkadang terlalu pedas.
Aku pun membawa anak kucing dengan lilitan handuk di badannya ke dapur dan meletakkannya di atas meja pantry. Rendi langsung mengangkat salmon dari panci dan memindahkannya ke piring kecil.
“Ren, suwirin tolong.” Ujarku.
“Wow, belum apa-apa si bulu udah jadi majikan aja.” Katanya yang menurut dan langsung mengambil garpu dan mulai menyuwir ikan salon yang sudah makan supaya cepat dingin.
“Anak sementara, si bulu.” Kataku.
“Aku googling dulu deh nyari dokter, kamu cuci tangan aja. Dia anteng, nanti tinggal kasih makan, aku juga mau makan.”
Aku pun meninggalkan anak kucing yang diam saja ada dibalutan handuk. Mungkin karena hangat dia merasa nyaman dan tidak banyak bertingkah. Sementara ikan masih panas, aku pun menyiapkan makan siang untuk kami berdua. Aku sudah memasak nasi liwet tadi, hanya tinggal menggoreng ayam yang sudah diungkep dan tempe yang sudah dibumbui. Sambal selalu tersedia botolan yang dikirimkan oleh Ibu Rendi, kerupuk ada, dan aku tinggal memotong lalapan saya yang hanya berupa timun, tomat dan selada.
Simpel, semua hanya tinggal digoreng dan dipotong saja dan tidak memakan banyak waktu. Aku menunggu hasil gorenganku matang sedangkan Rendi masih duduk di sofa dan sibuk dengan ponselnya. Sesekali aku mengamati si bulu yang sudah memejamkan mata dan terlihat tertidur karena hangat. Oh, mungkin ini rasanya menjadi ibu meski perumpamaan ini hanyalah sedikit saja relate dengan ibu-ibu asli di luar sana yang anaknya itu manusia, bukan kucing atau hewan apa pun. Makanya ada istilah Anabul, anak bulu.
“Aku udah dapet nih, deket dokternya ternyata. Lewatin restoran Jepang tempat kita makan udon enak itu, lurus aja dia sebelum perempatan.” Jelas Rendi yang menunjukkan lokasi dokter hewan yang ada di ponselnya.
“Kayaknya kita jalan juga bisa ya? Oke, makan siang dulu. Ini udah pada mateng.” Kataku yang meniriskan ayam yang sudah matang ke piring yang sudah aku alasi dengan tisu dapur yang tebal untuk bisa menyerap minyak berlebih.
Aku pun mengambil dua piring dan menaruh nasi liwet ke masing-masing piring. Rendi sudah duduk di kursi pantry dan menanti piringnya. Aku pun menaruh semua makanan di meja pantry dan memberikan piring dengan nasi pada Rendi. Kami terlalu sering makan di pantry, meja makan jadi terlihat hanya sebagai pajangan saja karena jarang digunakan.
“Aku kangen banget makanan khas Indonesia begini.” Kata Rendi yang tengah mengambil lauk.
“Susah cari rempahnya, itu aku beli banyak di Asian Market trus ku tarus ke freezer aja biar awet.”
“Nggak pa-pa, sekali-sekali aja makan kayak gini. Biar kangennya terobati. Dulu biasanya kalo udah kangen banget aku ke restoran Indonesia, tapi harganya lumayan dan agak jauh. Jadi kayak effort-nya terlalu besar aja. Sebulan sekali baru bisa makan makanan Indonesia. Sekarang udah ada yang mau dan bisa masakin, jadi nggak terlalu susah lagi.”
“Iya, sekarang mah udah enak kamu.”
Rendi tertawa sambil menikmati makanannya. Kami makan dengan tangan, lebih nyaman dan enak juga bisa membuat cucian piring jadi lebih hemat. Meski sudah ada dish washer, tapi karena cucian piring tidak pernah banyak sekali, aku jarang memakainya. Bisa hemat listrik juga.
Dan karena ini aku jadi dikomentari oleh Rendi. Katanya yang harus dihemat itu tenaga, bukan listrik.
“Oh iya, Mila ngajakin buat kapan-kapan Zoom bareng Emil.” Kataku pada Rendi.
“Emil mau? Dia orangnya bener-bener introvert.” ucapan Rendi pun mengingatkanku pada perkataan Mila soal me time dan sosial media.
“Dia tuh gila kerja dan perhitungan ya? Bener-bener orang yang mengaut waktu adalah uang?” tanyaku pada teman Emil ini.
“Dia kalo kerja efisien, cepet, dan taktis. Tukang belajar, makanya dia bisa negerjain apa pun dengan cara dia yang bisa buat efisien kerjaan, dalam waktu singkat. Emang orangnya gak suka buang-buang waktu buat yang nggak pernting aja, sih.”
“Pantesan! Kata Mila dia itu nggak main sosial media gara-gara menghabiskan waktu yang nggak penting dan waktunya bisa buat freelance apaan tau kalo nggak istirahat.”
“Makanya punya pacar nggak pernah awet, soalnya dia lebih utamain kerjaan dan istirahat. Jarang banget main, kalo udah dipaksa banget baru ikut futsal. Kalo nggak dipaksa ya nggak gerak, katanya mending ke gym aja kalo mau sehat. Padahal kan dutsal juga buat kita bisa bersosialisasi sama nambah teman dan relasi. Dia orang yang bener-bener misahin kehidupan kerja sama kehidupan pribadi menurutku. Selalu set the boundaries.”
“Sebelumnya putus karena apa? Cuek dan nggak peduli?” tanyaku penasaran, yang mungkin ini akan aku jadikan bahan untuk gibah dengan Mila.
“Pastinya sih nggak tau, tapi anak-anak suka pada ledekin dia aja supaya jangan gila kerja biar pacar nggak lari. Soalnya emang nggak pernah lama sih dia pacaran sebulan dua bulan udahan. Anak baru aja kalah masa probation-nya sama masa pacaran dia.”
Aku tertawa sambil memukul pelan lengan Rendi, “iya probation anak baru kan rata-rata tiga bulan, ih, jahat kamu sama temen sendiri!”
“Kan kamu tadi nanya, ya aku jawab dengan apa yang aku tahu.” Belanya karena tidak mau dibilang jahat.
“Sama Mila udah dua bulan lebih ya? Semoga awet. Mila sih belum ada gibah sebel sama Emil atau gimana. Ya, Mila juga agak cuek sih, jadi mungkin mereka cocok-cocok aja kalo gini.”
Rendi menenggak air minumnya, “ya, semoga aja. Aku juga maulah liat Emil bahagia dan mungkin nikah nanti. Kasihan kalo kelamaan sendiri dan sibuk sama kerja aja, nanti jadi bisa sering sakit.” Rendi mengatakan semua itu sambil menatapku.
“Ih! Aku sakit karena emang lagi kecapekan dikit aja, ya.” Jelasku.
“Iya. Aku udah abis nih, nambah dong, hehe.” Ia menyodorkan piringnya padaku dan minta untuk ku ambilkan nasi padahal aku sedang makan. Memang orang satu ini kalau sudah manja kelakuannya sudah seperti anak kecil saja.
“Ren, kaki dua masih kuat ya.” Kataku meski aku mengambil piringnya juga dan pergi untuk mengambil nasi.
Rendi hanya tersenyum.
-Continue-