Aku mengetuk pintu kaca ruangan Zoe ketika ia baru saja datang ke kantor di jam dua siang. Zoe berteriak dari salam ruangan untuk mempersilakanku untuk masuk. Aku pun langsung masuk ke ruangnnya dan duduk di kursi kosong yang ada di depan mejanya.
“Zoe, aku ingin bicara denganmu.” Kataku pada Zoe yang kini tak lagi terpaku sibuk di depan laptopnya.
“Ya, tentu, apa yang ingin kau bicarakan denganku, Bianca?” Ia tersenyum ramah seprti biasanya, belum tahu kalau apa yang akan aku sampaikan bisa membuatnya sakit kepala.
“Aku butuh libur dua minggu.” Ujarku.
Ia menatapku bingung seakan apa yang aku sampaikan hanyalah satu bahan bercandaan yang sebenarnya jarang aku keluarkan. Aku bukan orang yang suka bercanda dengan orang yang tidak dekat sekali denganku.
“Maksudmu?” tanyanya was-was.
“Aku ingin libur dua minggu. Tidak sekarang atau mendadak tentunya, aku harus mempersiapkan banyak hal untuk dua minggu itu. Tenang saja, aku bukan tipe orang yang akan pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa padamu.” Kataku.
“Apa yang sedang terjadi? Kenapa kau ingin libur selama dua minggu? Kau tidak sakit, kan? Atau ada masalah sehingga kau butuh dua minggu untuk tidak datang ke kantor? Jangan bilang aku ingin pindah ke kantor Louis dan meninggalkan aku.” Zoe terlihat panik sampai-sampai setengah berdiri dan memandangku tegas.
Aku ingin tertawa melihat tampangnya yang kebingungan, namun aku menahan diri untuk tidak membuatnya jadi semakin panik dan malah tidak jadi untuk memberikanku izin selama dua minggu.
“Semua baik-baik saja, Zoe. Aku hanya butuh pergi beberapa saat saja.”
“Memang kau mau kemana sampai dua minggu lamanya? Kau ingin pulang? Pasti ada yang terjadi, kan? Tidak mungkin kalau tiba-tiba kau memutuskan untuk pergi selama dua minggu tanpa ada sesuatu hal yang penting sekali. Apakah ada yang sakit? Kau perlu sesegera mungkin untuk pergi kalau begitu?” Tanyanya beruntun dan membuatku kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang mana terlebih dahulu darinya.
“Tidak ada apa-apa, itu adalah satu jawaban yang bisa ku berikan padamu. Semua pertanyaanmu ku harap bisa terjawab sudah. Tenang, ada banyak hal yang harus aku urus, kau tidak perlu khawatir. Aku akan kembali setelah dua minggu pergi, aku tidak mengundurkan diri atau pun kabur. Semua baik-baik saja, Zoe.”
Zoe pun akhirnya kembali duduk dengan suara hentakan yang lumayan terdengar. Wajahnya masih terlihat sedikit gelisah karena sepertinya ia tidak memercayai apa yang aku katakan barusan. Aku tidak mau menceritakan masalahku pada Zoe, dan tidak pasa diapa pun termasuk Mila, Candra dan Tio. Aku ingin menyelesaikan masalahku sendiri kali ini, sudah terlalu lama aku bergantung pada mereka meski atu tahu kalau dengan menceritakan masalah ini akan membuat aku jadi lebih baik dan bisa berpikir dengan lebih jernih. Tapi sekarang, aku sedang tidak mau menarik orang menjadi satu penonton dalam masalahku dengan Rendi. Tekadku sudah bulat, aku ingin menyelesaikannya tanpa campur tangan siapa pun juga.
“Kira-kira kapan kau mau rehat selama dua minggu? Kalau terlalu lama aku tidak akan sanggup, Bianca. Dan tolong jangan saat musim semi, banyak klien akan menikah di musim semi yang hanya tinggal sebulan lagi.” Zoe pun memandangku dengan pandangan nanar.
“Iya, tidak akan dalam waktu dekat ini.” Kataku. “Kalau begitu kau setuju dengan keputusanku ini? Tidak masalah kalau aku cuti dua minggu?”
“Ya, asalkan diluar musim semi dan kau harus kembali lagi ke kantor ini. Aku tidak mau ada pegawaiku yang diambil oleh orang yang aku kenal. Kau benar tidak akan pergi ke perusahaan Louis, kan?” Tanya Zoe yang mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Aku pun mau tak mau tertawa kecil karena tingkah laku Zoe yang paranoid ini, “aku tidak akan lari ke perusahaan Louis, aku janji.” Kataku meyakinkannya.
“Kau yakin? Sepertinya Louis menaruh harapan dan minat kepadamu.”
“Yakin, percayalah denganku. Aku sudah tidak mau lagi bergabung dengan perusahaan sekuritas mana pun, untuk bisa keluar itu lumayan sulit kalau tidak benar-benar pergi menjauh, sama seperti saat kau memiliki pacar dan akhirnya putus.”
Zoe tertawa lepas dan akhirnya mengangguk paham.
“Baiklah, aku percaya. Toh, ketika aku mengajakmu untuk masuk ke perusahaanku semuanya berdasarkan rasa percaya. Kau telah membantuku keluar dari lubang yang terlalu dalam dan gelap, hanya libur dua minggu tidak akan membuatku jadi mati. Jadi tidak masalah.” Kata Zoe yang kini tersenyum lega.
“Terima kasih, Zoe. Aku akan mengabarkanmu jauh-jauh hari kalau aku ingin pergi selama dua minggu jadi kita bisa menyusun semua pekerjaan yang belum rampung dengan baik.”
“Oke, all good.”
Kami berjabat tangan singkat sebagai tanda persetujuan yang sebenarnya tidak penting sama sekali. Tapi entah kenapa kami malah melakukannya, bahkan saat aku setuju untuk masuk ke kantor ini, tidak ada jabat tangan secara formalitas sebagai tanda setuju.
Aku pun keluar dari ruangan Zoe dengan sunyum lebar. Satu hal telah selesai, aku harus membuat list hal-hal yang harus aku lakukan sebelum pergi selama dua minggu nanti. Dan mengulangi hal ini membuatku jadi teringat dengan kebodohanku dulu, hal-hal yang harus aku lakukan agar Arya, mantanku, kembali lagi padaku. Dan diperjalanan dalam melakukan semua kebodohan itulah, aku bertemu dengan Rendi. Rasa getir di d**a membuatku tersadar kalau ternyata seseorag bisa berubah secara signifikan. Tapi aku tak ingin memikirkannya lebih jauh lagi, aku tidak ingin kembali merasakan sakit hati terus menerus karena aku tahu aku bisa drop kalau terus-terusan begini.
Ada saatnya aku harus bersabar, benar kata Matt, hidup jangan selalu di gas.
“Hai, kau dapat kiriman. Tadi Beth yang membawakannya untukmu” Kata Tres yang kebetulan habis dari pantry dan berjalan melewati mejaku. Ia menunjuk paket yang berada di atas mejaku dengan pandangan matanya.
“Oh, trims, Tres.”
Paket yang lumayan besar itu tergeletak di atas meja. Rasanya, aku tidak membeli apa pun yang menjadikan kantor sebagai alamatnya. Semua barang yang ku beli dan dikirim orang rumah selalu dengan alamat apartemen. Bisa-bisanya ada paket yang sampai ke sini, ke kantor dan untukku si anak baru ini. Aku pun mengecek nama pengirim yang ada di atas kotak kardus, dan perasaanku jadi kurang enak setelah membacanya.
Dari Louis. Tidak ada satu pun Louis yang aku kenal selain Louis mantan tunangan dari Tiffany yang tempo hari memberikanku tas tangan Gucci dan menawariku untuk pindah ke kantornya meski aku tahu itu hanyalah basa-basi semata. Dan kini, ia mengirimkan paket yang lumayan besar dan tak jelas berisi apa. Sebenarnya aku sudah penasaran dengan isinya, namun kalau aku buka sekarang di sini nanti malah akan jadi bahan gunjingan. Akhirnya aku taruh kotak tersebut di bawah kolong mejaku. Dan mungkin akan ku buka nanti kalau ingin pulang.
Aku kembali membaca artikel-artikel tentang tren terbaru dalam dekorasi resepsi pernikahan dari media online. Dan membuat beragam portofolio baru untuk klien-klien yang akan datang. Beragam tema sudah diarahkan oleh Anne, aku dan Deby yang mengumpulkan semua informasi yang nantinya akan disaring dan dibuat portofolionya. Saat ini Anne sedang merevisi portofolio untuk klien lain yang akan menikah di akhir tahun.
Semua portofolio dengan anggaran kasarnya akan dijadikan di satu bundel dan akan ditelaah kembali bersama semua tim dan dihitung semua biaya realnya kalau sekiranya ada klien yang sepertinya akan cocok dengan portofolio tersebut. Bisa ku bilang, kami semua di sini tak jauh berbeda dengan para analyst yang pekerjaannya juga menelaah pasar atau pun objek lain yang berhubungan dengan pekerjaanya. Kami ini para analis yang lebih heboh saja, yang kalau datang ke setiap acara harus dengan tentengan beraneka jenis dan musik yang disetel dengan volume yang harus pas agar semua orang dapat mendengarnya tanpa merasa terganggu.
“Hai, /there!” sapa Anne yang kini tiba-tiba saja sudah muncul di mejaku yang tidak bersekat.
“Oh, hai! Kenapa Anne?” Tanyaku sedikit penasaran, “kau datang seperti hantu saja tanpa suara.”
“Kau terlalu fokus jadi tidak mendengar langkah kakiku. Nanti setelah pulang mau mampir untuk minum di tempat J?” Tawarnya.
“Oke!” Kataku tanpa basa-basi dan tanpa berpikir terlebih dahulu. Aku sedang butuh minum yang banyak sampai mabuk dan tak sadar agar bisa menghindar dari Rendi. Bahkan sepertinya kalau bisa, setiap hari aku akan setuju kalau diajak oleh Anne ke tempat J sehabis pulang dari kantor dan menghabiskan waktu di sana sampai larut baru pulang ke apartemen dan tinggal tidur kemudian bangun pagi dan langsung pergi.
“Siap! Nanti kita pulang paling akhir saja, ya. Kau tahu,” ia menunjuk paketku dengan lirikan matanya, “tak enak membawa itu saat semuanya penasaran apa isinya.”
“Eh?”
“Semuanya tahu siapa yang mengirimkan barang itu padamu, tapi tidak akan ada satu pun yang mau membahasnya. Semuanya juga penasaran dengan apa isi dari paket besar nan cantik itu.” Ujar Anne yang sepertinya tidak terganggu dengan fakta bahwa Louis mengirimkan sesuatu untukku tapi tidak untuk semua orang.
“Siapa tau isinya berkas atau barang untuk semua orang.” Ujarku yang sebenarnya agak sedikit ragu.
“Babe, tidak mungkin.” Anne pun mengatakannya dengan nada sepelan yang ia bisa.
Bahuku melorot karena aku juga setuju dengan apa yang dikatakan oleh Anne. Pake t ini adalah sebuah beban untukku, dan mungkin kalau isinya adalah suatu barang yang tidak ku perlukan, aku akan mengirimkannya kembali pada Louis. Aku tidak mau status klien dan penyedia jasa jadi terlalu samar batasannya. Semuanya harus kembali diperjelas lagi statusnya.
Dan ini yang seharusnya Rendi juga lakukan pada Gillian. Ia harus memperjelas hubungan antara teman kantor dan orang asing yang tetap tidak bisa masuk ke circle paling dalam dan intim kecuali istrinya ini dan juga keluarga terdekat. Ah, semua ini selalu kembali pada Rendi entah kenapa. Padahal aku sedang tidak ingin pikiranku jadi ke mana-mana dan tidak fokus karenanya.
“Baiklah kalau begitu! Nanti kita pergi ke sana naik mobilku. Tapi sebelumnya aku ingin membeli kue, kau harus menemaniku untuk memilihnya.”
“Kue? Untuk apa?” tanyaku penasaran.
“J ulang tahun. Pria itu tidak pernah mau kalau ulang tahunnya dirayakan, tapi aku selalu merasa tidak enak kalau ulang tahun seseorang dibiarkan sunyi begitu saja tanpa ada kerumumanan dan tiupan lilin ulang tahun.”
Aku tersenyum lebar, “oke! Apa pun yang ingin kau beli, aku akan menemanimu. Dan mungkin kita bisa memberikannya sebuah hadiah. Atau kau sudah membeli hadiah untuknya?”
Anne menggeleng, “kue saja cukup. Aku hanya ingin tradisi tiup lilin tidak akan pernah hilang. Dia juga tidak suka hadiah, ujung-ujungnya dia akan menolah hadiah berupa barang apa pun.”
“Hmm...” aku pun terdiam sebentar untuk berpikir.
“Jika kau memberikannya sebuah hadiah untuknya pribadi mungkin akan ia tolak, tapi kalau sebuah barang yang bisa dipakai semua orang di bar miliknya, mungkin ia mau menerimanya.”
Anne menatapku penasaran, “contohnya?”
“Nanti kita akan mampir untuk membelinya.” Aku tersenyum.
-Continue-