DUA PULUH SEMBILAN : Insecurity

1841 Kata
“Hai! We are Zoom-ing now!” kata Mila menyapaku dan Tio yang baru saja bergabung di Zoom untuk mengobrol. “Hahaha gaya banget ya sekarang Zoom.” Kataku. “Yohi! Eh si Mamak tiri mana? Kok belum gabung dia?” tanya Mila yang keheranan karena candra belum muncul. “Tugas dinas ke Bali dia. Dikabarin tengah malem tadi, subuh langsung jalan.” Jawab Tio yang sambil sarapan di depan laptopnya. “Wih! Kerjaannya udah padet gitu? Baru juga dia masuk kantor baru, kan?” tanya Mila keheranan. “Eh, dia tuh kantor apa sih? Di mana?” tanyaku sekalian pada Tio. “Katanya harusnya bukan dia yang jalan, dia gantiin seniornya yang sakit. Trattors, kantor Pulp & Paper sama F&B. Eh, dia ada juga kan ya F&B?” Tio mengeryitkan dahinya. “Kayaknya Trattors banyak nggak sih anak perusahaannya? Gajinya oke dong ya di sana. Lo nggak ikut pindah juga ke sana, Yo? Betah amat di kantor lama.” Tanyau sambil meledeknya yang masih betah-betah saja ada di perusahaan yang nyaris kolaps itu. “Tau lo, Yo! Betah amat. Itu kantor gue denger-denger lagi agak bermasalah lagi sama perusahaan lain soal yang kasus kemarin. Ternyata masih ada aja perusahaan lain yang ikutan nyangkut di itu kasus korupsi. Gila ya, nggak kelar-kelar loh ini udah setaun gak sih? Ampun gue.” Mila menggelengkan kepalanya karena tidak percaya. Aku membelalak tidak percaya, “HAH?! serius lo? Gila tambah lama dan panjang aja ini mah.” “Di kantor juga lagi heboh itu. Dewi udah nyuruh gue buat cari-cari sih, tapi gue masih mikir.” “Apa sih yang lo pikirin lagi, Yo? Itu kantor juga bentar lagi ilang. Udah lah lo ikutin aja nasihat bini lo itu. Omongan istri itu berkah loh. Nggak ada salahnya lo ikutin dan kayaknya emang udah waktunya lo ikutin, sih” Balasku. “Yes, you are in Bini Group already.” Jawab Tio. “Jangan sinis, nggak ada salahnya kan kalo lo terima offer dari perusahaan-perusahaan lain. Apa lagi kalo yang gaji dan masa depannya cemerlang. Kesempatan emas itu jarang mampir di hidup manusia biasa kayak kita, lagi, Yo.” Ujarku yang membuat Tio diam. “Betul. Tuh kantor yang dulu nawarin elo, yang perusahaan minyak itu, masih available nggak posisinya? Kalo masih sih lo hajar aja, kapan lagi kan temen gue masuk kantor minyak yang gajinya udah nggak masuk kategori ngepas.” Tambah Mila yang kali ini ikut mengompori.  “Bosnya orangnya... yah, gimana ya. Lo kenal sama Pak Ginanjar Hadipurwo, kan? Orang yang ditakutin orang-orang sekuritas? Nah kantor dia.” Jelas Tio. “Yailah, Yo. Lo kan bukan bawahan langsung dia. Lo bukan sekretarisnya, lo kan orang IT. Nggak akan lah lo langsung urusan sama dia. Kantor dia masuk lima besar perusahaan Minyak paling bagus di indonesia nggak, sih? Wajar lah kalo dia disegani orang-orang, dia top gitu.” Mila melambaikan tangan untuk menepis omongan Tio yang terdengar insecure sekali. “Kok lo jadi insecure, sih? Yang biasanya insecure kan gue, Mila sama Candra. Nggak ada porsi lo buat insecure, Yo.” Kataku. “Karena gue udah ada anak dan anak harus di sekolahin. Yang gue pikirin jadi tambah banyak. Kemungkinan juga jadi banyak, opsi makin banyak. Pusing.” Jawab Tio yang tak lagi terlihat cuek dan penuh pertimbangan serta rasa percaya diri yang tinggi. Aku jadi diam dan ikut berpikir, apakah kalau aku memliki anak nanti, aku juga akan seperti Tio? Bahkan Tio yang percaya diri saja bisa insecure dengan keadaannya sekarang ini. Apa lagi aku yang sudah insecure parah?  “Udah, mending sekarang lo sebarin CV dulu deh, atau perbaiki Linkedin. Cek juga tawaran kerja yang masuk ke email lo. Sekarang udah waktunya lo mulai pilih jalur alternatif, jangan di zona nyaman aja, di kantor lama. Zona nyaman nggak akan bisa buat lo jadi berani berkembang dan ambil keputusan.” Ujar Mila. “Mungkin gue belum ada di posisi lo sekarang ini, Yo. Tapi dari pada lo bertahan di kantor yang udah goyang, mending lo cari kantor baru yang masih settle.Dan kalo itu kurang, mungkin lo bisa ambil job lain buat uang jaga-jaga, freelance mungkin? Bikin bisnis kecil-kecilan kayak franchise makanan apa gitu?” tawarku. “Gue setuju sih, zaman sekarang kita nggak bisa cuma andelin satu kerjaan aja meski pun itu hitungannya udah settle. Hidup nggak ada yang tahu, kan? Meski saham lo juga banyak, tapi saham kan liquid-nya butuh proses. Mending lo ambil franchise apa gitu, kan? Ayam goreng tepung mungkin, boba-bobaan, gitu. At least, lo ada uang tambahan. Kayaknya nggak mahal deh franchise begituan, lima belas juta udah bisa dijadiin modal. Tinggal cari yang lagi hype dan akan disukai banyak orang dengan harga yang nggak terlalu mahal. Tinggal hire orang aja buat jaga, atau orang yang lo percayain.” Mila mengunyah sesuatu di mulutnya, hingga suaranya tidak terlalu jelas terdengar. “Oke, sekarang jadi konsultasi bisnis.” Kata Tio, “tapi makasih, ya. Paling nggak gue ada gambaran dan masukan selain dari Dewi. Yang paling gue males dari resign dan pindah ke lingkungan baru itu, gue harus beradaptasi lagi, liat gimana lingkungan dan orang-orangnya bergaulnya gimana, dan segala keribetannya. Bukan my cup of tea.” Aku dan Mila mengangguk paham. Hal yang paling tidak menyenangkan ketika pindah ke kantor atau pun lingkungan baru adalah belajar mengenal bagaimana culture di tempat baru, berkenalan dengan orang baru dan beradaptasi dengan semua kebiasaan bahkan cara berbicara di tempat itu. Satu tahap ini, yang membuat banyak orang menarik diri dari sosok yang sebenarnya, pura-pura menjadi orang lain seperti basa-basi, lalu kemudian setelah tahu bagaimana tempat kerja itu bermain, baru kita bisa menjadi diri sendiri dan merasakan beberapa orang akan menjauh, dan beberapa mendekat tanpa kita sadari. Bahkan di kantor baruku ini, aku tidak terlalu dekat dengan Tres yang selalu terlihat sibuk dengan emosi yang seringnya meledak-ledak. Ya, memang di kantor akan ada orang-orang yang bisa dengan mudahnya dekat tapi ada juga yang secara otomatis menjaga jarak. “Gue paham. Gue juga gitu di sini. Awal-awal gue kayak bukan diri gue buat bisa masuk ke circle, tapi pelan-pelan gue bergaul sama yang emang satu vibes sama gue. Kita dulu, gitu kan? Semua butuh proses. Tapi being anxiety itu wajar kalau soal ini. Yo, lo bisa kok.” Kataku. “Gue udah lupa kapan terakhir kali gue nulis cv. Harus buat ulang gue rasa.” Ujar Tio yang melunak juga. “Eh, anak zaman sekarang cv-nya udah kreatif-kreatif banget nggak sih? Lo buat juga berarti yang kreatif jangan mau kalah. Yang out of the box berhubungan sama IT. Bikin apa gitu web menuju cv lo dan portofolio lo mungkin? Biar banyak yang tertarik dan mau hire elo nggak pake mikir lagi.” Tio tertawa, “Mila, gue itu anak IT bukan Web Designer grafis atau Web Developer. Beda, ya.” “Oh gue kira karena elo urus semua per-teknologian, itu sama aja.” Jawab Mila. “Gue kirain juga sama, maklumlah kita kan mana paham, ya, Mils.” Kataku. “Beda, IT itu macem-macem specialty-nya. Kalo di perusahaan teknologi kayak Google, itu divisi Web Developer, Web Designer, System Analyst, Software tester, Network Tester, banyak. Ya gue bisa sih buat website, tapi nanti kalo gue buat, kerjaan yang harusnya nggak gue kerjain jadi malah dioper ke gue karena gue bisa. Di kantor itu, lebih baik lo cuma tunjukin kemampuan elo di job desk aja, yang lain di luar itu nggak usah. Nanti malah elo dihibahin kerjaan yang bukan job desk elo entah dari atasan atau senior atau bahkan temen sendiri. Kayak elo dulu, elo kan broker, apa elo urus soal surat hutang juga? Nggak kan? Urus kerjaan anak Underwriter? Nggak kan? Nah gue juga gitu. Tiap orang punya porsinya masing-masing. Gue tau lo juga ngerti urusan Underwriter, tapi kalo lo ngerjain kerjaan mereka yang bukan ranah elo di kerjaan juga ogah, kan?” Tio menjelaskan dengan panjang sementara aku dan Mila diam menyimak apa yang dikatakan oleh Tio. “Arya tuh Underwriter.” Kataku pelan. “Eh, Arya kayaknya udah pindah kantor deh. Sekarang dia udah jadi bos, dan gue denger-denger dia sama beberapa orang gitu mau buat kantor konsultan gitu deh. Ini gue baru denger gosip-gosipnya aja, ya.” Mila tiba-tiba melemparkan berita gosip yang menarik perhatian aku dan Tio. “Tuh, Yo! kan lo temenan sama itu orang, satu tim futsal. Lo ngelamar aja ke kantor dia!” Kataku. “Trus digaji ala kadarnya kayak perusahaan start up dan kerjaannya banyak dan gak jelas? Makasih, mending gue stay di kantor lama.” Aku dan Mila pun tertawa.   ***   “Katanya Arya mau buat kantor konsultasi kamu tahu?” tanyaku pada Rendi yang sedang membaca buku di k****e miliknya. “Nggak, kantor konsultasi apa?” ia menoleh ke arahku. “Nggak tau, itu tadi Mila ngomong. Katanya sama beberapa orang mau buat kantor konsultan gitu, entah beberapa orangnya itu siapa.” “Nggak heran sih, Arya itu kan emang dikenal gila kerja. Tiba-tiba dia buka kantor konsultan sama kantor start up lain sekaligus juga kayaknya banyak yang nggak akan kaget. Tapi ya, pasti dia tambah sibuk banget kalo gitu. Kasian keluarganya kalo lama-lama, aku aja yang gak sampai satu bulan ngerasa bersalah sama kamu.” Rendi mengungkit persolan cekcok kami tempo hari yang baru saja reda karena dia yang berinisiatif untuk meminta maaf telebih dahulu. “Apa lagi udah ada anak. Mungkin dia jadi kayak Tio, anxiety sama keadaan di masa depan karena udah ada tanggungan anak. Tio lagi sensitif banget soalnya pas disuruh pindah ke kantor lain karena kantor sekarang kayaknya mau kolaps. Persoalan korupsi itu masih belum selesai penyelidikannya, dan kemungkinan akan tambah panjang dan melebar lagi ke mana-mana. Apa nanti kamu bakalan kayak mereka ya kalau kita udah punya anak?” “Aku sih ikut kamu aja. Kalau kamu nggak mau punya anak ya aku ikut, kan yang mengandung itu kamu nantinya. Meski biaya ngebesarin anak aku yang bertanggung jawab tapi kan yang di antara hidup dan mati itu kamu.” Rendi mengatakannya dengan lembut “Aku mau kok. Tapi, mungkin nggak sekarang.” “Hmm...” Rendi melanjutkan kegiatan bacanya dan aku pun menoleh ke arah k****e yang ia pegang. “Baca apa?” tanyaku sedikit penasaran. “Out and Down in Paris and London.” Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari k****e miliknya. “Orwell?” Rendi mengangguk sekilas. “Aku udah baca bukunya, bagus banget.” Rendi meletakkan tangannkanannya pada pinggangku dan kami duduk bersebelahan dengan aku yang lebih memilih menyalakan televisi dan melanjutkan menonton Lucifer season terbaru. “Kamu tuh suka cowok yang modelan gitu juga?” tanya Rendi yang kini sudah tidak lagi membaca k****e. Di letakkan k****e itu di meja sementara kini ia memelukku dari belakang. “Siapa?”  “Itu yang jadi pemeran utamanya, si Lucifer.” Aku tertawa kecil, “nggak. Terlalu flashy  dan PK.” Rendi mengernyit bingung, “PK itu apa?” “Penjahat Kelamin.” Tawanya pecah dan membuatku ikut tertawa juga. Series yang digilai banyak perempuan dihadapan kami ini akhirnya menjadi series komedi. Maaf, Tom Ellis. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN