TIGA PULUH : A Way Of Fall In Love

1847 Kata
Dulu aku memiliki cita-cita untuk melanjutkan S2 di Amerika. Sampai sebelum aku lulus S1 dulu, saat-saat sedang mengerjakan skripsi, aku sudah sibuk mencari beasiswa agar aku bisa melanjutkan sekolah di sana. Sampai pada akhirnya aku menyerah ketika restu dari orang tua tidak turun. Rasanya kalau dipikir kembali, ada banyak hal yang gugur aku jalani karena tidak ada restu dari orang tua. Dan kini restu itu datangnya dari Rendi. “Ren, aku kayaknya mau beli baju deh. Gaun one piece gitu, yang ini.”  Aku menunjukkan foto gaun yang ku maksud pada Rendi dan mendapati ia mengernyit yang tanda-tandanya sudah bisa diperkirakan kalau ia tidak setuju. “Yang lain aja gimana?” tanyanya balik kepadaku. “Kenapa emang? Yang ini warnanya bagus, motifnya juga. Teutamatoshi loh ini, yang lagi hits banget.” Rendi menggeleng, “itu keranhnya terlalu turun. Yang lain aja coba kamu searching lagi.” Aku memandang Rendi bingung, “dulu ya aku pake gaun yang lebih dari ini kamu nggak ada protes, bilangnya aku cantik. Sekarang malah gak dibolehin. Gimana ceritanya, coba.” “Dulu kan kita belum nikah, aku nggak punya kewajiban dan nggak berhak atur hidup kamu. Sekarang kamu istri aku, boleh dong aku nggak setuju sama beberapa pilihan kamu yang aku anggap kurang pas. Yang lain aja, ya. Kan banyak itu modelnya, tapi jangan yang aneh-aneh.” Aku mengernyit. Jangan yang aneh-aneh katanya, semua model gaun yang ada di katalog saja modelnya hampir serupa, semuanya pasti masuk kategori aneh-aneh bagi Rendi. Bagaimana aku memilih yang bukan aneh-aneh kalau begini? Padahal sebenarnya kerah gaun yang ku pilih memang rendah tapi dijamin tidak akan terbuka karena hanya sekitar satu senti saja gap-nya. Kalau yang lain bermodel push up bra jadi menurutku gaun yang tadi lebih baik dari pada yang lain. Tapi bapak satu ini tidak setuju, aku menghela napas dan sibuk memilih yang lain dan sibuk scrolling halaman sampai habis dan hasilnya nihil. Tidak ada yang benar-benar aku sukai model dan warna serta motif gaunnya, hanya yang satu itu saja. Sekalinya aku ingin membeli gaun karena teringat kalau aku hanya memiliki dua evening dress, jadinya malah gagal karena tidak mendapatkan restu.  Memang ketika aku bekerja menjadi Wedding Oganizer kami memiliki seragam sendiri, little black dress yang nyaman agar bisa dengan mudah berjalan kemana-mana dan tidak menganggu saat sedang mengangkat benda apa pun. Tapi tetap saja, suatu saat, kalau mendapatkan undangan pernikahan, mana mungkin aku bergantian memakai dua dress itu. “Nggak jadi.” kataku meletakkan ponsel di atas sofa dan bersandar dengan kepala menengadah sambil memejamkan mata.  “Nggak mau yang lain? Brand lain?” “Nggak ada yang menarik perhatian aku.” “Kalo kamu beli buat di pake di rumah nggak pa-pa, jadi aku aja yang liat.” “Oh, jadi kamu cemburu kalo ada orang yang liat aku pakai baju model begitu di luar?” tanyakku sambil tersenyum jahil pada Rendi yang menatapku sambil tertawa kecil khasnya. “Emang nggak boleh? Iyalah, aku nggak mau orang lain liat kamu pake baju itu, apa lagi cowok meski pun di sini orang pakai baju model apa pun aja bebas, mau jalan pake bikini juga terserah, tapi aku nggak mau kamu diliatin cowok lain trus mereka suka gimana?” Aku tertawa geli sambil memeluk Rendi, “ya kali ada orang yang baru pertama kali ketemu cuma sekilas aja langsung suka. Nggak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama itu, pandangan pertama cuma rasa tertarik bukan cinta.” “Pertama kali aku ngeliat kamu aku juga awalnya tertarik. Lagi rapat pertama kali buat ngomongin masalah bisnis yang kalau bisa dibilang jumlahnya nggak main-main, tapi kok perempuan di depan aku ini sama sekali nggak fokus dan diem aja dan sama sekali nggak memperhatikan gimana rapat berjalan dari awal sampai akhir. Aku yang harusnya juga ikut fokus jadi nggak fokus gara-gara ngeliatin kamu yang sibuk sama pikiran kamu sendiri. Kamu sebentar-sebentar bengong, trus entah bergumam apa, nanti nunduk, pokoknya bener-bener nggak fokus sama sekali. Trus kamu baru sadar kalau rapatnya udah selesai dan balik ke dunia nyata lagi, nggak ngawang-ngawang mikirin entah apa. Itu salah satu kasus cara orang tertarik dan mau tahu lebih lagi karena penasaran.” Rendi mengecup puncak kepalaku lembut. “Trus kamu sukanya sama aku kapan? Aku awalnya ngerasa kamu itu ganggu banget, nempel-nempel mulu, ajak ngobrol mulu, sedangkan aku lagi pusing dan stres habis putus sama Arya.” “Aku suka sama kamu itu... aku juga kurang yakin, tapi yang pasti sejak saat itu aku jadi penasaran sama kamu makanya kamu aku pepet terus. Dan pas kamu ketemu sama Arya di Bopet Mini, entah kenapa aku ngerasa kayak, aku nggak suka aja kamu ketemu sama dia dan kamu jadi sedih, mood kamu berubah gitu aja dan jadi diem seharian. Nggak kayak biasanya yang suka ngomong, ceritain apa aja semua kejadian di kantor, nanyain hal-hal yang buat kamu pensaran ke aku, pokoknya ngomongin apa aja. Tapi waktu itu aku baru pertama kali liat kamu begitu dan aku nggak suka.” “Kamu cemburu?” aku mencolek pinggang Rendi gemas. “Mungkin, dan mungkin juga aku nggak mau liat kamu jadi pendiem dan nggak jadi diri kamu seperti biasanya. Kamu kayaknya sedih banget waktu itu dan aku nggak suka, kayak ada yang buat perut aku nggak nyaman dan hati aku juga jadi ikutan sakit liat kamu begitu.” “Rapat waktu itu malamnya aku baru aja diputusin di tengah jalan dari pulang kantor. Semalaman aku nangis, dan gimana mau fokus kerja kalau kejadiannya baru aja malam itu,” “Aku baru tahu kamu di putusin di tengah jalan dan pas hari pertama kita ketemu kamu baru aja putus.” Aku menatap Rendi, “emang aku nggak pernah cerita ya?” Rendi menggeleng, “nggak. Kamu nggak pernah cerita tentang itu. Aku juga nggak pernah nanya, sih. Soalnya aku juga nggak mau kamu jadi sedih dan diem lagi karena kepikiran hal yang nggak perlu kamu pikirin. Yang harusnya nggak harus ganggu kamu lagi. Jadi rasa penasaran aku, ku simpen aja sendiri.” “Sekarang udah nggak kok. Aku udah nggek pernah kepikiran itu lagi, tapi ya kalo dipikir-pikir dulu kelakuan aku kayak anak kecil banget emang. Sampai buat daftar gila tentang gimana caranya buat bikin Arya balik lagi ke aku meski pun kalo Arya balik, aku juga nggak yakin untuk nikah sama dia. Aku nggak punya keberanian untuk berumah tangga sama dia. Aneh ya, aku pernah ada dalam titik itu. Jalani aja apa yang ada di depan mata sekarang ini tanpa mikirin masa depan, mau di bawa ke mana hubungan ini. Tapi waktu itu yang aku mau ya, semuanya tetap sama. Nggak perlu pusing mikirin nikah, karena memang tujuan aku ya nggak pernah ke sana.” “Kamu cuma mau Arya tetep sama kamu tanpa nikah? Pacaran aja sampai tua?” “Mungkin. Aku juga nggak tahu, nggak pernah kepikiran dan nggak mau aku pikirin juga gimana kedepannya hubungan aku waktu itu. Semuanya samar.” Rendi mengelus-elus kepalaku dan menyenderkan kepalakya di atas kepalaku. “Sekarang kamu udah sama aku. Emang kita jodoh, kamu bukan jodohnya Arya pun sebaliknya. Gara-gara Arya kita bisa ketemu kayak sekarang. Semuanya udah ada yang atur. Hidup emang ajaib ya, kita nggak pernah tau kedepannya bakalan gimana.” “Iya, dan aku juga nggak nyangka akan ketemu mantan kamu waktu kita liburan di Malaysia, pas banget liburan buat ketemuan sama kamu yang udah pindah duluan ke sini. Hancur liburanku gara-gara mantan kamu itu. Bisa-bisanya kamu pacaran sama orang kayak gitu, tuh gimana sih?” aku masih ingat sekali sosok wanita yang baru saja naik daun itu, mantan Rendi yang rasa percaya dirinya mengherankan sekali.  “Nggak ngerti. Dulu dia nggak nggak begitu soalnya, dan aku juga pacaran sama dia karena dia duluan yang ngajakin. Aku bingung nolaknya ya udah aku oke aja.” “Kamu putus kenapa dulu?” tanyaku penasaran. “Lama-lama aku ngerasa dia terlalu banyak ngambeknya dan ngatur hidup aku. Sama siapa aku harus bergaul, selalu cemburuan padahal aku nggak ngapa-ngapain. Dan karena aku nggak nyaman aku minta kami pisah.”  Perlaham kami mulai menceritakan hal yang sebelumnya belum pernah dibicarakan. Tentang bagaimana hubunganku dulu dengan Arya, dan bagaimana hubungan Rendi dengan mantannya itu. Memang benar kata orang, menikahi orang yang enak diajak bicara itu memang penting karena seharian pasti bertemu dan pasti ada komunikasi. Dan dengan saling bercerita tentang pengalaman masing-masing, kami jadi semakin mengenal satu sama lain. Aku jadi tahu kalau Rendi bukan tipe orang yang suka diatur berlebihan, namun kalau sudah bucin, mau disuruh bagaimana pun juga nurut-nurut saja. Contohnya saja, ini yang menurutku paling gila dan ku rasa orang normal tidaka kan ada yang mau mengikuti jejaknya dulu, ia setuju aku manfaatkan untuk mendapatkan perhatian dari Arya dulu. Coba, kalau dipikir dengan logika, mana ada orang yang mau dimanfaatkan seperti itu, kan? Apa lagi jadi ban serep sesaat yang mungkin, kalau aku sukses kembali pada Arya, Rendi hanya akan menjadi masa lalu. Tapi mungkin juga ia sudah mempertimbangkan hal ini dengan matang. Mungkin ia sudah tahu kalau Arya tidak akan pernah kembali padaku, dan mungkin kalau itu akan terjadi, ia akan melakukan hal-hal yang akan membuatku hanya akan menoleh kepadanya. “Kalo dulu aku balik lagi sama Arya kamu gimana?” tanyaku tiba-tiba karena aku memang sangat penasaran dengan reaksi dan jawaban dari Rendi. “Nggak akan aku biarin. Kamu akan aku buat suka sama aku, aku nggak mau kamu balikan lagi sama Arya yang udah pilih Renata.” Katanya santai, dan sesuai dengan dugaannku. “Gimana caranya?” Rendi tersenyum. “Ada banyak cara yang udah aku pikirin. Dan aku selalu punya bermacam-macam opsi buat bikin kamu suka sama aku, dan tentu aja, gimana buat Arya nggak akan balik lagi ke kamu.” ia tertawa dan menjawil hidungku. “Ih! Koko malah jadi kayak film suspense, sih? Serem banget kamu!” aku memukul Rendi karena ragu dengan jawabannya itu. “Kok kayak film suspense? Nggak lah, coba, semua film romance yang sering kamu tontonin di Netflix atau dari mana pun itu, pasti ada satu scene di mana di pemeran berjuang buat mendaptkan orang yang dia suka. Apa itu salah? Ya nggak, tergantung gimana caranya aja. Hubungan itu kan butuh proses, ya berjuang buat dapetin orang di suka juga kan masuk dalam proses itu.”  Rendi tertawa dan makin erat memelukku serta menghujaniku dengan ciuman-ciuman kecil yang membuat aku jadi geli sendiri. Aku pun tertawa dan mencoba menyingkirkan Rendi untuk menjauh dariku, tapi semakin dicegah, pria satu ini malah makin mengeratkan pelukannya dan mulai menjamah semua bagian tubuhku. “Kamu jadinya beli lingerie aja, ya. Nanti aku yang bayarin mau yang kayak gimana harganya berapa bebas.” Katanya dengan suara rendah yang dalam. “Maunya kamu aja itu.” Rendi pun tertawa, dan melanjutkan aksinya yang sempat terganggu dengan permintaannya barusan padaku.  Well, tidak perlu diteruskan ya bagaimana akhirnya karena tentu saja. Bagi pengantin baru, apa yang terjadi di sini adalah hal yang wajar. Apa lagi kami baru saja bertengkar dan terpisah karena tugas dinas Rendi.  Rendi pun menggendongku dan membawaku ke kamar. Ia menutupi pintu dengan masih menciumku intens. Ini akan jadi hari yang panjang dan melelahkan. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN