Ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Sebut saja ini adalah waktu liburanku dari semua keruwetan yang terjadi belakangan ini. Dokter Hanifah juga menganjurkanku untuk rehat sejenak dan liburan jika bisa. Dan mungkin sekaranglah waktu yang tepat untuk mempersiapkan semuanya. Mila sudah ku telepon kemarin dan ia berteriak sampai melengking di telepon karena tidak percaya akan apa yang aku katakan. Tentunya aku harus merogoh kocek lebih dalam untuk bisa pergi ke Prancis, terutama untuk biaya akomodasi karena kalau jalan di waktu yang mepet, tiket yang akan didapatkan akan terlalu mahal. Aku sudah berjanji pada Zoe untuk tidak pergi dalam waktu dekat, dan mengingat kalau mau mengajukan visa dari Australia aku harus menetap selama enam bulan dulu yang mana aku masih butuh satu bulan lagi untuk bisa mengajukan visa dari sini tanpa perlu pulang ke Indonesia.
Orang Indonesia membutuhkan visa Schengen untuk bisa liburan ke Eropa. Dan berhubung visa ke Eropaku sudah kadaluwarsa karena terakhir liburan ke Eropa sudah beberapa tahun silam, segala keperluannya harus aku urus kembali dari awal.
Aku menutup laptop dan menaruhnya di atas nakas. Ini hari kedua Rendi bertugas ke Tasmania, ia belum tahun kalau aku sedang merencanakan untuk pergi berlibur ke Prancis bersama Mila. Beberapa pesan yang ia kirimkan aku baca namun hanya ku balas dengan sangat singkat. Rendi mengirimkan pesan berupa menanyakan kabarku, apakah aku sudah makan atau belum, dan serangkaian pertanyaan lain yang biasa di kirimkan seorang pacar yang sedang melakukan pendekatan ke lawan jenis. Mungkin terdengar manis, namun aku masih belum bisa melupakan apa yang ia lakukan tempo hari.
Suatu hubungan itu perlu komunikasi! Ya benar, namun ketika mood tidak mendukung, mau berkomunikasi pun nantinya akan menambah runyam permasalahan karena semuanya masih ada dalam keadaan panas. Lebih baik begini, kami membuat jarak terlebih dahulu dan mendinginkan kepala masing-masing agar ketika bicara nanti tidak akan ada nada yang naik satu oktaf atau pun keluar kata-kata yang tidak semestinya keluar untuk diucapkan. Aku selalu heran dengan golongan orang-orang yang mengatakan kalau menikah itu melepaskan masalah dar pertanyaan kapan nikah dan segala problem hidup termasuk finansial. Bullshit! Lihatlah aku sekarang, menikah itu tidak membuat seseorang keluar dari masalah, malah mungkin akan menambah masalah hidup dan kami, si pasangan suami istri, diwajibkan untuk mencari jalan keluar bersama. Jika menikah menghilangkan masalah hidup, tidak akan ada istilah perceraian dan perpisahan sampai menjadi musuh.
Ponselku berdenting, sebuah pesan masuk ke grup yang berisikan teman-temanku di Indonesia. Pesan yang masuk bukan hanya satu, namun banyak sekaligus. Aku pun membuka pesan yang masuk dengan bertubi-tubi itu.
Candra - INI APA-APAAN MAU KE PRANCIS GUE KAGA DIAJAK
Candra - MO NGAPAEN KE SANA?
Candra - WOY GUE LAGI SIBUK TP PENGEN LIBURAN!
Mila - Mata gue, Candra! Biasa aja nggak usah pake capslock segala!
Candra - Men! Gue juga pengen iku kenapa yg diajak elo doang deh?
Mila - Lo nanya ke yg punya hajat lah, knp ke gue?
Candra - MANA NIH SI CACHA???
Hanya membaca semua pesan ini saja sudah membuatku tertawa. Aku sudah bisa menduga kalau Candra akan heboh begini. Ya, mau ada berita apa pun, memang Candra lah yang paling heboh reaksinya dan itu yang membuat kami semua senang.
Bianca - Sori, it’s woman only
Candra - Something happen, nih pasti.
Candra - Lo lagi kenapa?
Bianca - Emang kalo liburan harus ada alasan kenapa?
Candra - Iya, dong. Logikanya lo ke Indonesia bukan ke Prancis!
Bianca - Mertua gue di Prancis, nginep gratis pemandangan Eiffel.
Candra - Gue pengen ikut!!! Tapi lagi banyak anak baru gak bisa ditinggal
Bianca - Gue juga nggak ngajak sih
Candra - Resek!
Tio - Hahahahaha
Mila - Mamam, dalem
Obrolan pun berlanjut sampai sore. Dan ketika tidak ada lagi topik yang dibahas aku baru sadar kalau aku benar-benar sendirian. Tanpa lampu yang menyala karena aku lupa menyalakannya, ruangan ini terasa gelap seperti tidak ada penghuni karena aku juga tidak menyalakan musik atau apa karena aku berada di kamar. Aku pun segera turun dari kasur dan menyalakan lampu di ruang tengah. Hari ini karena hanya sendiri aku hanya ingin makan telur mata sapi dengan kecap dan sambal saja. Kebetulan ada banyak daun selada di kulkas, jadi aku tak perlu masak sayur untuk mencukupi serat hari ini.
Aku menenteng ponsel ke mana pun aku pergi selama Rendi tidak ada. Entah kenapa kalau sendirian begini aku jadi merasa was-was padahal keaman di apartemen ini sangatlah bagus. Tapi mungkin karena biasanya ada laki-laki di rumah, ketika ditinggal sendiri aku jadi agak sedikit paranoid.
Ponselku berdering ketika aku hendak makan. Panggilan ini dari Rendi, kemarin pun ia menelepon di jam yang sama, jam ketika aku hendak makan malam karena biasanya aku akan langsung tidur tak lama setelah makan malam. Memang tidak baik, namun kepalang sudah mengantuk jadi terkadang aku ketiduran begitu saja.
“Halo?” Sapaku ketika panggilan sudah ku angkat.
“Halo? Kamu udah makan?” tanyanya yang kedengaran sangat sepi sekali. Mungkin kini ia sudah berada di dalam hotel.
“Baru mau makan.” Jawabku seadanya.
“Oh, aku udah makan. Ya udah kalo gitu kamu makan aja, aku juga mau tidur.”
“Oke.”
“Hon...”
“Hm?”
Ada jeda di mana kami sama-sama tidak mengatakan apa pun, dan semuanya terasa agak canggung. Namun aku sedang tidak ingin berkata banyak dan melannjutkan obrolan lebih jauh lagi. Mungkin belum sekarang aku akan banyak bicara kembali.
“Nggak jadi, ya udah kamu makan aja habis itu tidur. Aku pulang lusa.”
“Oke, hati-hati.”
“Kamu juga.”
Panggilan pun selesai begitu saja.
Memang rasanya sedikit aneh karena percakapan yang biasa selalu panjang lebar, kini hanya terasa sangat singkat tanpa ada rasa hangat di sana. Biasanya kami bisa menghabiskan satu jam untuk nelepon satu sama lain, namaun kali ini sangat berbeda dan singkat. Nafsuku untuk makan juga tidak sebesar tadi. Aku bukan lagi orang yang hidup untuk makan, namun makan untuk bisa bertahan hidup saat ini. Lucu, efek dari pertengkaran kami bisa membuatku bisa menjadi orang yang sangat berbeda sekali dan terasa seperti seorang yang tak memiliki empati dan terus merasa insecure.
***
Aku duduk di pinggir ruangan dengan memandang kerumunan yang ada. Resepsi pernikahan kali ini sangat ramai seakan konser sedang berlangusung di dalam ballroom hotel bintang lima. Beberapa orang terlihat tengah menikmati waktu mereka dengan berdansa bersama pasangan masing-masing setelah di mempelai wanita dan pria menyudahi wedding dance mereka.
“Sendirian?” tanya seseorang yang membuatku mendongak.
Louis di sana dengan jam biru tua dan senyum tipis khasnya sedang memegang gelas yang sebagian isinya telah tandas.
“Ya.” Kataku singkat.
“Sepertinya pestanya semakin ramai sekali menjelang malam.”
“Sepertinya.”
Ia pun duduk di sebelahku dengan pandangan lurus ke depan. Ini aneh, dari sekian banyak orang yang ada di sini, bagaimana mungkin ia bisa menemukanku di tengah keramaian begini. Aku sedang tidak ingin berbasa-basi dan bersikap ramah pada siapa pun. Mood-ku hari ini sedang tidak bagus sama sekali. Sedari tadi aku memilih untuk diam dan fokus pada pekerjaanku dan mengihindari orang-orang yang kelihatannya ini mengobrol banyak.
“Aku sedih sekali ketika kau mengirimkan kembali barang-barang yang aku berikan.” Katanya ke inti permasalahan yang sudah aku duga akan ia bahas.
“Maaf. Ku rasa sangat berlebihan sekali menerima semua barang itu tanpa suatu alasan atau pun momen yang tepat. Terima kasih atas niat baikmu, tapi aku memilih untuk tidak menerimanya.”
“Oke.” Katanya singkat dan ia menyesap minumannya sampai tandas, “ku pikir kau akan menyukainnya. Maaf kalau pemberianku malah menyinggungmu dan membuatmu tidak nyaman.”
“Tidak masalah.” Ujarku.
“Ini pernikahan teman baikku yang memperkenalkanku pada Tiffany. Ku pikir ia tidak akan pernah menikah karena ia tidak pernah bisa menetap di satu perempuan. Tapi ternyata ada juga perempuan yang bisa membuatnya takluk sampai ia rela mengejarnya habis-habisan.”
Aku tersenyum tipis, “bukankah cinta itu memang aneh dan sulit di mengerti?”
“Ya.” Ia tertawa, dengan suara tawanya yang renyah dan enak di dengar.
“Kadang kau berlabuh di pelabuhan yang tepat, kadang tidak karena kapalmu karam sebelum bisa melihat tujuanmu itu.”
“Jangan mengatakan hal-hal yang terlalu sedih begitu. Kau hanya salah haluan, bukan karam.”
Seperti diriku ini yang mungkin kapalnya sedang diterja kabut tebal dan harus diam sejenak agar tidak salah berjalan.
Louis menatapku sambil tersenyum dan mengangguk.
“Andai aku bisa benar-benar seperti dirimu yang bisa menghadapi semua hal dengan lebih positif lagi dan tidak terus-menerus memandang sesuatu dengan ada niatan buruk di dalamnya.”
“Bukankah itu artinya kau jadi lebih berhati-hati lagi? Tapi jangan pernah mengatakan hal-hal yang menyedihkan yang dapat membuatmu jadi kehilangan arah tujuan, Louis.” Aku melihat Matt melambaikan tangan ke arahku seakan menyuruhku untuk menuju tempatnya berada.
Aku pun berdiri dan hendak pemit ketika Louis meraih tanganku yang membuatku jadi memandangnya bingung.
“Terima kasih.” Katanya yang kemudian melepaskan tanganku.
“Aku harus pergi, kerjaan memanggil.”
Ia pun mengangguk dan aku kini melewati orang-orang yang masih menikmati waktu mereka dengan dansa yang tak kunjung usai. Seseorang dengan baju hitam yang melewati kerumunan dengan aneka warna membalut tubuh mereka. Aku bukanlah bagian dari orang-orang yang sedang merasa senang ini. Perasaanku abu-abu, dan kini aku harus kembali fokus dengan pekerjaanku dan meninggalkan sejenak masalah pribadiku di ruang lain di hati yang sudah ku kunci kembali.
-Continue-