LIMA PULUH DELAPAN: Night Drive

1675 Kata
Pada akhirnya Rendi datang menjemputku dengan mobil yang ia sewa karena kami belum memiliki mobil dan sebenarnya belum butuh juga. Baru kali ini ia menjemputku dari acara resepsi. Aku sudah sangat mengantuk ketika Rendi mengatakan kalau ia inginmenjemputku pulang setelah ku bilang kalau aku sepertinya akan kembali tidur di hotel karena sudah terlalu lelah. Musik dari cd player Rendi setel pelan. Aku sengaja membuka jendela sedikit agar angin malam bisa masuk.  “Udah lama ya nggak nyupir gini malem-malem habis pulang kantor.” Katanya Rendi.  “Iya. Dulu setiap balik kantor pasti begini.” kataku sambil melepas sepatu dan membiarkan kakiku yang pegal karena seharian berjalan dengan sepatu hak tinggi beristirahat sejenak.  “Mampir dulu buat beli martabak atau makan malem sebelum pulang.”  “Iya, kangen sih kayak dulu lagi.” Aku memandang ke luar dan menemukan jalanan yang sudah sepi karena hari sudah malam dan sudah tak banyak kegiatan lagi di malam hari kecuali di beberapa tempat wisata yang biasa disambangi turis dan juga bar. “Kadang hal yang dulu membosankan dan membuat kesel, kalo udah nggak dijalanin lagi dalam wkatu yang lama bisa buat kangen dan pengen balik ke masa itu juga, ya.”  Aku mengangguk pelan, paham akan apa yang dimaksud oleh Rendi. “Ren, mampir dulu ke McD ya. Aku laper.” Kataku setelah melihat plang besar dengan lampu neon yang menyala.  “Oke.” Mobil pun melaju menuju tempat yang dituju. Kami memilih untuk drive thru dan Rendi memesankan burger, kentang goreng serta minuman soda. Semua ini karena aku teringat Candra yang tempo hari menikmati kentang goreng dengan enaknya. Dulu kalau kami sedang bosan makan apa pun, pasti larinya akan ke McD sambil jalan kaki.  Kami tidak memilih untuk menikmati makanan di parkiran, namun menikmatinya di mobil saja sambil jalan karena besok sudah Senin dan Rendi harus kembali bekerja sedangkan aku libur karena memang hari liburku selalu diganti jika akhir pekan ada resepsi. Seperti inilah pekerjaanku sekarang, saat semua ornag menikmati hari libur mereka, maka aku harus bekerja, sedangkan ektika orang lain bekerja, terkadang aku menikmati liburanku sendirian. Bukan hal yang akan menyenangkan kalau aku memiliki banyak teman di sini, namun karena biasanya aku tidak akan ke mana-mana beramai-ramai, aku cukup menikmati keadaanku sekarang ini tanpa banyak mengeluh. Aku menikmati burger dengan menyunyahnya pelan-pelan. Sedangkan Rendi sibuk menyupir dengan satu tangan yang aktif mengambil kentang goreng.  “Tadi gimana? Rame banget?” Tanya Rendi yang masih mengunyah kentang sehingga suaranya jadi tidak terlalu jelas terdengar. “Undangannya seratus, ya kalo buat pernikahan kayak yang lain lumayan rame yang ini. Dan lumayan capek karena undangan bayak, yang dibutuhin juga jadi banyak, makan tenaga banyak juga.” Jawabku. “Temen-temen kamu semuanya nggak pulang jadinya?” “Yang pulang cuma Matt soalnya dia bawa motor, sisanya nginep di hotel deket sana. Dua hari ngurusin nikahan orang yang berbeda bikin capek badan banget.” Rendi tersenyum, “iya, sih. Kamu juga kalo aku nggak jemput kan bakalan nginep juga.” “Iya, soalnya capek.” Aku mengigit burgerku lagi dengan mengambil beberapa kentang goreng agar mulutku penuh dan aku bisa cepat menghabiskan semuanya karena selain lapar, aku juga lelah dan mengantuk. Sedangkan Rendi yang kalau makan itu banyak dan cepat, sudah menghabiskan setengah porsi kentang goreng ukuran besarnya meski ia belum menyentuh burgernya sama sekali.  “Minggu depan ada lagi yang mau nikahan?” Tanya Rendi menatapku sekilas. “Hari Sabtu aja, minggu nggak ada. Minggu depannya lagi baru full lagi soalnya udah akhir-akhir musim nikah.” “Nikah ada musimnya.” Ujar Rendi lebih ke dirinya sendiri. “Ada. Musim nikah, musim cerai, musim durian. Semua ada musimnya.” “Emang ada musim cerai?” “Kalau negara lagi krisis dan resesi pendapatan jadi kurang banyak yang di PHK. Banyak yang cerai karena uang nggak ada lagi dan biasanya cuma berantem mulu.” Rendi tertawa mendengar alasan absurd namun memang nyatanya kalau ekonomi suatu negara sedang tidak baik-baik saja sampai banyak orang dipecat dari perusahaan karena si perusahaan colaps dan bangkrut, maka hal-hal absurd seperti perceraian pun akan semakin marak. Tinggal balik lagi ke masing-masing pasangan, mereka menikah untuk apa? Hidup nyaman karena uang atau karena memang sama-sama cinta dan mau membangun sebuah hubungan. Bukan hanya satu pihak saja yang berusaha namun yang lain tidak peduli. Kalau dari i********:, aku beberapa kali menemukan kenalanku yang curhat panjang lebar tentang status pernikahannya di story close friend, aku saja sampai bingung kenapa aku masuk kategori close friend. Padahal mengobrol juga sesekali saja dan sama sekali tidak pernah samapi mengobrolkan hal personal, namun beberapa orang ini mudah sekali mengumbar apa pun di media sosial meski dengan kedok close friend, tapi yang namanya media sosial mau hanya satu dua orang saja yang bisa melihatnya, ketika sesuatu sudah diunggah di sana, sama saja menyerahkan semuanya ke khalayak umum yang bisa disebarkan siapa pun. Omongan saja bisa disebar mesti bukti jelasnya tidak ada, apa lagi ini yang bisa di screenshot dan disebarkan lebih mudah dan ‘terpercaya’ karena buktinya ada. Perceraian dijadikan konten di media sosial, seakan mereka perlu menyebarkan aib calon mantan pasangan, atau pun yang sudah menjadi mantan pasangan. Aku jarang membaca semuanya sampai habis karena sudah paham ujung-ujungnya hanya akan menjatuhkan satu pihak saja. Candra yang suka sekali membaca dan update tentang ini. Burgerku akhirnya habis. Hanya tinggak kentang goreng yang masih lumayan banyak dan minuman yang hanya ku minum sedikit saja. Perjalanan menuju apartemen kami masih kira-kira setengah jam lagi. Masih cukup waktu kalau mau tidur sejenak. “Kamu tidur aja dulu. Nanti kalau udah sampai aku bangunin.” Aku yang memang sudah sangat mengantuk dan lelah pun bersandar ke kursi dan mencari posisi yang nyaman. Rendi tadi membawakanku selimut, aku sudah menyelimuti tubuhku sampai ke leher dan menurunkan sedikit posisi kursi ke belakang agar posisi tidurku tidak membuat badan menjadi sakit. Dua hari bekerja menjadi seksi sibuk yang harus mengurus semua hal, dan berjalan entah kalau di kalkulasi sudah berapa kilometer meski hanya mengelilingi mansion bolak-balik dengan sepatu hak tinggi. “Being a part of someone’s happiness, itu bagus, tapi terkadang kita lupa untuk bahagia juga.” Bahkan di saat ingin tertidur pun, ada saja yang terpikir. Seperti apa yang dikatakan Beth saat ia melihat si pengantin yang sedang menikmati makan malam bersama kerabat mereka. Mataku sudah terpejam, samar-samar aku dengar suara angin malam yang beradu dengan lagu yang terputar dari cd player. Aku rindu nuansa ini, dan perlahan aku pun terlelap dengan Rendi yang menyupir menembus malam menuju apartemen kami.   ***   Hari ini libur. Aku sudah selesai memasak makan siang, sudah juga sarapan dan Rendi sedang mandi di jam tujuh. Aku yang sudah terlalu melek dan tidak mengantuk pun akhirnya duduk di beranda dengan kopi hangat dan kentang goreng yang masih sisa semalam. Karena sudah dingin dan keras, kentangnya aku hangatkan kembali dengan tambahan keju, saus tomat, oregano, dan sosis yang di cacah. Lumayan, hasilnya jadi enak dan dapat dinikmati sebagai teman untuk menonkrong sambil memandang pemandangan pagi ini yang menyejukkan mata karena terlihat cerah sekali.  Rendi keluar dari kamar sudah berpakaian lengkap. Ia bejalan menuju balkon sambil mengancingkan lengan kemejanya dan dasi belum ia lilit, masih di sampirkan di bahu. Seperti biasa, ia akan menghampiriku untuk membantunya melilitkan dasi. “Cuacanya bagus buat jalan-jalan.” Katanya membil berjongkok di hadapanku agar aku bisa lebih mudah membantunya memakai dasi sambil duduk di kursi. “Iya, nanti kayaknya aku mau jalan keluar belanja trus ngopi.” Kataku. “Sayangnya aku kerja, dua hari weekend kamu juga nggak ada.” “Kan aku harus kerja, emang kamu aja yang bisa kerja.”  Rendi tertawa kecil. Kerutan di matanya terlihat samar dan entah kenapa malah itu membuat ia terlihat lebih menarik. Aku setuju dengan istilah pria semakin tua semakin mirip wine yang semakin enak untuk di nikmati. Tapi aku juga semakin sadar kalau semakin tua, limit waktu kami juga semakin berkurang. Makanya kadang kalau melihat Mama dan Ayah semakin tua aku jadi agak sedih. “Kamu nanti malem mau masak?” tanyanya. “Iya, emang kamu mau request apa?”  Rendi tersenyum, “aku lagi pengen soto betawi soalnya inget Mama pernah kirim emping ke sini.”  “Emang kamu pikir empingnya masih ada?” Tanyaku. “Emang udah abis?” Rendi terlihat sedikit khawatir kalau-kalau ia tidak akan menemukan makan malam yang diinginkannya di meja makan. Aku bisa maklum, sebagai orang Indonesia yang jauh dari negara sendiri, terkadang ada saatnya ingin menikmati makanan khas yang sulit didapatkan dengan rasa yang otentik kalau tidak masak sendiri dengan bahan-bahan yang sesuai. “Ada kok. Tapi aku belum pernah coba masak soto betawi sebelumnya. Harus tanya-tanya Mama dan jangan harap rasanya akan sama dan enak karena cari bahannya belum tentu ada.” Kataku memperingatkan di awal kalau-kalau nanti masakanku gagal. “Oke, aku bakalan makan kok walau pun nanti rasanya nggak otentik.” “Ya udah, kalo nanti sekiranya bahan-bahannya ada. Aku buat kalo ternyata nggak susah-susah banget.” “Makasih, ya.” Ia pun menciumku sekilas dan masuk kembali ke dalam apartemen.  “Di kantorku ternyata di lantai dasar ada yang jual pastry enak-enak, nanti coba aku beliin buat kamu, ya.” Kata Rendi. “Oke.” Sahutku. Aku pun masuk ke dalam, dan melihat Rendi yang sudah siap dengan jas dan tasnya untuk pergi ke kantor. Rambutnya sudah rapi karena gel. “Kamu kayaknya harus potong rambut, tapi kalo mau begini nggak apa-apa juga, sih.” “Makanya kamu temenin aku.” “Minggu depan ya.” Aku tersenyum. Rendi pun pamit untuk pergi dengan menciumku sekilas di bibir dan kening. Sekarang aku memiliki waktu untuk kembali browsing untuk itinerary perjalananku nanti. Akhir bulan aku sudah bisa mengurus visa, dan semuanya ku harap tidak akan memakan waktu yang lama. Aku butuh wkatu sendiri unntuk merefleksikan banyak hal yang terjadi belakangan ini secepat yang aku bisa. Belakangan ini rasnaya aku seperti tercekat di tenggorokan. Dan seperti ada beban berat yang mengganjal di dadda. Setelah mengunci pintu, aku balik ke kamar untuk mengambil laptop, dan kembali ke teras. Kentangku masih ada, sambil makan aku pun sibuk berselancar di dunia maya dan kembali fokus -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN