LIMA PULUH SEMBILAN : Deal

1580 Kata
Ada series yang sedang aku tunggu-tunggu sekali season berikutnya. Dan karena hari ini aku libur dua hari, lumayan untuk menonton ulang season pertama dari Home Before Dark yang bercerita tentang anak kecil berusia sembilan tahun yang ingin menjadi jurnalis seperti Ayahnya. Dan sampai suatu hari ia pindah ke kota kelahiran Ayahnya dari New York, sebuah kejadian pembunuhan terjadi dan ia berusaha mencari tahu siapa pembunuh dari kejadian tersebut yang malah kian melebar dan ada hubungannya dengan penculikan anak puluhan tahun silam. Series ini terinspirasi dari kisah nyata seorang anak kecil bernama Hilde Kate Lysiak yang mendirikan koran lokal di Selinsgrove, Pennsylvania bernama Orange Street News bersama Ayahnya. Untuk kali ini, istilah Age is a number, patut ku acungi jempol karena sangat sesuai dengan kejadian Hilde ini. Siapa yang menyangka bahwa anak yang berumur sembilan tahun bisa sangat kritis dan persisten untuk melakukan satu hal yang biasa dilakukan oleh orang dewasa.  Aku melipat kedua kakiku dan menaikkannya ke atas sofa sambil menyesap milk tea panas yang baru saja ku buat. Biarlah hari ini aku tidak produktif, dua jam lagi makan siang dan aku ingin menikmati makan siang nanti di dekat pelabuhan kemudian pulang mampir dulu ke Asian Market. Aku sedang ingin makan Calamari, tapi kadang, ketika sudah melihat lobster atau kepiting, aku jadi terbayang saus padang khas Indonesia yang manis, pedas, gurih. Makanan Indonesia kaya akan rasa dan sangat aromatik, pantas saja Indonesia dijajah ratusan tahun untuk diambil sumber daya berupa rempah-rempahnya karena memang rempah-rempah bernilai tinggi dan sangat berharga. Tapi sekarang aku ingin menikmati waktu sendiriku dulu sambil menonton kembali kisah petualangan anak kecil dari sudut pandangnya memandang dunia yang luas dan kejam serta penuh misteri ini. Tapi aku masih belum bisa membayangkan bagaimana anak berusia sembilan tahun bisa menghadapi satu momen hidup yang sangat keji. Pembunuhan, bahkan orang dewasa mana pun tidak akan sanggup melihat korban yang pergi secara tiba-tiba dengan keadaan yang seringnya tidak layak. Itu terlalu brutal. *** Aku sudah sampai di satu restoran yang sudah beberapa kali aku kunjungi karena makanannya yang enak. Restoran seafood yang makanannya simpel namun tidak berbau, selalu menjadikan tempat ini satu spot ramai makan siang berbagai orang. Mulai dari warga lokal, para pekerja kantoran di sekitar, mau pun turis.  Aku memesan calamari dan baked salmon dengan mashed potato dan salad. Aku ingin makan dengan santai tanpa memikirkan apa pun meski sepertinya itu agak mustahil karena ketika sendirian pikiran akan hal apa pun itu akan dengan aktifnya menjajah pikiran. Tapi untung saja, orang yang aku tunggu-tunggu karena tadi aku sempat menghubunginya untuk makan siang bersama sudah datang meski katanya ia akan telat dan mempersilakan diriku untuk memesan makanan terlebih dahulu. Aku yang kelaparan pun akhirnya memesan terlebih dahulu dan sekarang sedang menyunyah calamari ketika ia datang. “Hai.” Katanya singkat yang kemudian duduk di hadapanku. “Hai! Maaf aku makan duluan.” Kataku tersenyum sambil mengangkat calamari yang tertancap di garpu. “Silakan kau pesan juga.” Kataku. Zoe pun mengangkat tangan dan meminta menu pada si pelayan. Ia memesan baked lobster dan salad untuk makan siang.  “Jadi, ada obrolan apa yang ingin kau sampaikan padaku sekarang?” Zoe menuang air mineral di botol ke gelasnya dan meneguknya sedikit agar tenggorokannya tidak terasa kering. “Makan saja dulu, kita bisa mengobrolkan ini setelah makan.” Kataku. “Sekarang juga tidak masalah sembari aku menunggu makanannku yang sepertinya masih akan lama tersaji.” “Oke.” Aku menyelesaikan kegiatan mengunyahku dan meletakkan garpu dan pisau di atas piring yang makanannya masih banyak. Selesai mengunyah, aku minum terlebih dahulu sebelum mengemukakan apa yang ingin aku sampaikan pada Zoe. Zoe memandangku sambil bersandar tanpa eksprektasi apa-apa.  “Sebenarnya ada dua hal yang ingin aku katakan padamu sekarang.” Kataku. “Aku sudah bisa menerka yang satu, itu pasti tentang keinginanmu untuk cuti selama dua minggu yang mana aku juga menantikan kapan kau akan mengabariku agar aku bisa berbagi tugas kepada pegawai yang lainnya. Tapi yang satu lagi, aku masih belum tahu apa yang akan kau sampaikan padaku. Semoga ini bukanlah hal yang buruk seperti kau mau resign misalnya, aku belum siap untuk kehilangan staff seperti dirimu yang cepat beradaptasi dan bisa diandalkan dalam mengerjakan berbagai pekerjaan yang mungkin aku sendiri tidak bisa lakukan.”  Aku tersenyum. “Bukan, aku bukan ingin resign. Setidaknya, tidak dalam waktu dekat ini. Jadi kau tenang saja karena arah omongannku tidak akan sampai ke sana, Zoe.” “Oke, kalau begitu tentang apa? Tapi tolong katakan soal cutimu dulu, karena ku rasa ini yang paling urgent karena sepertinya kau sudah memutuskan kapan kau akan pergi.” “Sebenarnya aku belum memiliki tanggal pasti untuk cuti, tapi aku sudah  tahu bulan kapan aku ingin mengajukannya padamu.” “Kapan kalau begitu? Dan apa kau bisa memperkirakan tanggalnya? Maksudku, awal bulan pertengahan atau akhir, mungkin? Hanya perkiraan kasar saja.” “Awal bulan ku rasa. Tapi entah di tanggal berapa, tapi yang pasti aku sudah yakin di awal bulan.” “Baiklah.” Zoe mencatat sesuatu di ponselnya, mungkin ia mencatat tanggal cutiku di notesnya atau entah di mana. “Lalu yang kedua? Apa yang ingin kau sampaikan padaku?” “Ah...” Aku menenggak kembali minumanku dan kini sampai tandas. “Apakah boleh aku mengenakan cincin pernikahanku?” Makanan Zoe datang, ternyata tidak selama yang ia bayangkan meski keadaan di restoran ini sangat ramai. “Apakah ada yang mengganggumu?” Tanyanya yang  telah berterima kasih pada pelayan yang sudah membawakan makanan untuknya. “Silakan kalau kau ingin makan, kita bisa mengobrolkannya sambil makan.” Kataku. “Kalau begitu, kau juga makan.” Ujar Zoe. Aku pun kembali menikmati calamari dengan saus andalan di restoran ini dan yang jelas bukanlah mayonnaise seperti kebanyakan tempat makan yang akan menyajikan saus mayonnaise untuk calamari mau pun onion ring.  “Aku lebih nyaman menyenakannya. Paling tidak itu akan memberi satu boundaries yang jelas agar tidak banyak kesalah pahaman yang akan terjadi di kemudian hari.” “Begitukah? Ada apa? Tidak mungkin kau hanya ingin membuat boundaries karena selama ini selalu ada hal itu ketika kita bekerja dengan klien. Semua selalu pada tempatnya, apakah ada yang mengganggumu sampai flirting padamu? Apakah pria itu tidak kurang ajar sekali karena ingin dan mungkin malah sudah menikah.” Zoe kelihatan terkejut dnegan kata-katanya sendiri. “Kau melupakan klien yang tidak masuk dalam dua golongan itu.” Ujarku mantap. Zoe diam dan kelihatan berpikir sejenak. Dan ketika ia sudah paham apa yang aku maksud, matanya membelalak tak percaya. “Maksudmu Louis?!” Tanyanya sedang suara yang akag kencang. Untuknya suasana di sini ramai, jadi apa yang dikatakan oleh Zoe barusan rasanya tidak mengganggu dan menarik perhatian pengunjung lain. “Aku tidak benar-benar menuduhnya seperti itu, tapi kalau untuk berjaga-jaga saja agar suatu hal yang tidak diinginkan terjadi, bukankah jadinya akan lebih baik?”  “Apakah dia menggangumu? Maksudku, aku jadi sangat tidak enak padamu dan suamimu. Kalian tidak bertengkar karena Louis, kan? Apa aku perlu memberitahu Louis?” Zooe jadi agak sedikit panik karena apa yang aku sampaikan barusan. “Tidak, maksudku, semuanya baik-baik saja. Tapi aku agak jadi over thingking karena perlakuannya padaku beberapa hari ini. Aku hanya tidak ingin karena ia tidak tahu kalau aku sudah menikah, ia jadi akan... ya, kau pahamlah apa yang aku maksud dan katakan. Jadi aku memintamu untuk memperbolehkanku memakai cincin pernikahanku. Karena kedepannya, mungkin saja akan ada Louis-Louis lain yang akan datang dan mungkin bukan pada diriku saja namun pada staff yang lain. Ya aku tahu yang sudah menikah itu hanya aku dan Tress saja.” Kataku. “Oh, Anne sudah menikah juga, tapi baru saja bercerai.” Ujar Zoe enteng. “Eh? Anne?” “Ya. Apakah ia bercerai karena hal ini, ya? Aku jadi merasa bersalah.”  “Jangan terlalu kau pikirkan. Kalau mereka bercerai, bukankah itu berarti kalau memang tidak berjodoh karena tidak bisa lagi dipertahankan? Tapi kalau aku, aku tidak ingin orang jadi salah paham dan akhirnya nanti akan ada orang yang tersakiti karena tidak mengetahui statusku.” “Aku mengerti.” Zoe menyuap salad ke mulutnya dan kelihatan berpikir lebih dalam. “Bagaimana kalau begini saja, kau boleh mengenakan cincinmu setelah kau selesai cuti? Paling tidak aku bisa mengatakan kalau kau menikah di cutimu itu pada Louis. Jadi tidak akan kelihatan seperti aku menipunya selama ini atau apa.” Aku tertawa, “Jadi nantinya aku seolah-olah baru saja menikah begitu?” “Ya. Bagaimana kalau begitu?” Aku diam dan berpikir. Kalau aku harus menunggu dulu, apakah nanti Louis tidak akan mengiriku barang entah apa dikemudian hari? Aku tidak ingin menyakiti perasaannya lebih lanjut karena ia sudah cukup sakit hati karena pernikahannya yang gagal tempo hari. “Apakah tidak terlalu lama?” tanyaku pada Zoe. “Please, Bianca. Paling tidak akan ada alasan untuk hal yang sudah ku sembunyikan ini. Aku tidak ingin kalau ada orang yang menganggapku sebagai orang yang tidak profesional padahal hal yang aku lakukan adalah untuk kebaikan semua orang. Oke bukan semuanya, namun sebagian besar orang.” Zoe dengan padangan memelas menatapku seakan dengan begitu hatiku bisa luluh. “Ah, oke baiklah. Selesai aku cuti aku akan mengenakan kembali cincinku dan tau tidak boleh protes, ya. Aku benar-benar akan mengenakannya.” “Oke! Terserah padamu, yang penting kenakanlah saat kau sudah pulang kembali dan bekerja denganku.” “Oke baik, deal kalau begitu.” Ujarku. Zoe pun mengulurkan tangan dan aku menyambut tangan Zoe. Kami tersalaman sambil tersenyum.  “Makan siang kali ini aku yang bayar kalau begitu! Jangan khawatir.” Ujar Zoe yang mukanya sudah sumringah seperti biasanya. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN