Kami tahu ada yang salah saat ini. Aku duduk di kursi pantry dengan kepala tergeletak di meja sedangkan Rendi sedang sibuk di dapur. Aku mual dan pusing setengah mati karena efek dari obat sakit kepala belum bekerja. Ini baru jam empat pagi, hari masih sangat gelap dan udara dingin memeluk tubuhku yang sudah ku balut dengan sweater. Rendi bermberikan mug berisi s**u panas dan juga oatmeal dengan strawberry, si buah yang selalu ada di dalam kulkas karena murah dan mudah di dapatkan.
Aku menggerakan mataku untuk melihat dua benda yang kini sudah tersaji di depan mata. Aku ingin segera menikmatinya selagi panas, namun kepalaku masih belum bisa diajak kompromi, aku mengerang dan membuat Rendi hanya menghembuskan napas putus asanya. Ia berjalan ke dekatku dan duduk di sebelahku dengan mangkuk berisi oatmeal untuk dirinya sendiri. Jika dibandingkan beberapa bulan yang lalu, saat kami pertama kali tinggal di apartemen ini, pemandangannya sangat jauh berbeda. Tidak ada pemandangan dua orang di mabuk cinta sedang menikmati sarapan mereka berdua, tidak ada pemandangan di mana si perempuan sedang memasak dan sang pria duduk dengan kepala tertunduk karena masih mengantuk. Pemandangan itu bisa dilihat beberapa bulan yang lalu, namun sekarang semua berubah.
Dan rasa insecure-ku kembali datang. Aku kembali mempertanyakan kemampuanku dalam bersosialisasi dan membina sebuah hubungan. Ingin rasanya aku mengumpat karena bisa-bisanya aku berpikir terlalu jauh sementara kepalaku menjadi sakit bukan main.
“Makan dulu.” Kata Rendi dengan suara serak dan dalam khasnya ketika baru saja bangun dari tidur.
Aku hanya mengerang kembali dan menggerakan sedikit kepalaku untuk ku angkat sedikit dengan rambut yang masih sangat berantakan. Aku mengambil karet rambut yang selalu ku taruh di beberapa tempat agar mempermudahku kalau ingin menguncir rambut dan tak perlu mencari-cari ke berbagai tempat. Aku menguncir rambutku asal agar tidak berantakan dan menganggu ketika aku menyuap sedikit oatmeal. Ini khas buatan Rendi yang selalu ia tambahkan sedikit garam dan gula kelapa dan membuat rasanya jadi gurih dan manis yang khas.
Ada rasa yang akan selalu melekat dari masakan seorang Ayah atau suami. Aku paling suka nasi goreng buatan Ayah yang tanpa kecap dan selalu ada kacang panjang yang dipotong kecil dengan banyak bawang yang membuat rasanya gurih dan manis. Aku menyuapnya sedikit, efek si obat sakit kepala sudah bekerja dan sekarang sakit kepalaku sudah tidak terlalu berlebihan lagi dibandingkan tadi.
Kami menikmati sarapan kali ini dalam diam. Bahkan televisi yang biasanya menyala kini tidak mengeluarkan suaranya karena dibiarkan mati dan menjadi saksi bisu dinginnya udara di apartemen ini. Rasanya aku ingin tidur saja di kamar sendirian dengan selimut yang membalut tubuhku sampai ke leher dan membuat badanku jadi sangat hangat dan nyaman. Tapi nyatanya aku harus pergi ke kantor dengan bus dan menyambut realita kehidupan orang dewasa dengan masalah di rumah yang masih hangat-hangatnya.
Aku menyesap s**u yang sudah hangat itu perlahan. Rendi mencampur sedikit bubuk kayu manis dan membuat s**u full cream ini jadi agak berbeda rasanya.
“Kamu naik taksi aja ke kantor.” Kata Rendi yang mencoba memulai percakapan.
Aku tahu ia merasa janggal dengan semua keadaan ini. Hal yang paling menyakitkan adalah ketika seseorang melakukan silent treatment padamu. Untuk anak kecil, perlakuan seperti ini dari orang tuanya dapat membuat si anak tumbuh menjadi seseorang yang insecure dan selalu sibuk dengan pikirannya terhadap pandangan orang lain kepadanya. Ia akan selalu berpikir apakah yang dilakukannya itu salah atau tidak, pantas atau sebaliknya, dan bahkan ketika ia hendak melucu yang ada dipikirannya apakah nanti akan ada sambutan dari teman-teman yang mendengarnya atau pun tidak.
Oleh karena itu, banyak sekali orang yang lebih senang kalau pasangannya atau siapa pun orang terdekatnya ketika marah, meluapkannya dengan omongan daripada diberi perlakuan seperti sekarang ini. Seperti apa yang aku lakukan pada Rendi. Tapi aku sedang tidak ingin mengobrol dengannya sedikit pun. Aku hanya ingin diam sampai Rendi menyadari kalau apa yang ia lakukan itu salah, yang ia bela itu salah. Nemun ternyata ia tidak juga sadar.
Aku menyuap lagi oatmeal di mangkukku sampai tandas. s**u pun ku tenggak sampai aku kekenyangan. Aku memijat keningku pelan dan berdiri dengan tangan yang masih menopang kursi tinggi pantry. Aku berjalan pelan-pelan, dan masuk ke kamar.
Tidak ada tenaga yang kini tersisa untuk memasak apa pun. Aku merangkak naik ke atas kasur dan mencoba untuk kembali tidur karena bangun di jam setengah delapan pun aku masih keburu untuk pergi ke kantor tanpa terlambat. Aku memejamkan mataku, dan meninggalkan Rendi yang terduduk sendirian di kursi pantry.
***
Dunia orang dewasa itu tidak menyenangkan. Dulu ketika kecil aku mana paham tentang fakta yang satu itu. Dulu aku ingin sekali tumbuh dewasa agar bisa mengenakan sepatu hak tinggi seperti Mama, keluar rumah dengan lipstik berwarna merah dan mengenakan cincin di jari yang kalau terkena sinar matahari akan berkilau dan membuat banyak orang terpana. Tapi itu dulu, semuanya terlihat sangat menyenangkan dan ingin cepat dewasa karena alasan-alasan yang sangat sepele namun terlihat hebat saat aku kecil. Dan mungkin itu bukan hanya terjadi pada diriku saja, banyak anak-anak lain di luar sana juga mungkin mengalami hal yang sama.
Aku menghembuskan napas berat. Bus sebentar lagi berhenti dan aku harus berjalan sedikit untuk bisa sampai ke kantor. Hari ini Rendi membuatkan makan siang untuk ku bawa sebagai bekal. Ia memasak nasi goreng, telur dadar, nugget dan salad. Memang mungkin rasanya tidak akan seenak masakan yang biasa aku buat, namun ia mencoba untuk mungkin merapikan semua hal yang sedang berantakan ini sedikit-sedikit.
Bus pun berhenti di pemberhentian yang menjadi destinasiku. Aku turun dan berjalan menuju coffee shop yang selalu ramai di jam sebelum masuk kantor. Banyak orang mampir ke sini untuk membeli kopi dan sarapan mereka, selama ini aku hanya melihatnya saja tanpa berniat untuk mampir. Namun kali ini berbeda, aku ingin mencoba kopi yang ada di sini.
Lonceng berdenting, si barista yang ku taksir adalah seorang pekerja paruh waktu dan sepertinya masih kuliah pun memandangku sambil tersenyum.
“Aku ingin flat white panas untuk ku bawa.” Kataku.
“Baik, silakan tunggu sebentar. Kami punya Puff Pastry telur dengan tomat dan basil. Baru saja matang dan tinggal dua, sangat laris kalau kau ingin mencobanya.” Ujar si Barista yang mencoba menawariku dan berharap kalau pastry pagi ini laris semua.
Aku jadi ingat masa-masa dulu ketika aku kuliah dan mengambil pekerjaan paruh waktu untuk biaya tambahan membeli buku dan biaya jalan-jalan. Selalu ada bonus tambahan dan tips jika pekerjaanku baik dan semua makanan yang ada di display bisa terjual semua.
“Ku ambil satu.” Kataku yang membuat si barista tersenyum dan segera memasukkan satu pastry itu ke dalam kantung kertas cokelat. Dan begitu kopiku selesai, ia memberikan semua pesananku.
“Semoga harimu menyenangkan.” Katanya.
Aku pun tersenyum tipis, “Terima kasih, ku harap kau pun begitu,” Aku pun keluar dari coffee shop dan merasa sedikit jauh lebih baik.
Terkadang, menjadi orang asing dan pergi ke tempat baru di mana tidak ada satu orang pun yang mengenalmu adalah satu hal yang menyenangkan. Sama halnya ketika traveling ke tempat baru dan bertualang sendiri tanpa mengandalkan siapa pun dan bebas ingin melakukan apa pun semaunya. No one know us, dan saat kita membuat satu hal yang sedikit memalukan prinsip itu akan membuat pengalaman liburan jadi lebih berkesan.
Aku berjalan menuju kantor. Dari jauh aku bisa melihat motor Matt sudah terparkir di halaman parkir yang luas.
Aku menyapa satpam yang biasanya di jam-jam seperti ini tengah menikmati sarapannya dan masuk ke gedung dengan lobi yang arsitekturnya ajaib dengan menyapa Beth yang sudah duduk di tempatnya dengan onigiri dan sup ada di atas meja kerjanya.
“Pagi, Beth.” Sapaku.
“Pagi.” Sapanya balik dengan singkat.
Dulu ku pikir Beth adalah orang yang sangat tidak memiliki tata krama, namun belakangan aku rasa ia hanya orang kikuk yang enggan mengatakan banyak hal kalau tak perlu. Sedikit misterius memang, namun karena sudah terbiasa dengan keberadaannya yang kadang suka terlupakan, aku jadi biasa-biasa saja.
“Hai, Matt.” Sapaku Pada Matt yang selalu sibuk di depan komputernya.
“Pagi! Ternyata kau tidak ingin mengambil peranku yang selalu datang lebih awal, ya. Hari ini kau datang teralu siang bahkan Beth sudah datang dan sekarang ada di Pantry.” Ujar Matt tersenyum lebar.
“Aku tadi tidur, dan aku tidak ingin merebut jabatan atau peranmu itu.” Ujarku yang membuat Matt tertawa.
Aku pun menaruh tas tangan ke meja dan mengambil ponsel yang ada di kantung celanaku sambil berjalan menuju lantai dasar di mana ada toilet dan ruangan untuk meeting bersama klien. Aku menghubungi nomor yang sering sekali aku telepon dan kirimi pesan.
Erangan mengantuk pun menyambut telingaku dari panggilan yang sudah diangkat orang ku telepon ini dari seberang sana.
“Halo?” sapanya parau.
“Mils, bangun juga lo gue telepon.” Aku tertawa kecil dan bersandar di meja.
“Gila lo ya... jam berapa nih.” Katanya.
“Ikut gue, yuk.” Kataku dengan semangat.
“Hah? Lo di Sydney, kan?” tanyanya mencoba mengkoreksi kalau-kalau ia sedang tertidur sampai bermimpi yang tidak jelas.
“Iya, liburan bareng yuk.”
“Ke mana? Lo nyuruh gue di sana?”
“Ke Prancis.” Jawabku enteng?
“HAH?! KE MANA?” Teriak Mila yang sepertinya langsung sadar seratus persen karena suaranya tak lagi terdengar parau.
“Prancis.” Jawabku singkat.
“Lo gila?”
“Mils, Oui!”
-Continue-