“Kau tahu, rasanya bagian pinggangku ini agak terlihat jadi lebih besar sekali.” Ujar Briana si calon pengantin yang hari ini menikah dan ini hari kedua aku berurusan dengan segala kesibukan yang ada sampai badanku kelelahan.
Pinggang besar katanya, bahkan pinggangku saja masih jauh lebih besar dari pada perempuan satu ini yang sedang mencoba gaun pernikahannya yang dibuat khusus untuknya dan dari brand terkenal yang sudah amat sangat terkenal di semua negara. Sang wanita yang biasa menjadi pihak ketiga antara klien dan brand besar itu pun meneliti gaun Briana sebentar dan menjepit sedikit bahan di sisi pinggang yang di maksud Briana dengan peniti dan merapikan potongan gaunnya yang tadi agak kusut dan terlipat.
“Apakah sekarang sudah jauh lebih baik?” tanya Yuko, si pihak ketiga yang cepat tanggap.
“Ini jauh lebih baik, sangat bagus jika begini. Terima kasih.” Ujar Briana yang kini raut wajahnya jauh lebih cerah dibandingkan sebelumnya.
Yuko pun tersenyum dan mempersilakan Briana untuk mematut dirinya di cermin sekali lagi. Anne sudah terlihat kelelahan seperti diriku, kami hanya ingin tidak ada lagi protes atau permintaan tidak masuk akan yang akan keluar dari mulut Briana sampai acara nanti selesai. Hari masih panjang, semua masih dalam tahap persiapan dan acara belum di mulai.
“Tolong cek keadaan di luar, biar aku yang menunggui Briana kalau ada apa-apa atau ada hal lain yang dia inginkan.” Kata Anne yang berbisik ditelingaku.
Aku pun mengangguk dan keluar dari kamar rias. Aku sudah tidak betah tidur di hotel, aku ingin tidur di kasurku sendiri meski besok aku baru bisa kembali karena kalau pulang malam ini juga, aku rasa aku tidak akan sanggup. Untungnya acara belum mulai, jadi aku masih bisa mengenakan sepatu kets untuk berjalan ke mana-mana.
Aku mencari Deby yang entah ada di mana. Kalau Beth ku yakin kini pasti sedang membantu mengurus dekorasi, sedangkan Matt selalu berurusan dengan kabel-kabel dan sebagainya. Tres selalu mengurusi souvenir, list tamu undangan, dan semua hal yang urusan langsung dengan tamu sampai menghitung catatan menu dan yang lainnya. Beth biasanya si seksi sibuk yang akan pergi ke mana pun dan mengurus apa pun yang kurang.
Resepsi kali ini semua undangan diberikan souvenir berupa lilin aroma terapi dari Jo Malone beserta parfumnya. Sudah bisa dibayangkan, bukan? Bagaimana pernikahan ini akan berlangsung dan bagaimana kehebohan dan kesibukan yang terjadi saat mengurus semuanya. Briana adalah seorang dokter kecantikan terkenal yang menikah dengan anak dari pengusaha supermarket grosir yang cabangnya ada di seluruh Australia. Berbeda dengan orangtuanya, si anak lebih memilih untuk membuka perusahaannya sendiri yang bergerak di bidang game dan design. Meski baru lima tahun berjalan namun progres perusahaannya sudah berjalan dengan baik. Aku jadi ingat bagaimana dulu aku menunggu Kojima Hideo merilis Death Stranding setelah projek P.T gagal dan akhirnya Kojima keluar dari Konami dan memutuskan untuk mendirikan perusahaan sendiri dan mengeluarkan Death Stranding yang proses pembuatannya tiga tahun dengan modal sepuluh juta dollar. Bukan modal dan waktu yang main-main untuk bisa membuat sebuah game. Meski pasangan Briana belum satu level dengan Kojima Hideo si game maker yang terkenal, namun jika progresnya baik, bisa dibilang kalau keuntungan perusahaannya juga baik. Tentu saja, mana ada orang pas-pasan yang menghadiahi seratus ratus undangan dengan souvenir mahal begini. Pernikahannya juga digelar di Mansion pribadi yang memiliki private beach. Dibanding dengan apartemen kami, harga properti ini semua ini jauh di atas apa yang kami huni sekarang.
Aku menemukan Deby yang sedang sibuk di dapur mengecek semua keperluan untuk makanan yang akan disajikan nanti.
“Deby, apakah semuanya sudah oke dan baik-baik saja?” tanyaku yang kini berada di sebelah Deby yang sedang fokus. Ia yang tiba-tiba ku hampiri dan kutanyai pun melompat kecil karena kaget.
“Kau mengagetkanku! Jangan jalan seperti hantu begitu tidak ada suaranya.” Ia memegangi daddanya dan mengelusnya pelan.
“Maaf, kau terlalu fokus tadi. Jadi apa semuanya baik-baik saja?” tanyaku lagi.
“Semua sudah oke. Kue dari Miguel sudah datang dan sekarang sudah ada di kulkas. Aku belum mengecek bagian minuman. Bisakah kau bantu aku untuk mengeceknya?” Tanya Deby.
“Tentu, tidak masalah.” Aku pun keluar dari dapur dan menyalakan iPad yang berisi semua catatan dan keperluan resepsi sampai pada jumlah botol-botol minuman yang dibeli. Aku mengecek jumlah wine yang sudah sesuai, beragam botol jus, air mineral, minuman soda, sampai gelas-gelas yang ada. Semua yang sudah dicek lalu ku ceklis pada spreadsheet yang bisa diakses oleh semua orang. Ini memudahkan kami untuk membagi tugas juga, dan tak lupa aku menulis namaku di kolom staff yang sudah mengeceknya.
Sebenarnya semua barang tentu sudah dicek oleh para pegawai pekerja lepas yang selalu kami sewa, namun untuk quality control semuanya harus di cek ulang agar tidak terjadi kesalahan. Satu jam lagi acara akan di mulai, dan menjelang waktu mepet seperti ini, semuanya kembali sibuk dan tak pernah ada di satu tempat untuk memantau semuanya. Sedangkan Zoe? Ia tidak pernah mau terlibat terlalu lama karena biasanya ia akan menyendiri kalau sudah lelah dengan segelas minuman entah apa dan sebatang rokok. Satu kebiasaan yang sebenarnya tidak terlalu disukai semua orang di kantor. Tapi itulah Zoe dengan segala tingkah lakunya yang ajaib.
Aku menghampiri Matt ketika pekerjaanku sudah selesai, Anne tidak memanggilku dari HT yang artinya semua masih dibawah kendalinya dan tak ada masalah yang berarti.
“Aku sudah lelah meski acaranya belum mulai.” Kata Matt yang kini duduk sambil meminum Cola dingin.
“Aku juga. Kalau harus mengurus satu resepsi pernikahan lagi, sudah bisa dijamin aku akan pingsan kemudian.” Kataku yang duduk di sebelah Matt dan bersandar pada tembok.
“Tapi Briana masih ada satu resepsi lagi, meski bukan di Australia dan bukan kita yang mengurusnya. Apa dia tidak merasa lelah dengan segala kesibukan yang ada? Menurutku satu resepsi saja sudah melelahkan dan bikin sakit kepala, apa lagi dua?”
“Selama ia masih bisa mnyuruh orang untuk melakukan apa yang dia inginkan, tidak akan selelah kita si para pegawai yang sibuk menwujudkan keinginan klien meski itu adalah satu hal yang absurd.”
Matt tertawa, “aku jadi ingat si merah muda dan Kue ulang tahun berwarna hitam. Orang zaman sekarang sudah banyak yang gila.”
“Aku tidak menyangka si merah muda akan bertengkar dengan mertuanya itu. Benar-benar hari yang melelahkan namun juga seru waktu itu.”
“Sekarang kita bisa tertawa dan menyebutnya seru, tapi dulu, semua orang panik karena cekcok mereka saat pesta sedang berlangsung dan semua orang bisa melihatnya. Gila!”
“Dan mereka tidak merasa risih sedikit pun. Kalau aku, mungkin rasanya sudah ingin mati saja karena terlalu malu.”
Matt tertawa lebih kencang dan menengadahkan kepalanya, “untungnya pekerjaanku dengan Louis sudah hampir mau selesai. Backdoor dari sistem keamanan perusahaannya sudah akan selesai diperbaharui dan aku hanya tinggal sekali lagi mencoba untuk mengaksesnya. Coba tebak, apakah nanti aku bisa?”
“Kalau kau bisa dengan mudah membobolnya, maka pekerjaanmu akan semakin lama selesai, namun uang yang diberikan juga akan semakin tinggi karena kau masih harus membutuhkan kemampuanmu itu.”
“Tentu. Meski Louis adalah mantan klien, namun ia tetap saja partner bisnisku sekarang ini yang harus tetap membayarku dengan adil. Tapi aku sebenarnya agak aneh.”
Aku menengok ke arah kanan dan menatap Matt, “aneh kenapa?”
“Dia selalu menanyakanmu dan aku selalu menahan diriku untuk mengatakan kalau kau sudah menikah karena Zoe bilang semua pegawainya lajang.”
“Ah, peraturan konyol itu. Aku lupa belum berdiskusi dengan Zoe tentang ini.”
“Tentang kau mau go public dengan mengenakan cincinmu dan mengatakan pada semua klien kalau kau sudah menikah?”
“Ya, tentu saja.”
Matt mengenggak semua isi dari minuman soda di kalengnya dan meletakkan kaleng itu di meja kecil di sebelahnya.
“Semoga berhasil. Dan kalau permintaanmu itu ditolak, katakan padaku.” Matt tersenyum.
“Memang kau akan melakukan apa? Membantuku untuk mendesak Zoe?”
“Eh? Tidak, aku hanya ingin menertawaimu saja.” Ia tertawa kencang.
“Sialan!” Kataku memukul punggungnya keras sampai berbunyi namun Matt tidak bergeming dan masih sibuk tertawa.
Dasar kolega kerja yang suka sekali melihat temannya menderita!
-Continue-