Akhirnya, aku merasakan kalau kantor bisa menjadi tempat yang bisa menjadi pelarianku dari semua hal yang sengkarut hubunganku dengan Rendi kemarin. Pertengkaran besar kami yang pertama. Dan jedanya cukup sebentar dari pertengkaran sebelumnya dan objek yang menyebabkan semua ini adalah orang yang sama. Aku cukup kesal saat Rendi membela Gillian yang baru ia kenal dan hanyalah seorang teman dan klien seperti katanya dari pada aku, istrinya, dari dari awal kami bertemu ia perjuangkan seperti orang gila.
Semalaman aku menangis tanpa membuka pintu kamar meski aku sebenarnya haus dan lapar. Untungnya di sini, tap water atau air keran, bisa diminum tanpa merlu di masak terlebih dahulu. Sebenarnya aku jarang sekali minum dari tap water mentah, apa lagi di apartemen ini sudah sesuai dengan regulasi pemerintah tentang kesehatan air. Jadi kalau ingin minum secara langusung, sudah bisa digaransi kalau aman. Aku pun akhirnya hanya minum saja dan memilih untuk tidur dan melewati makan malam.
Paginya aku bangun lebih awal dan langsung mandi dan beribadah tanpa sarapan atau pun memasak makan siang untuk bekal. Aku masih kesal setengah mati, aku berangkat pagi-pagi buta sebelum Rendi bangun dan mampir ke salah satu coffee shop yang sudah buka pagi sekali dan sarapan di sana sambil menikmati kopi pertamaku pagi ini. Mataku sedikit bengkak, dan itu tidak bisa dihindari karena memang kalau menangis sampai ketiduran, itu efek yang akan aku dapatkan.
Biasanya aku selalu mengantuk kalau bangun terlalu awal dari jam biasa aku bangun, bahkan terkadang sampai sakit kepala seharian. Tapi hari ini, aku segar bukan main dan pesanan kopiku hari ini berbeda dari biasanya. Aku memesan Espresso pekat yang sangat pahit dan membuatku tambah sadar. Aku tidak pernah memesan Espresso yang super pahit, bukan seleraku sama sekali. Aku suka kopi yang lumayan pahit, bukan yang sangat pahit, itu pun selalu ditemani makanan manis agar mulutku bisa terbiasa. Namun pagi ini aku memesan roti lapis tuna dan Espresso, tidak ada satu pun yang manis, hanya mayonnaise yang sedikit manis namun hanya sekilas saja.
Dan ketika aku merasa sudah cukup lama di coffee shop aku baru berjalan ke kantor. Aku tidak naik bus hari ini, aku memilih untuk berjalan kaki saja. Aku sudah seperti orang linglung, tapi aku memilih untuk seperti ini agar aku bisa benar-benar sendirian dan bisa menelaah semua hal yang tengah terjadi. Namun semakin lama aku berpikir, aku jadi ragu dengan diriku sendiri. Apa aku ini berlebihan? Apa aku seperti anak remaja yang cemburuan kalau pasangannya memiliki teman perempuan dan mereka terlihat dekat?
Aku sampai di depan gedung kantor saat kantor belum ada siapa-siapa. Satpam yang biasanya berjaga sampai keheranan karena aku datang terlalu pagi, satu jam lebih awal dari biasanya. Tapi ia tetap membukakan pintu untukku dan akhirnya aku masuk ke ruangan yang sangat hening sekali. Beberapa lampu masih mati, aku pun menyalakan semua lampu yang ada dan membuat suasana yang awalnya terlihat seperti gedung berhantu, akhirnya terang benderang dan tak lagi terasa ganjil.
Aku naik ke lantai atas dan duduk di tempatku sendiri. Ku nyalakan komputer, dan membuka websita yang dulu sering sekali aku buka. Aku melihat grafik merah dan hijau yang terkumpul di satu layar dengan berbagai angka yang tumpah di sekitarnya. TLKM, BBRI, INCO, ANTM, dan berbagai kode lain berurutan ada di dalam layar. Dulu, setiap baru datang ke kantor aku biasanya melihat bagaimana market bergerak sebelum membuka halaman baru dan menonton youtube sebelum mulai bekerja. Saat itu aku memiliki satu kebiasaan yang sama di setiap harinya meski sesekali aku akan keluar kantor karena harus bertemu dengan klien dan membicarakan tentang uang yang akan mereka gunakan sebagai investasi. Dulu hidupku statis, namun aku masih memiliki banyak orang yang bisa membuat kehidupanku tidak membosankan. Namun sekarang, rumah yang yang satu-satunya menjadi tempatku pulang dan menumpahkan segala perasaan berat kini menjadi tempat yang tak ingin aku kunjungi. Dulu aku masih bisa singgah ke apartemen Mila di jam berapa pun yang aku mau, tapi sekarang ke mana aku harus lari kalau aku sedang tak ingin berada di rumah?
Aku mengeluarkan kantung kertas coklat yang berisi croissant cokelat yang tadi sengaja ku beli di tempat aku sarapan. Dalam diam, sendirian, aku menikmati croissant manis yang tidak seenak biasanya. Ternyata, ketika hati sedang tidak baik-baik saja, semua makanan dan minuman yang bisanya enak karena sering di nikmati dan menjadi kesukaan rasanya akan berubah menjadi biasa-biasa saja dan seakan hambar, tidak ada yang spesial lagi.
Apakah hubungan juga akan bisa seperti itu? Suatu saat nanti akan terasa hambar meski dulu dicintai setengah mati. Aku menghembuskan napas kasar dan menonton berita tentang masalah politik di Indonesia yang dulu sering aku ikuti karena akan mempengaruhi market. Dadaku sesak, seperti ada sesuatu yang mengganjal, begitu pula dengan tenggorokanku ini. Aku segera mengambil air minum dari pantry dan kembali ke mejaku untuk kembali menonton berita yang tadi aku jeda terlebih dahulu.
Dan ketika aku kembali, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Rendi yang ku biarkan begitu saja. Aku sedang tidak mau mengobrol dengannya, tidak setelah ia menyakiti perasaanku karena membela Gillian dari pada aku, yang mengatakan kalau aku tidak mengenal Gillian dengan baik sampai aku bisa mengambil kesimpulan seliar itu. Kalau Doraemaon itu ada, atau bahkan kalau pintu ke mana saja itu ada, ingin rasanya aku pergi ke rumahku di Jakarta dan mengurung diri di kamarku yang dulu. Tidur meringkuk di kasur single bed dengan selimut tebal kesayanganku. Satu tempat yang dulu selalu membuatku nyaman, tempat di mana aku bisa kembali mengisi bateraiku dan bangun dalam keadaan jauh lebih baik.
Aku rindu rumah, rindu bagaimana kehidupanku dulu dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. Memikirkan hal ini saja rasanya ingin membuatku jadi menangis.
Panggilan itu masih berbunyi dan membuat ruangan sunyi ini menjadi berisik hanya karena satu nada ponsel yang terus menerus terulang. Sudah ada tiga panggilan yang tidak terjawab, aku hanya melihat layar ponselku tanpa membuka atau pun mencoba mengangkat panggilan yang ada. Dan kali ini, bukan suara panggilan masuk yang terdengar, namun beberapa suara notifikasi pesan yang masuk ke dalam w******p milikku. Namun karena aku tidak mau tahu apa yang dikatakan oleh Rendi, aku pun membalik layar ponselku dan membiarkan tampilannya beradu dengan meja.
Terkadang, benar kata orang, kita akan ebnar-benar menghargai suatu momen ketika momen itu hilang atau sudah tidak bisa dinikmati lagi. Dulu, kalau aku menolak pinangan Rendi, apakah kami akan tetap bersama dan akan baik-baik saja? Atau Rendi akan seperti Arya yang akan mundur perlahan? Inilah yang aku takutkan dari sebuah hubungan. Ada masanya semua tidak baik-baik saja.
Suara hak sepatu menggema di ruangan, seseorang sudah datang, dan aku sudah bisa menrka siapa yang baru saja datang dan kini hendak naik ke lantai dua, tempat di mana semua pegawai berada. Dan benar seperti dugaanku, wajah Matt muncul dan ia tersenyum ketika mendapatiku yang datang lebih dulu dari pada dirinya.
“Wow! Datang lebih awal, eh?” ia berjalan ke arah mejaku sekadar ingin mengobrol sebentar.
“Ya, begitulah.” Kataku.
“Rekorku yang biasa datang selalu lebih awal rasanya kini akan tergantikan olehmu.” ujar Matt yang membuatku hanya tersenyum menanggapi.
Ia pun berjalan ke mejanya dan mulai menyalakan komputer miliknya. Belakangan aku tahu kenapa ia datang lebih awal, karena selain bekerja di sini, ia juga bekerja freelance untuk perusahaan-perusahaan yang membutuhkan jasanya sebagai white hacker. Seorang peretas legal yang dipakai jasanya oleh perusahaan untuk meretas sistem mereka dan mencari celah yang pasti akan digukana oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mebobol sistem mereka dan membuat perusahaan mereka rugi karena ulah tidak bertanggung jawab itu.
“Situs mana yang sedang coba kau bobol?” tanyaku pada Matt.
“Perusahaan IT milik Louis.” Jawabnya, “perusahaan ini cukup baik, sistem keamanan mereka sejauh ini sulit untuk aku tembus meski tentu saja, masih bisa aku bobol lewat jalan-jalan tikus yang masih minim keamanannya. Tapi sejauh ini, perusahaannya sudah lumayan bagus untuk ukuran perusahaan yang baru saja berdiri.” Jawabnya.
“Kalau kau bisa membobol situs dan banyak perusahaan memakai jasamu dan membayarnya dengan biaya yang tidak mungkin sedikit, kenapa kau masih bekerja di sini? Dengan keluar dari sini, kau bisa memakai bayak waktumu untuk pekerjaanmu yang sudah jelas masa depannya cerah.” Tanyaku.
Matt tersenyum lebar seakan pertanyaanku adalah satu hal yang sudah ia tunggu-tunggu sedari dulu, “karena aku suka dengan pekerjaanku sebagai white hacker, dan aku tidak ingin menghabiskan semua waktuku untuk sesuatu yang aku sukai karena lama-lama aku bisa jenuh dan membencinya.”
Aku tergugu.
“Dengan memiliki perkejaan lain, aku bisa melarikan diri ketika aku jenuh pada hal yang aku sukai dan jadi bersemangat ketika melakukan pekerjaan sebagai freelancer. Hidup itu harus seimbang, kau jangan terus ada di zona nyamanmu dan menganggap selamanya itu akan membuatmu bahagia. Karena kau pasti akan jenuh dan burnout nantinya.” Celotehnya lagi.
“Apa yang kau lakukan kalau kau sudah merasa terlalu lelah?”
“Hm... aku istirahat dari semuanya. Makanya aku tidak pernah mau mengambil pekerjaan di hari libur karena biasanya aku akan tidur sepanjang hari atau tidak akan melakukan apa pun di hari itu. Dan Zoe tidak pernah menghubungiku kalau aku sedang libur karena ia paham betul kalau aku tidak mau diganggu kalau aku sedang libur. Umur tiga puluh plus plus tidak seperi saat dua puluhan dulu yang mau tidak tidur berhari-hari pun tidak masalah. Sekarang, tidur kurang dari yang seharusnya saja sudah membuat badan menjadi sakit-sakitan dan mood jadi tidak terkontrol dengan baik.”
“Kau bahkan tidak menyentuh laptop kesayanganmu dan juga ponselmu?” tanyaku lagi karena mustahil rasanya manusia satu ini menghabiskan hari tanpa ada gadget yang menemaninya.
“Ya, aku mematikan ponselku dan tidak menghidupkan laptop mau pun komputer milikku. Aku benar-benar istirahat dari semuanya atau nantinya aku tidak akan memiliki waktu untuk beristirahat sama sekali karena pasti waktuku akan tersita banyak oleh semua perangkat elektronik itu karena kalau sudah menyalakan satu, sulit sekali rasanya untuk meletakkan gadget seperti semua barang tersebut memiliki satu magnet yang tak bisa dihindari diapa pun. Waktu akan berlalu begitu saja tanpa terasa, hari yang tadinya masih terang tanpa terasa sudah gelap tanpa kau sadari karena kau terlalu fokus dengan semua barang elektronik itu.”
Aku mengangguk paham. Semua yang dikatakan oleh Matt benar adanya. Zaman sekarang, barang elektronik sudah seperti nasi yang harus dimakan tiga kali sehari. Sudah menjadi satu keharusan bila seseorang menggunakan barang elektronik apa pun. Dan tanpa sadar jam demi jam berlalu dan hari libur terlewat begitu saja tanpa ada istirahat sedikit pun.
“Hidup jangan selalu dibuat selalu dipacu, sesekali kita perlu untuk mengerem sejenak.” Katanya bijaksana.
“Ya, tapi terkadang kau tidak benar-benar tahu apakah kau bisa benar-benar berhenti dan menginjak rem hidupmu itu.” Kataku sambil tertawa kecil.
“Kenapa tidak? Itu hidupmu, aku yang memegang kendali itu, Bianca. Kalau kau lelah, berhentilah sejenak dan kembali melihat kebelakang agar kau tahu kau sudah berjuang sangat jauh dan kemudian beristirahatlah. Dengan begitu, kau tidak akan merasa stress atau pun burnout. Hidup tidak selalu mulus dijalani, tapi kalau kita paham di mana kita harus berhenti sejenak dan merefleksikan semua hal yang sudah terjadi, kita akan tahu bagaimana kita bisa melaju bahkan di jalan-jalan tikus yang kecil. Sama seperti diriku ketika membobol sebuah sistem, aku harus tahu kapan harus berhenti, mundur, atau pun mencoba plan lain.”
Matt tertawa dan memperlihatkan gigi putihnya yang berjejer sempurna.
“Kau kedengaran bijaksana sekali pagi ini.” Kataku untuk meledeknya sedikit.
“Tentu! Aku belum bertemu kopiku. Ah, aku harus buru-buru membuat kopi dan bekerja atau Louis tidak akan mau memakai jasaku lagi nantinya. Aku masih membutuhkan uang untuk bisa membeli action figure yang aku impikan.” Matt pun berjalan menuju pantry dan meninggalkanku dengan jutaan pikiran yang kini carut marut.
-Continue-