EMPAT PULUH TUJUH : We Both Know That We're Messed Up

1537 Kata
Hidup itu memiliki turmoil-nya tersendiri. Naik turun, segala masalah datang dan pergi. Saat tadi kami sedang berada di dokter hewan untuk memeriksa si bulu, ponsel Rendi berdering dan membuatnya harus mengangkat panggilan itu dan keluar dari ruang periksa. Aku hanya memerhatikannya sembari diam, enggan berkomentar. Aku sudah bisa menebak siapa yang meneleponnya di setiap akhir pekan hampir beberapa kali dalam sehari. Lama-lama aku jadi muak sendiri, karena kenapa selalu harus dia akhir pekan pun orang itu menelepon. Bahkan kadang hanya menanyakan sedang sibuk atau tidak karena ia baru saja mengirimkan file yang hanya berupa struk yang sebenarnya bisa dilihat Rendi senin nanti.  Gillian, perempuan yang pernah membuatku cemburu sampai kepala jadi sakit karena terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak. Jenis orang yang harusnya bisa memilah mana orang yang sudah memiliki keluarga dan harusnya menikmati hari libur dengan keluarga, dan mana orang yang masih single dan hidupnya hanya didedikasikan untuk pekerjaan atau hanya mengobrol ringan tidak jelas juntrungannya. Aku sebal? Sudah jelas, aku bahkan tidak mau berkomentar lagi karena sudah terlalu muak. “Maaf ya, tadi ada telepon.” Kata Rendi yang sudah kembali masuk ke ruang periksa. Aku hanya diam tidak menanggapi dan bahkan tidak menoleh saat ia mengajakkumengobrol. “Bagaimana, Dok?” tanyaku pada sang Dokter yang sudah selesai memeriksa. “Dia malnutrisi, ada kutu juga dan telinganya kotor. Sepertinya lumayan lama ada di jalan sendirian dan tidak diurus. Sementara ini harus di rawat inap, harus diberikan juga obat cacing karena sepertinya ada cacing juga.” Jelas dokter wanita yang mungkin usianya tidak jauh berbeda denganku. “Kira-kira di rawat berapa hari?” tanyaku lagi. “Mungkin seminggu paling lama.” Jawabnya. Aku hanya mengangguk dan melihat si bulu kecil itu meringkuk dalam handuk yang dari awal aku berikan padanya.  “Sepertinya dia tahu kalau handuk itu merupakan tempat yang aman untuknya.” Dokter pun tertawa ketika si bulu kembali masuk ke gulungan handuk ketika selesai di periksa dan menjerit hebat tadi karena tidak mau di pegang oleh Dokter. “Tolong rawat dengan baik.” Kataku yang mengelus si bulu untuk terakhir kalinya sebelum ia rawat inap. Dulu, aku suka sekali menonton Bondi Vet ketika masih kuliah dan jatuh hati pada dokter bedah hewan, Dr. Chris Brown yang hobi juga main selancar. Tapi saat mencari dokter hewan tadi, aku sampai tidak kepikiran kalau aku sebenarnya bisa saja Bondi Junction, siapa tau aku akan bertemu idolaku zaman kuliah dulu di sana. A heartthrob Dr. Chris Brown yang sepertinya sampai sekarang belum menikah setelah putus dari perempuan yang lama dipacarinya. Tapi kalau sudah panik, memang semua hal yang harusnya begini bukan begitu, jadi terlupakan. Selesai dengan segala hal administrasi di klinik hewan ini, kami pun pergi pulang dengan berjalan kaki. Aku masih diam, karena mood-ku sedikit hancur karena telepon (lagi) dari Gillian.  “Sori, Hon.” Rendi menunjuk ponselnya yang kembali berdering.  Aku hanya menatap sekilas dan kembali menatap jalanan di depanku dengan perasaan gamang. Aku bisa mendengar percakapan Rendi yang hanya sedikit membahas tentang pekerjaan dan sebagian lainnya ia hanya menjawab tentang kesehariannya saja. Like, what the actual fck is happen here? Pikiranku sudah sangat liar sampai ke mana-mana dan karena itu, aku bahkan hampir menabrang pohon yang ada di pinggir jalan karena tidak fokus sama sekali. “Kamu lagi kenapa sampai hampir nabrak pohon?” tanya Rendi yang menyusulku yang jalannya agak lebih cepat daripada dirinya karena ia sedang menelepon dan jalan jadi lebih santai. Ia tertawa dan memegang lenganku. “Bisa nggak kamu nggak perlu jawab telepon dari Gillian kalo nggak bahas masalah kerjaan?” Aku berhenti tepat di depan Rendi dan membuat Rendi berhenti mendadak dan kaget. “Maksudnya?” Tanya Rendi kelihatan kebingungan. “Aku males ngomongin ini di luar.” Kataku yang langsung berbalik dan berjalan cepat sementara Rendi mengekori di belakang. Kami hanya diam berjalan menuju apartemen yang kira-kira memakan waktu lima belas menit. Selama kami di Australia, kami jarang sekali naik kendaraan kalau jarak tempuh paling jauh tiga puluh menit berjalan kaki. Tidak seperti di Jakarta yang kalau sedang malas dari kantor ke Plaza Senayan saja harus naik Ojek online. Mungkin karena area pejalan kaki di sini lebih nyaman dan sejuk. Tidak bolong dan juga bergelombang dengan batu yang mencuat rusak. Kami sampai di depan area apartemen, dan saat masuk, seperti biasa dua resepsionis yang berjaga sesuai shift mereka, menyapa kami yang sudah sering mereka liat setiap hari. Kami tersenyum dan menyapa balik, aku tahu nama mereka berdua Phoebe dan Jason, yang kalau sudah malam akan digantikan dengan Claire dan Gideon, serta seorang satpam bernama Toby. Rendi yang memegang kartu untuk bisa mengakses lift dan juga membuka pintu apartemen. Ia berdiri dibelakangku, dan tidak mencoba untuk ada di sampingku seperti biasanya. Ini bukan tentang hirearki, namun semua ini karena ia tahu kalau aku sedang tidak dalam keadaan yang ingin dan bisa diajak mengobrol.  Dan setelah pintu sudah dibuka, ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak cokelat yang berada di sebalah kanan, begitu pula denganku. Kami berjalan ke pantry untuk mencuci tangan. Aku dahulu, kemudian Rendi yang menyusul. Aku masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian dengan daster batik yang dingin dan nyaman, kemudian duduk di sofa tanpa menyalakan televisi. Rendi menyusul ketika ia juga sudah berganti pakaian dengan pakaian rumah, tak lagi mengenakan kemeja dan celana jeans-nya lagi. “Ren, kita perlu ngomong, deh, kayaknya.” Kataku memandang Rendi yang duduk santai di sebelahku. “Iya, kamu mau ngomong soal Gillian?” tanyanya. “Iya. Bisa nggak kamu bilang ke dia kalau nggak perlu telepon kalo nggak bener-bener mendesak banget? Maksudku, buat apa dia nanya kamu lagi ngapain di saat weekend begini? Kamu perlu waktu buat istirahat, loh.” Kataku dengan nada yang agaknya naik setengah oktaf dari biasanya. “Aku nggak merasa terganggu, dan dia biasa nelepon pasti ada bahas kerjaan juga.” Jawab Rendi. “Apa pekerjaannya penting banget sampai hari libur masuk masih harus diteleponin juga? Kurang lima hari kerja dia neleponin kamu juga kalo udah ada di rumah? Ren, kamu harus bisa pisahin kehidupan kantor sama kehidupan pribadi kamu yang harus take a break dari kerjaan.” “Hon, emang dia nggak selalu bahas kerjaan yang urgent, tapi kan nggak masalah kalau dia telepon dan bahas kerjaan yang seninnya bisa langsung aku kaji dan buat kerjaan aku jadi lebih mudah dan juga bisa cepet kelar.” Bela Rendi. “Kapan coba ku tanya kerjaan kamu bisa cepet selesainya? Kerjaan itu nggak akan pernah selesai di satu sesi, dia akan selalu bertambah dan makin besar, makin jauh, dan makin nyita waktu kita kalo kita nggak bisa set the boundaries. Kadang kita harus tahu batasan kita, harus tahu kapan harus berhenti. Hidup nggak selamanya harus tancap gas dan buat nabrak nantinya.” “Ya aku nggak enak kalo suruh dia nggak hubungin aku di akhir pekan, dong. Dia temen juga rekan kerja juga. Dia tahu kok aku udah nikah kalo kamu pikir dia mau main gila sama aku.”  “Dia tahu kamu udah nikah, tapi dia nggak tahu buat tetap ada di luar circle dan paham kalau apa yang dia lakuin udah kelewat batas. Siapa klien dan rekan kerja yang hubungin setiap hari bukan di jam kerja? Siapa coba ku tanya?” Rendi menghembuskan napasnya kasar, “Kamu sama temen-temen kamu?”  “Siapa? Candra? Mila? Tio? Kami nggak setiap hari komunikasi dan bahas kerjaan, sama Anne? Nggak juga, Matt? Apa lagi. Zoe? Munculnya sesekali. Siapa?” tanyaku gemas. “Siapa aja, kamu selalu ada banyak teman yang hubungin kamu setiap hari.” Ujarnya kini dengan nada yang tak lagi seperti biasanya. “Aku selalu ada dan mereka semua perempuan, Ren! Tio udah ada istri, Candra gak suka sama cewek. Temen-temen aku semuanya kalo nelepon nggak lupa waktu dan juga selalu nanyain kamu. Kami tahu batasan kami masing-masing, nggak ada dan nggak pernah mereka setiap hari neleponin aku gila-gilaan sampai sehari bisa dua kali? Mereka punya kehidupan, dan Gillian? Aku perempuan jadi aku paham, hidup dia cuma sebatas kamu dan kerjaan.” Akhirnya aku mengatakannya. Hal yang sejak awal sudah selalu ada di pikiranku, dan membuatku jadi gelisah tak keruan. Aku tidak pernah mau menyampaikan ini, tentang apa yang ada dipikiranku dan juga yang menggangguku selama ini. Aku takut, kalau aku mengatakan hal yang ada dibenakku seperti sekarang ini, semua yang aku pendam akhirnya nanti tidak akan bisa terkendali. Semuanya keluar, hal yang tak perlu dan boleh ku sampaikan, nantinya akan membuatku jadi menyesal di kemudian hari. Tapi aku sudah tidak bisa lagi menahan semuanya, tidak bisa lagi menutup mata akan kelakuan Gillian yang sudah cukup membuatku terganggu hanya dengan telepon-telepon darinya di waktu yang tidak pernah tepat.  "Kayaknya sekarang kamu harus sendiri dulu dan tenangin diri kamu. Apa yang kamu omongin ini udah kelewat batas, Hon. Gillian selalu nelepon aku karena ada tujuan yang jelas, dia bukan orang yang dengan gelap mata ngejar suami orang." Bela Rendi. Ya, Tuhan. Darahku sampai mendidih mendengarnya. "Iya, kamu emang yang paling tahu dan paham banget temen kamu atau klien, atau apa lah dia itu. Sedangkan aku nggak tau apa-apa. Kamu bener, aku butuh sendirian." Aku pun masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dnegan membantingnya dan menguncinya dari dalam. Aku terduduk di lantai dengan lutut yang ku tekuk untuk bisa aku peluk. Aku lelah, sangat lelah. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN