TIGA PULUH DUA : Refresh The Tragedy

1809 Kata
Aku paham kalau menjadi dewasa itu sulit. Orang dewasa terlalu banyak menghabiskan waktu luang mereka untuk memikirkan banyak hal dan merasa kalau mereka memiliki banyak urusan dan msalah yang harus dilakukan. Dulu aku ingin cepat sekali menjadi dewasa. Menjadi dewasa berati mengenakan bisa menggunakan lipstik, memakai sepatu hak tinggi, dan dapatmelakukan banyak hal tanpa dibilang masih kecil, jadi tidak boleh. Tapi nyatanya, sekarang aku berharap bisa terperangkap di tubuh kecil dan kembali ke masa kanak-kanak tanpa perlu memikirkan banyak hal berat. Ah, aku mengela napas panjang dan merasa lelah padahal aku baru saja sampai ke kantor dan belum melakukan apa-apa. Hari ini aku datang lebih awal, paling awal dari pada Matt yang bisa datang pagi sekali. Rendi pun masih berada di apartemen ketika aku berangkat. Belakangan ini aku mudah sekali pusing, obat yang direkomendasikan oleh dokter Hanifah pun sudah ku beli dan ku konsumsi setiap hari sesuai dengan anjurannya. Mungkin ini efek samping dari obat yang aku minum, atau mungki saja pusing ini datang karena ada saja masalah yang uncul dan membuatku yang sudah sulit untuk bisa hidup dengan normal, tambah kesulitan lagi. Rasanya aku ingin menghabiskan waktu sendirian dengan menyupir mobil di malam hari. Hanya menyupir tanpa punya tujuan dengan membuka sedikit jendela dan memperilakan angin malam masuk dan membuat udara dingin menyapa wajah dan kepalaku seperti saat aku di jakarta dulu. Aku benar-benar rindu dengan Jakarta. Pergi dari satu tempat makan ke tempat makan lain bergerombolan dan mengobrolkan banyak hal, menyupir di malam hari dan membiarkan musik yang terputar menemani jalan pulang dengan jalanan yang meski sudah tengah malam masih terasa ramai. Bahkan lucunya, aku merindukan kemacetan yang seringnya ku bilang bisa membuat semua orang jadi tua di jalan.  Ku nyalakan komputer di hadapanku, dan aku memutar lagu Kahitna dari Sotify. Mumpung belum ada orang, aku memanfaatkan waku sendiri ini dengan mendengarkan musik tanpa melakukan apa-apa. Aku ingat kalau aku masih memiliki cokelat di kabinet meja. Aku pun mengambilnya dan menikmati cokelat itu sambil bersandar di kursi dan mencoba untuk tidak memikirkan apa pun. Aku ingin me time singkat ini benar-benar akan membuatku relaks setelah merasa lelah tanpa sebab.  Kemarin, setelah Louis sadar dari tidur dan hangover-nya karena terlalu banyak minum, ia pun meminta maaf pada Zoe berkali-kali. Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi, hanya memandang Louis dengan perasaan iba meski aku tahu dan paham sekali kalau semua orang tidak ingin dipandang seperti itu. Namun aku bisa apa? Perasaan itu muncul tanpa bisa aku bendung. Setelah meminta maaf seperti itu, Louis pergi dengan terhuyung. Pundaknya merosot karena sedih, dan kami bisa melihatnya hanya dari punggungnya yang menjauh pergi. Aku tahu perasaan itu, sedih, namun tidak mau diganggu, namun kesepian membuat hati semakin sakit. Tidak ingin dikasihani, namun haus akan perhatian. Semua perasaan campur aduk itu terasa melelahkan, bahkan mungkin untuk pria sekalipun. Jam sepuluh aku sudah kembali ke apartemen dan menceritakan semuanya pada Rendi. Dan di sela percakapan kami hanya bisa iba dengan apa yang dialami oleh Louis.  Aku membuka email di komputerku setelah kembali tak ingin memikirkan bagaimana heri kemarin aku lewati bukan dengan suka cita karena bisa menghabiskan banyak waktu dengan Rendi. Suasana jadi terasa mellow saat aku pulang kemarin. Ah, aku tidak ingin hari ini merasakan hal yang sama. Tapi mau tak mau aku memilikirkan bagaimana Zoe menanganinya sendiri. Apa lagi setelah ia merasakan hal yang sama seperti Louis. Ia baru saja bisa kembali beridiri di atas kedua kakinya dan sekarang ia harus menepuk punggung orang lain yang merasakan hal yang serupa dengannya.  “Wow, ada orang yang datang lebih awal dari padad diriku. Ada hal menyenangkan apa sampai kau datang lebih awal sambile mendengarkan musik begini?” Matt datang dan menyapaku yang sedang tidak begitu dokus di depan komputer.  “Bukannya kau yang kesiangan?” tanyaku pada Matt dengan setengah tertawa. “Aku datang seperti biasanya.” Jawab Matt yang kini menarik kursinya jadi mendekati mejaku. Aku tahu ia datang ke sini untuk mengajakku untuk mengobrol. “Apa yang ingin kau obrolkan sampai repot-repot menarik kursimu ke sini?” tanyaku pada Matt yang tersenyum lebar karena niatnya ku ketahui. “Ada apa kemarin? Zoe meracau tidak jelas di telepon dan terdengar mabuk.” Tanya Matt. “Ia meneleponmu?” kini aku yang jadi penasaran. “Iya, dia meneleponku kemarin, tapi aku tidak mengerti apa yang ia katakan karena ia sedang mabuk dan suaranya tidak jelas sama sekali. Ku yakin ia pasti akan mengabarimu karena ia dekat sekali denganmu.” Ujarnya. “Dan kau pikir aku akan menceritakan semuanya padamu, begitu?” “Tentu saja! Kita kan teman dan rekan kerja.” Matt tersenyum lebar seakan dengan begitu aku bisa menceritakan semua yang terjadi kemarin kepadanya. “Aku tidak tahu apakah aku orang yang tepat untuk mengabarkan hal ini namun ku rasa nanti juga semuanya akan tahu dari Zoe. Karena ini menyangkut pekerjaan kita dan ini bukanlah satu berita yang baik.”  “Aku mengendus sesuatu hal yang agak merepotkan.” Matt sedikit menggeser kursinya kebelakang. “Zoe meneleponku kemarin pagi-pagi buta dan menyuruhku untuk bertemu. Dan saat aku datang ke tempat yang disuruh oleh Zoe, tebak siapa yang ku temukan di sana?” tanyaku pada Matt agar ia tambah penasaran lagi. “Siapa? Tidak perlu main tebak-tebakan segala, itu membuatku jadi tambah penasaran.” Katanya seperti dugaanku. Aku memenghela napas berat, “Louis. Ia dalam keadaan mabuk dan wasted.” “Maksudmu?” “Tidak akan ada resepsi pernikahan antara Louis dan Tiffany. Semuanya selesai, dan kita kehilangan satu momen besar dan satu klien.” Aku mengatakannya dengan enggan, sama sepeti ketika aku melihat Louis kemarin. “Kenapa feeling kita jadi kejadian seperti ini? Meski aku selalu berharap kalau perasaan aneh tentang Louis dan Tiffany segera hilang, tapi ternyata sekarang semuanya jadi kenyataan. Bagaimana mereka berpisah?” “Aku juga selalu berusaha menyingkirkan pikiran negatif itu dari diriku. Maksudku, aku tidak ingin kalau mereka benar-benar gagal meski pun hubungan keduanya aneh dan kelakuan Tiffany sangat aneh yang tidak mau ikut serta dengan semua kesibukan pernikahan ini.” Aku berhenti sejanak untuk menarik napas panjang, “Tiffany kembali ke negara asalnya dan menikah dengan pria lain di sana.” “Wow!” Matt menggeser kursinya kebelakang lebih jauh dan berdiri dengan memegangkepalanya dengan kedua tangan, terlihat tidak percaya dnegan apa yang aku katakan. Memang semua ini terdnegar sangat tidak masuk akal. Bahkan untukku yang sudah sering mendapati orang yang ku kenal kehilangan pasangannya dengan berbagai macam cara dan beragam waktu. Mulai dari yang selingkuh ketika masih pacaran, sudah bertunangan, sampai sudah menikah. “Sulit dipercaya, kan?”  Matt mengangguk-angguk dan berjalan mondar-mandir. “Ini sudah pasti akan jadi berita besar. Louis itu adalah co-founder satu perusahaan start up yang dikenal banyak pebisnis! Berita tentang gagalnya pernikahan mereka yang hanya tinggal meninggu hari saja akan jadi berita besar bahkan menghebohkan dan juga viral! Ini sungguh gila, apa lagi kalau kasusnya seperti ini! Ditinggal menikah padahal mereka sudah mempersiapkan pernikahannya di sini, di Australia dengan kita sebagai Wedding Organizer-nya! Oh, Man. Aku jadi kasihan padanya juga pada Zoe, lalu bagaimana dengan semua persiapan yang sudah kita lakukan? Seumur-umur aku bekerja di sini aku belum pernah menemukan kasus seperti ini yang mana pengantin tidak jadi menikah di saat harinya sudah dekat.” Matt mengatakan semua kalimat itu dengan sangat lancar dan cepat karena sudah terlalu kaget dengan berita Louis dan Tiffany. “Aku bahkan sudah lupa kalau ia memiliki nama besar di belakangya. Semoga saja berita tentang ia gagal menikah  tidak sampai tergali alasannya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana orang-orang akan melihatnya setelah semua kejadian ini terjadi.” Kataku. “Media bisa sangat menggangu dan kejam ketika mereka mendengar kabar panas yang sekiranya bisa menaikan traffic mereka dengan mendatangkan banyak pembaca. Dengan mengangkat berita-berita penuh skandal seperti itu, engagement mereka akan naik dan itu akan sangat menguntungkan bagi mereka. Wedding Organizer mungkin akan tersangkut namanya, semoga saja Zoe tidak apa-apa. Ah, baru saja dia mau bekerja dengan baik, namun kenapa harus ada berita tidak menyenangkan seperti ini.” “Padahal dia hanyalah pebisnis, sama seperti Zoe. Bukan public figure.”  Kami pun terdiam sejenak. Tiba-tiba saja suasana mellow seperti kemarin terasa sangat kental dan ini baru saja Matt yang tahu. Apa lagi kalau semua orang di kantor sudah datang nanti dan Zoe mengabarkan berita tidak menyenangkan ini ke semua orang. “Tapi setidaknya, ia beruntung karena telah diperlihatkan bagaimana sosok Tiffany sekarang ini daripada ketika mereka sudah menikah nanti. Bukankan perceraian lebih menyedihkan daripada berpisah sebelum menikah?” tanyaku pada Matt yang kini sudah kembali duduk di kursinya sendiri. “Terlalu banyak melihat kasus seperti ini terkadang membuatku takut untuk menikah.” Matt merentangkan kedua tangannya kedepan dan menatapku sambil tersenyum. “Dulu, bagaimana kau memutuskan untuk menikah?” tanyanya kepadaku. Aku tersenyum, “cerita cintaku tak semulus yang mungkin dipikirkan banyak orang. Aku tidak bertemu dengan suamiku di saat yang indah, tidak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama. Jangankan cinta, tertarik pun tidak. Dulu aku juga takut menikah, terlalu banyak orang-orang yang memiliki hubungan yang gagal di sekitarku. Orang yang paling dekat, dan membuatku harus kerap kali meminum obat anti depresan.” “Lalu? Bagaimana akhirnya keputusanmu untuk menikah itu datang kalau begitu?” “Karena dia suamiku, karena dia Rendi. Kalau bukan dengannya, mungkin sampai sekarang pun aku belum menikah dan aku tidak akan pindah ke sini sampai bisa mengenalmu dan bekerja di sini.” Matt tertawa kecil. “Hanya sesimpel itu, tapi rasanya sangat sulit. Bagaimana kita bisa bertemu dengan orang yang bisa membuat dunia kita jungkir balik dan membuat keraguan yang timbul bisa menjadi satu keyakinan yang kuat. Ah, aku tidak sanggup dengan hubungan semacam itu. Aku ini orang yang bebas.”  “Ya, hari ini kau mengatakan itu padaku tapi kita lihat saja, di lain waktu, kau akan merasakan apa yang aku rasakan. Kau akan merasa kalau duniamu jadi jungkir balik hanya karena satu orang, pikiranmu akan tidak keruan, dan perasaanmu akan seperti anak ABG yang baru pertama kali jatuh cinta. Kita lihat kedepannya bagaimana kau akan mengalami ini semua dan mengatakan semuanya padaku. Saat itu mungkin aku akan menertawakanmu, Matt. Bersiap-siap sajalah.” Kami tertawa lepas karena pembicaraan ini. Baru saja berita buruk hadir, tapi kami bisa mendiskusikan tentang perasaan lain yang jauh berbeda seratus delapan puluh derajat dengan apa yang terjadi pada Louis. Setidaknya, sekarang ini suasana jadi tidak se-mellow tadi. Terlalu lama bersedih malah akan membuatku jadi depresi dan gelisah tidak jelas. “Kau benar. Louis beruntung diperlihatkan bagaimana Tiffany itu. Meski terntunya dia kehilangan banyak uang karena batalnya acara resepsi ini. Ah, aku jadi tidak bisa memotret pemandangan indah yang sudah aku bayangkan nanti. Sore hari saat matahari berwarna merah muda, mereka berdiri di aisle dengan background indah yang cocok sekali dipajang di kanvas besar. Kemudian malamnya, saat semua lampu-lampu kecil menyala, semua undangan akan bersuka cita menari dan tertawa bahagia.” “Ya kau benar. Sungguh sangat disayangkan sekali.” Hatiku kembali nyeri. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN