TIGA PULUH SATU : Another Broken Hearted

1757 Kata
Aku terbangun karena suara nada dering ponselku sendiri. Ini hari minggu pagi, dan siapa yang menelepon pagi-pagi begini di saat matahari saja belum keluar. Aku mengerjapkan mata beberapa kali sebelum benar-benar bisa terjaga sepenuhnya. Tangan besar Rendi ada di pingganggu, dan aku bisa merasakan napasnya di tengkukku. Ia tertidur dengan pulas, napsnya sangat teratur dan lembut. Aku melepaskan pelukan tangannya dari pinggangku dan meletakkannya pelan ke kasur. Dengan perlahan aku turun dari tempat tidur dan mengambil bathrobe dan membungkus tubuhku yang agak kedinginan karena AC. Panggilan dari Zoe. Tumben sekali Zoe meneleponku jam segini. “Halo?” sapaku pada Zoe dengan suara yang sedikit serak karena baru saja terbangun dari tidur yang nyenyak. “Bianca? Maaf mengganggu dirimu, tapi apakah kau bisa menolongku? Kau bisa datang secepatnya ke alamat yang ku kirimkan melalui messenger?” “Eh? Kenapa? Apa yang terjadi padamu?” tanyaku sedikit panik dan khawatir. “Ceritanya panjang. Nanti akan ku ceritakan padamu, tapi bisakah kau datang sekarang?” “Oke, aku akan ke sana secepat yang aku bisa.” “Baik, terima kasih banyak Bianca.” Sambungan pun ditutup. Aku melihat pesan yang baru saja masuk ke ponselku dan betul saja, itu pesan dari Zoe yang mengirimkan alamat tempat yang harus aku tuju. Dan ini adalah, Bar? Aku segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengenakan pakaian secepat yang aku bisa. Rendi masih tertidur, aku tidak ingin membangunkannya karena ia terlihat nyenyak sekali. Aku pun mencium keningnya setelah menyingkirkan anak-anak rambut dari dahinya kemudian pergi terburu-buru. Masalah apa lagi yang menyambut Zoe kali ini? Bukankah ia bilang ia ingin benar-benar fokus pada pekerjaan sekarang? Tapi kenapa ia malah mendapat masalah lagi, terlebih di Bar?  Aku tak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh Zoe. apa memang ia selalu menarik masalah ke sekeliling dirinya? Apa begitu hebat magnet yang ada dalam dirinya sampai-sampai masalah tidak mau lepas dari kehidupannya? Kini aku jadi merasa kasihan pada Zoe. Aku menyetop taksi untuk bisa datang lebih cepat karena aku takut kalau ia dalam masalah besar, dan di sepanjang perjalanan, aku memikirkan berbagai kemungkinan apa yang sedang terjadi pada Zoe. Semoga saja apa yang sedang terjadi tidak terlalu buruk sampai harus melibatkan polisi atau apa. Wah, aku bergidik membayangkan apa yang terjadi. Aku tidak mau menjadi saksi di pengadilan kalo persoalannya benar-benar buruk. Mobil berhenti di alamat yang diberikan oleh Zoe. Kelihatannya baru sudah tutup karena lampu-lampu di luar yang biasa kelihatan gemerlapan tidak menyala. Begitu juga dengan penjagaan di depan yang tidak ada siapa-siapa. Biasanya kalau malam hari, akan ada penjaga dengan tubuh besar yang siap mengawasi siapa saja yang masuk dan menolak anak di bawah umur untuk masuk. Bahkan, di beberapa bar, yang mengenakan pakaian tidak sesuai dengan dress code yang ditentukan, sudah pasti mereka akan menolak merka untuk masuk.  Aku berdiri sejenak di depan baru yang terlihat elit dengan papan nama besar denganlampu-lampu di sekelilingnya. Kalau malam pasti tempat ini sangat ramai didatangi berbagai macam orang. Kakiku pun melangkah masuk dengan sedikit hati-hati karena ini kali pertama aku berkunjung ke sini.  “Bianca!” panggil Zoe yang berada di meja bar dengan seseorang di sebelahnya yang kelihatan sedang tertidur dengan kepala tergeletak dia tas meja bar. Di depan Zoe ada seorang bertender yang sedang mengelap gelas dan ia tersenyum ketika aku mendatangi mereka dan tidak sengaja bertatap muka dengannya. Jenis pria yang bisa membawa suasana jadi menyenangkan dengan senyum ramah dan pengertian. Tipe orang yang sudah bisa dilihat kalau pengalamannya sudah sangat lama di bidangnya dan tentu saja profesional. “Maaf aku meneleponmu di akhir pekan seperti ini dan di pagi buta. Kita memiliki masalah di sini.” Katanya dengan wajah yang terlihat gelisah. “Apa bar ini sudah tutup?” tanyaku. “Sudah dari tadi, ini bar milik Ayahku. Tidak masalah, sekarang kita memiliki satu hal yang lebih penting. Dan itu adalah pria ini.” Zoe menunjuk pria yang ada di antara aku dan Zoe. “Siapa?” tanyaku yang tidak bisa melihat jelas wajahnya karena menghadap ke arah Zoe. “Louis.” Katanya pelan nyaris berdesis tak terdengar. “Tom, tolong buatkan aku dan Mischa teh hangat.” Katanya pada sang bertender yang mengangguk sekali kemudian pergi ke belakang. “Kenapa kau ada bersama Louis di sini? Dan kenapa, apa yang terjadi padanya?” tanyaku kebingungan. “Tunggu, kau dan Louis? Oh, tidak mungkin, kan?” aku bergidik ngeri membayangkan apa yang ada dipikiranku harus benar-benar terjadi. “Apa yang ku pikirkan?! Aku tidak akan pernah mau berhubungand engan klienku sendiri. Itu adalah satu hal yang dilarang, tidak boleh terjadi.” Kata Zoe cepat. “Syukurlah. Lalu apa yang terjadi dengannya? Minggu depan ia akan menikah, kenapa sekarang ia tergeletak di sini denganmu dan tak sadarkan diri? Apa ia mabuk berat?”  Zoe menghela napasnya berat. “Dia meneleponku semalam. Sudah dalam keadaan mabuk padahal aku juga tidak terlalu mengenalnya, kan. Kau tahu sendiri kalau aku memang tidak banyak bekerja, tapi karena yang dia tahu bahwa aku adalah pemilik kantor, ia meneleponku.” Tom menyajikan teh hangat kepada kami dengan cangkir keramik antik, rasanya sungguh aneh menikmati teh hangat di bar begini. “Terima kasih, Tom.” Kata Zoe. “Terima kasih.” Kataku pada Tom yang hanya tersenyum dan kali ini pergi ke hadapan rak berisi berbagai acam botol minuman dan terlihat membereskannya dan mengelap botol-botol itu dengan telaten. “Tiffany pergi meninggalkannya.” Kata Zoe sambil menatapku ngeri. Aku hampir tersedak mendengar apa yang dikatakan oleh Zoe. Ternyata selama ini feeling aku dan orang-orang di kantor terbukti. Ada yang tidak beres dengan hubungan Louis dan Tiffany ini.  Semuanya sudah terlihat dari awal, dan ternyata akhirnya kejadian seperti ini. Seminggu sebelum resepsi pernikahan berlangsung. Baru kali ini aku mendegar ada mempelai pria yang ditinggal oleh mempelai wanita. Karena sebagian besar kasus yang ada, sebaliknya. Para wanita yang biasanya ditinggal oleh pasangannya yang kebanyakan selingkuh. Wah ini kasus langka tapi aku tahu kalau yang seperti ini pasti ada. “Maksudnya?” tanyaku pada Zoe untuk memperoleh informasi lebih lanjut. “Tiffany pergi ke negara asalnya dan tidak kembali lagi ke sini. Dia sudah menikah dengan orang lain di sana.” “Tunggu,” aku memijit-mijik keningku, mencoba untuk menelaah kembali apa yang disampaikan Zoe. Informasi singkat yang ia berikan itu terlalu ektream, bagaimana bisa ada keadaan yang seperti ini muncul? Ku pikir kalau Tiffany pergi, ia hanya tidak ingin menikah dengan Louis saja tanpa ada hal ektream lain yang terjadi. Namun ini aneh, sungguh sangat amat aneh. “Semuanya sungguh... aneh.” Kataku. “Ya, dan ketika aku sampai ke sini dia sudah mabuk dan meracau tidak jelas. Untung saja ia datang ke bar milik Ayahku ini. Dari sekian banyak bar yang ada, dia memilih untuk wasted di sini dan meneleponku agar aku bisa datang dan mengatakan kalau ia membatalkan resepsi pernikahannya. Ini sungguh sangat absurd, kau tahu.” Zoe menyesap tehnya dan tertawa. “kalau sekarang ada yang mengatakan kalau alien benar-benar ada dan sedang berbelanja di Tesco, aku sudah tidak akan kaget lagi. Semua hal terasa masuk akal sekarang.” “Lalu, bagaimana dengan semua persiapan dan uang yang sudah masuk ke semua vendor?” tanyaku pada Zoe ngeri. “Louis tidak mempermasalahkannya. Ia sudah tidak peduli lagi dengan uang, undangan yang sudah di sebar, dan bahkan image dirinya di muka umum. Entah apa yang dipikirkan oleh Tiffany sampai melepaskan orang seperti Louis dan membuat semuanya berantakan seperti ini. Sungguh tidak bertanggung jawab.” Aku memandang Louis yang masih tergeletak tak berdaya di sebelahku. Kenapa aku selalu dikelilingi orang yang selalu memiliki masalah dengan hubungan percintaan mereka seperti ini? Tapi mungkin ini hanyalah sebagian kecil orang-orang yang sekarang bisa ku bilang malah beruntung bahwa mereka dijauhkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Yang bisa membuat hidup mereka tambah berantakan kalau seandainya mereka benar-benar sudah menikah nanti. Seperti kakakku dulu. “Padahal kita semua berharap dan berdoa kalau resepsi mereka akan baik-baik saja, tidak ada masalah sampai hari H nanti. Tapi ternyata takdir berkata lain.” Tom menyajikan roti panggang dengan keju padaku dan Zoe. Sarapan simpel yang sedikit membuatku bisa fokus kembali.  “Terima kasih.” Kataku pada Tom. “Kembali.” jawabnya kali ini, ini pertama kalinya aku mendengar suara Tom yang ternyata tidak terlalu berat seperti apa yang aku sangka. Aku mengunyah roti itu lamat-lamat dan memandang ke depan, ke deretan botol yang terpajang sempurna. “Ketika mendengarnya, aku yang merasa gelisah sampai tanganku basah dan gemetaran. Baru saja kami datang ke Vila miliknya untuk mempersiapkan semuanya. Semua Vendor sudah mempersiapkan bagian mereka, dan bahkan Matt sudah membuat setlist lagu yang akan diputar nanti. Oh, kepalaku sakit padahal aku tidak minum.” Aku menengadahkan kepala dan memejamkan mata. Dan baru saja aku memejamkan mata, aku bisa mendengar ponselku berbunyi. Aku bisa menebak kalau yang meneleponku saat ini adalah Rendi. Ia pasti kaget karena mendapatiku tidak ada di apartemen dan terlebih hanya meninggalkan selembar catatan kalau aku keluar karena Zoe memanggil untuk urusan pekerjaan. Baru semalam aku dan Rendi bersenang-senang, sekarang aku sudah berada di sini dan mendengar satu berita kurang menyenangkan. Aku mengangkat panggilan dari Rendi. “Halo? Aku lagi sama Zoe, Ren.” kataku begitu Rendi mengatakan Halo. “Kamu sarapan di sana apa cuma sebentar aja di sana?” tanya Rendi dari seberang sana. “Aku lagi sarapan. Aku usahain sebelum jam makan siang aku udah balik. Kepalaku nggak enak banget, pusing.” “Kamu nggak pa-pa?” tanya Rendi yang sedikit khawatir. “Aku dapat kabar yang kurang enak, tapi aku baik-baik aja. Nanti aku ceritain ke kamu. Kamu sarapan aja dulu, aku urus urusanku di sini sampai selesai.”  “Ya udah, hati-hati di sana.”  “Iya, bye. Love you.” “Love you, more, Hon.” Sambungan pun diputus. Aku meletakkan ponselku kembali ke kantung jaket dan menghabiskan roti panggang yang kalau sampai dingin akan membuatnya terasa tidak terlalu enak karena kejunya akan mengeras. “Sekarang bagaimana kelanjutannya? Apakah kita akan membawa Louis ke apartemennya yang aku tak tahu ada di mana, atau kita menunggunya sampai saadar di sini?” Tanyaku pada Zoe yang terlihat sedang termenung entah sedang memikirkan apa. “Kita tunggu saja sampai dia sadar di sini. Selama ada Tom, kita akan baik-baik saja. Benar begitu, kan, Tom?” tanya Zoe yang tersenyum pada Tom. “Jangan sampai aku harus lembur.” Tom tertawa kecil yang hanya dibalas oleh tawa kami tanpa ada obrolan lebih lanjut. Sekarang ini kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Terlalu banyak hal yang dipikirkan namun terlalu sedikit waktu yang bisa menampung semua pikiran itu karena terlalu banyak hal yang harus dilakukan. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN