Ini hari kedua aku tidak masuk ke kantor karena Rendi bilang lebih baik aku istirahat terlebih dahulu dari pada memaksakan masuk kantor tapi kesehatanku masih belum seratus persen kembali dengan baik. Aku menurut karena menurutku lebih baik untuk izin dua hari dari pada masuk kantor dan beberpa hari kemudian kembali sakit dan tidak masuk dan malah tambah parah dan semakin lama izin karena sakitnya terlalu parah.
Aku memiliki penyakit tipes kambuhan yang biasanya setahun sekali akan kumat kalau seandainya aku terlalu kelelahan dan kurang tidur. Dan dari pada tipesku kambuh, lebih baik aku menuruti Rendi dan tidur saja seharian. Meski niatnya mau tidur seharian tapi ujung-ujungnya aku malah merapikan lemari, mengelap semua koleksi buku-buku, sampai merapikan kulkas dan memasukkan semua barang-barang yang masih di plastik ke kontainer plastik yang banyak aku miliki. Aku jadi ingat kebiasaanku dulu sebelum aku bekerja, sehari-hari aku mengerjakan semua ini sampai bosan karena memang tidak perlu memerlukan banyak waktu untuk melakukannya. Apa lagi ini bukanlah pekerjaan yang harus dilakukan di setiap harinya.
Kemarin Rendi membeli banyak buah-buahan karena saat ini sedang banyak buah yang sedang berbuah di musim yang masih cerah dan hangat. Yang tidak enak adalah kalau cuaca sudah mulai tidak bersahabat dan udara sudah mulai dingin, maka buah-buahan juga tidak terlalu banyak jenisnya, harganya juga jadi lebih mahal. Oleh dari itu saat udara hangat, kami akan membeli banyak buah dan sayuran sampai puas karena jenisnya banyak dan harganya juga murah. Kadang malah aku suka memasukkan buah-buahan tersebuh ke freezer atau membuatnya jadi smoothies dan jadinya malah seperti es krim.
Pagi tadi aku tidak memasak untuk bekal makan siang Rendi. Kemarin ia sudah membeli gyoza dan tempura untuk di bawa ke kantor sebagai bekal. Aku hanya membuatkan salad saja dan memasukkan dua buah pisang serta beberapa strawberry yang sudah dipotong ke dalam tas bekal makan siangnya. Paling tidak hari ini lumayan terjaga nutrisi untuk makan siang Rendi. Dan kini, aku menggoreng telur dan sosis untuk makan siang dan membuat salad serta menikmati buah sebagai makanan penutupnya.
Aku satu jam lebih awal untuk makan siang, ku rasa Rendi belum istirahat jadi belum ada telepon darinya. Dan kalau ia sedang sibuk pun ku rasa tidak akan ada telepon dari Rendi karena memang sepertinya kesibukkannya belum kembali seperti normal meski pun tidak sesibuk dulu. Sekarang masih lebih baik. Kalau ingin menghubungi anak-anak di Jakarta pun, semuanya juga pasti sedang bekerja karena jam di Indonesia lebih lambat tiga jam dari pada di sini. Kecuali mungkin, Mila? Aku pun mengambil ponsel yang ada di kamar serta laptop, lalu mencoba mengirimkan pesan pada Mila via w******p. Mungkin saja ia sedang senggang dan bisa diajak untuk mengobrol via Zoom, tapi kalau tidak bisa pun, aku masih bisa mengobrol dengan Mila via chat saja dari pada aku kebosanan sendiri. Dan ketika aku mengecek w******p Mila, untungnya ia sedang online.
Bianca - Mils, sibuk?
Dan tentu saja, balasan Mila datang dengan sangat cepat. Bahkan kalau sedang tidak online, balasan dari Mila bisa dibilang lebih cepat daripada Tio yang sedang online.
Mila - Wat, Beb? Nggak kok, lg di rumah nih ngitungin duit.
Bianca - Buset ya, enak bgt di rumah ngitungin duit.
Mila - Iyalah, sultan mah beda.
Bianca - Anjir!
Mila - kenapa deh lo tumben jam segini nanya gue sibuk apa nggak?
Bianca - Zoom yok.
Mila - Lo yang host ya, setengah jam lg, gue beresin kerjaan dulu
Bianca - Oke, lo chat aja ya kl udah kelar.
Mila - Oke!
Aku pun mempersilakan Mila untuk menyelesaikan pekerjaannya dan menikmati makan siang sambil menyalakan televisi. Kali ini aku menyetel siaran berita dan menonton berita lokal tentang persoalan politik. Sebenarnya aku tidak terlalu fokus dan memperhatikan, ku nyalakan televisi dan menyalakan siaran berita supaya tidak sepi saja apartemen ini.
Tak sampai setengah jam, pesan dari Mila sampai. Ia mengatakan kalau ia sudah bisa zoom dan aku pun langsung memberikan ID dan juga password untuk bisa masuk.
“Eh, lo nggak kerja?” Tanya Mila yang menyapaku dengan pertanyaan yang sudah ku duga akan ia tanyakan ketika melihatku dengan baju daster dan latar belakang apartemen.
“Gue lagi izin kemarin sakit trus hari ini gue disuruh Rendi buat izin lagi aja biar bener-bener sembuh dulu baru gue balik kerja dari pada besok-besok malah kambuh itu skait dan jadi parah.” Jelasku.
“Sakit apaan?” Tanya Mila.
“Demam, gue kayaknya kecapekan sama stress. Nggak sampai burn out sih untungnya. Gue masih semangat aja buat kerja dan nggak sampe kayak lemes aja tiap hari.”
“Lo stres kenapa? Kerjaan lo emang gak menyenangkan? Kan itu udah sesuai sama passion lo yang underground. Jadi kenapa lo stres, deh? Apa karena hobi dijadiin kerjaan jadi lo capek sendiri dan jadi nggak nikmatin hobi lo itu karena udah jadi satu kewajiban buat dijalanin?” Mila menatapku penasaran seakan meminta jawaban.
“Mils, ngurus orang nikahan itu pusingnya tujuh keliling, belum yang repot minta hal yang aneh-aneh, dekorasinya lah harus serba item udah kayak pemakaman, undangannya lah yang harus pake teka-teki udah berasa main teka-teki silang, souvenir-nya yang minta buat dibikin secara handmade, tempatnya yang maunya di ujung tebing, gila nggak? Gue baru sebentar aja udah pusing sama permintaan absurd klien. Rasanya udah kayak mau makan orang kalo yang diminta itu udah aneh-aneh, mana kadang jauh banget venue-nya dan kita tetap harus pulang pergi udah berasa karya wisata tapi nggak buat enjoy liat pemandangan, jadi pegawai dan kerja. Trus balik lagi ke kantor udah nyaris subuh. Gila emang.” Keluhku yang sudah mengalami berbagai permintaan klien yang aneh-aneh.
“Tapi lo ngerasa nggak sih? Tiap ada nikahan terutama yang gaya western gitu, kayaknya bener-bener intimate banget. Ada waktunya pengantin dansa, trus ada momen speech dari orang tua, temen, dan kadang nampilin foto-foto waktu masih kecil dulu. Ada sesi cerita gitu, dan semuanya dibawa santai aja nggak perlu yang namanya salimin semua undangan yang entah siapa itu. Meski besar, tapi hangat dan enak aja kayak lo undang orang-orang yang emang bener-bener lo kenal karena itu pernikahan elo bukan pernikahan orang tua elo.”
Aku mengangguk setuju, “enaknya karena itu pernikahan elo bukan pernikahan orang tua elo meski kadang ada juga sih undangan dari orang tua yang dateng tapi mungin emang nggak banyak. Cuma segelintir aja, dan gue setuju sama sesi dansa yang lo maksud, itu bener-bener bikin lo jadi bahagia emang liat semua orang ada di lantai dansa dan tepuk tangan dan merhatiin pengantin kayak mereka ya emang si bintang acaranya dan semuanya seneng dengan hal itu. Manis sih, dan biasanya orang yang ngurus lagu-lagu nikahan di tempat gue emang jago banget deh masukin playlist, jarang banget sama buat pernikahan yang satu sama yang lain. Gue jadi ngerasa kalo, wah lagu nikahan itu banyak juga ya bukan yang itu-itu aja kayak lagunya Pachelbel yang Canon atau Marry Me punya Train. Oldies juga nggak sebatas The Way You look Tonight-nya Frank Sinatra. Itu sih yang buat nambah momen jadi lebih enak aja, gitu.”
“Jadi kayak kosakata aja ya, sebenernya banyak tapi kalo lo ada di circle yang sama ya kosakatanya tetep akan muter di sana-sana aja, nggak sih?”
“Bener, dan pandangan lo akan sebatas di circle itu aja, lo nggak akan tahu kalo ternyata di luar circle lo itu ada banyak hal yang terjadi, jadi berasa pake kacamata kuda kalo lo cuma gaul sama orang yang itu-itu aja, bacaan lo itu-itu aja, yang lo dneger itu-itu aja.” Kataku.
“Ini obrolan keberatan nggak sih?”
“Lama nggak ngobrol berdua jadi begini nih, lama-lama bisa jadi filsuf. Tapi biasnaya juga kalo berdua kita selalu ngomongin hal-hal yang deep.”
“Iya, sampe mabok trus udah deh, omongan jadi ngelantur kemana-mana nggak jelas. Nyabung juga nggak, lo bahas apaan gue nanggepinnya apaan.” ila tertawa begitu pula denganku.
“Ya, namanya juga orang mabok, mana nyambung kalo buat diajak ngomong.” Timpalku. “Eh, gimana Emil?”
“Apanya gimana? Lo kayaknya kepo banget ya sama si Emil, nanti dek kapan-kapan dia gue ajak buat Zoom bareng elo. Lo ajak Rendi juga kalo bisa jadi biar nggak garing dan roaming.”
“Tetep aja, paling juga kalo ada Rendi mereka bahas kerjaan kalo nggak futsal. Kalo kita ngobrol, mereka jadi diem. Eh, si Emil ini pendiem apa banyak ngomong? Nggak cerewet kayak Candra maksud gue, ya tipe-tipe cowok suka ngomong secara normal lah.” Ujarku yang membuat Mila tertawa terbahak.
“Maksud lo si Candra nggak normal? Parah lo sama temen sendiri!”
“Nggak gitu, maksud gue tuh kan si Candra lebih ke rumpi. Jarang kan cowok rumpi kayak Candra, badan aja macho tampilan maskulin tapi kalo udah gosip sih lambe turah kalah gue rasa.”
“Nggak kok, Emil lebih ke diem. Kayak Tio gitu lah sukanya nyimak aja trus ngomong kalo perlu, kalo nggak perlu ngomong betah aja dia nggak ngomong sama sekali sepanjang makan siang. Heran gue betah banget nggak ngomong, apa suaranya mahal apa gimana deh itu orang. Tapi sekalinya ngomong bijak, kadang malah dalem.”
“Kasian ya, dia. Udah awalnya disangka orang yang dikejar rentenir sama pinjaman online, eh sekarang dibilang suaranya mahal kalo jadi jarang ngomong. Mulut-mulut sompral emang!” Kataku tertawa.
“Gue tuh pernah nanya tau, kenapa dia nggak main medsos, trus tau nggak dia jawab apa?”
“Apaan?”
“Rata-rata orang Indonesia pakai media sosial itu tiga jam empat belas menit menurut penelitian perusahaan We Are Social sama Hootsuite. Seminggu udah dua puluh dua jam, kalo sebulan udah sembilan puluh empat jam. Coba waktu itu buat istirahat atau buat kerja sampingan? Udah dapet berapa uang hadil kerja sampingan? Udah gila sampe segala ngitungin waktu.” Ujar Mila yang takjub dengan sudut pandang Emil tentang media sosial.
Aku tertawa sampai perutku keram, “wow! Sangat calculative dan visioner sekali ya, Emil itu. Gimana jabatannya nggak oke kalo cara dia mandang hal kecil kayak main sosial media aja sampe dihitung dan diperhitungkan sia-sianya.”
“Gue sih nggak habis pikir aja sama pandangan dia. Tapi gara-gara dia, gue jadi harang main sosmed sekarang. Gue jadi bawannya pengen tidur sama ngitungin duit. Aneh banget.”
“Berarti Emil bawa elo ke jalur yang seharusnya dilakuin banyak manusia di luar sana. Istirahat yang cukup sama kerja aja cari duit biar bisa beli pulau sama buat maskapai penerbangan sendiri.”
“Itu sih, halu! Halu pas lagi bengong sama ngantuk!”
Kami tertawa bersama membahas Emil yang mungkin di kantor sekarang sedang bersin-bersin tidak keruan.
“Wah, jadi nggak bosen gue ngobrol sama lo.” Kataku yang menyeka air mata di ujung mataku sendiri.
“Ah, ini juga termasuk sia-sia main sosmed nggak? Wasting time.”
“Nggak lah, anggep aja kalo ini semacam me time. Me time nggak ada kalkulasi nggak pentingnya kan?”
“Ada!”
Aku pun mendelik, “apaan?”
“Katanya kalo me time sebulan dua tiga kali itu wajar, tapi kalo seminggu sampai tiga kali itu males.”
Kami pun tertawa kembali setelah mendengar opini Emil yang menganut kepercyaan waktu adalah uang.
-Continue-