LIMA PULUH SATU : Silent Treatment

1303 Kata
“Happy birthday, J!”  Aku dan Anne pun masuk dengan niatan untuk mengagetkan oleh J. J yang membukakan pintu untuk kami kelihatan tidak terlalu kaget namun hanya mengeryitkan kening seakan memandang kami aneh. “Trims?” Katanya dengan setengah hati. Aku dan Anne pun masuk dengan menerobos lengan J yang masih menghalangi pintu. Si pemilik bar ini hanya diam memandang kami dan sudah tidak peduli lagi dengan kelakuan kami meski ini baru kali kedua aku berkunjung ke sini. Aku dan Anne pun menaruh semua barang belanjaan kami ke atas meja, begitu pula dengan kotak berisi kue yang kini di keluarkan oleh Anne dan ia langsung memasang lilin di atasnya. Kami menyanyikan lagu happy birthday tanpa terputus. Bisa ku lihat gurat senyum sedikit muncul di bibir J. Anne pun menyodorkan sepotong kue yang tadi ia beli menurut rekomendasi dari Joce pada J. “Tiup lilinya, make a wish!” Kata Anne bersemangat. “Ann...” Ujar J pelan seakan menyuruhnya untuk tak perlu melakukan hal yang aneh-aneh. “Satu tahun sekali.” Bantah Anne. J pun menurut dan meniup satu lilin yang langsung padam. Aku bertepuk tangan dan Anne pun memberikan kue itu pada J. Ia pun menerimanya dan langsung pergi ke dapur. Setelah keluar bisa ku lihat ia membawa beberapa piring dan garpu kecil untuk alat kami menikmati kue-kue yang ada. “Kalian habis berbelanja untuk keperluan resepsi?” Tanya J yang mulai sadar dengan barang bawaan kami.  “Itu hadiah untukmu.” Jawab Anne yang tak mengacuhkan J dan asik menikmati makanannya sendiri.  “Apa kalian sudah gila?” tanya J padaku dan Anne. “Coba saja kau buka.” Kataku. J pun membuka semua kantung yang ada di datas meja bar dan tertawa. Ini kali pertama aku mendengar dan melihat J tertawa karena sebelumnya ia tidak pernah sama sekali melihat ekspresi yang berbeda dari J. Pertama kali aku melihatnya ia selalu terlihat malas dan tanpa ekspresi, namun akhirnya aku bisa melihatnya tertawa. Melihat J tertawa, Anne pun juga terlihat tertawa senang dan terlihat tulis. Mungkin tanpa sadar Anne menyukai J. Meski ia sendiri menyangkal akan perasaannya itu, namun semua tindak tanduknya tidak dapat ditutupi kalau ia peduli pada pria yang statusnya kini adalah mantan pacar dari sahabatnya sendiri yang sudah meninggal. Bagi sebagian orang, hanya menjadi pemeran pembantu di kehidupan seseorang yang ia kasihi sudah bisa dibilang satu hal yang membahagiakan meski statusnya hanya sebatas itu saja. Tidak pernah menjadi pemeran utama bagi kehidupan orang yang dikasihi tidak masalah asal ia bisa berada di samping orang itu setiap saat. Kasihan, namun mungkin membuat batasan seperti itu ada baiknya juga. Tiap orang memiliki preferensinya sendiri-sendiri, dan mungkin dengan hanya tetap seperti ini membuat Anne sudah cukup bahagia.Ya, meski aku tahu kalau J juga tahu kalau Anne menyukainya, namun semuanya masih dalam konteks yang wajar dan masih bisa dikendalikan untuk sekarang. Anne pun terlihat senang dengan mengelurkan semua barang. Mulai dari tisu, dua lusin gelas kaca, pitcher, sabun cuci piring, dan berbagai barang-barang rumah tangga lain yang pasti akan selalu dibutuhkan oleh siapa pun, apa lagi bagi pemilik bar seperti J. Makanya tadi ia tertawa karena tidak menyangka barang yang kami berikan adalah keperluan rumah tangga yang sangat bermanfaat, bukan hadiah berupa jam tangan, parfum atau semacamnya. “Terima kasih, ini bisa ku pakai untuk beberapa bulan kedepan. Aku akan menraktir kalian minuman dan makan malam yang enak.” Kata J. “Terima kasih, aku sudah lapar.” Kataku. “Aku juga.” Timpal Anne. J pun menghabiskan kuenya dan pergi ke dapur untuk memasakkan makanan yang sudah tercium harum sampai ke sini. “Terima kasih atas idemu. Ternyata ia menerima semua barang yang kita belikan untuknya di Target. Murah namun berguna dan ia terlihat senang sekali menerimanya sampai tertawa. Padahal, aku saja jarang melihatnya tertawa.” “Sama-sama.” Balasku tulus.   ***   Aku pulang dengan terhuyung. Dari awal memang aku sudha ingin pulang dengan keadaan mabuk supaya aku tidak perlu bertemu dengan Rendi dengan keadaan sadar dan ber-logika. Aku tidak mau kalau nantinya terjadi percakapan yang akan membahas keadaan kami sekarang ini yang semua masalahnya sebenarnya ada pada Rendi dan rasa percayanya itu pada Gillian. Bahkan melebihi rasa percayanya padaku.  Aku bersandar pada dinding lift ketika menunggu benda kecil persegi itu berdenting menuju lantai yag aku tuju. Rasanya mual dan pusing sudah bercampur dengan jelas dan aku tahu kalau sebentar lagi aku pasti akan muntah dan setelah itu mulut menjadi asam karena efek muntah itu sendiri dan akhirnya akan kelelahan dan tertidur dengan pulas meski paginya kepala akan berdenyut sakit bukan main. Akhirnya denting itu ku dengar, pintu lift terbuka dan mempilkan lorong sepi yang selalu aku lewati setiap harinya. Kenapa Rendi memilih apartemen dengan kondisi eksklusif seperti ini namun minim interaksi dengan tetangga di sekitar flat kami? Bukan minim interaksi, namun aku bahkan tidak pernah sekali pun berbincang dengan tetangg kanan-kiri yang hanya sesekali ku lihat wajahnya seperti apa itu pun tidak lama. Kami seperti ada di tempat yang asing dan terpencil.  Aku akhirnya keluar dari lift dan berjalan dengan meraba dinding yang rasanya sedang bergerak. Nyatanya, bukan dindinnya yang bergerak, namun aku yang berjalan tidak lurus yang menyebabkan semua halusinasi itu muncul. Pada akhirnya aku menemukan pintu apartemenku sendiri. Aku mengambil kartu yang tadi ku masukan ke kantung celana kulotku dan ku tempelkan pada mesin kecil yang akan berbunyi ketika pintu tak lagi terkunci. Aku yakin kalau Rendi berada di pantry atau pun di ruang tamu ia akan mendengar kalau pintu terbuka karena memang suaranya yang dibuat agak kencang untuk memberitahu si orang rumah kalau baru saja pintu terbuka. Hanya sebagai satu hal untuk pengamanan saja sebenarnya.  Dan benar seperti tebakanku, ketika pintu aku buka aku sudah bisa melihat Rendi ada di hadapanku dengan pandangan khawatirnya tiu yang tidak membuatku senang sama sekali.  “Kamu ke mana aja mabok begini? Nggak kabarin aku, bales pesan aku juga nggak.” Protesnya yang mengekoriku masuk. “Kamu kenapa sih? Nggak biasanya kamu begini, aku nggak suka ya kamu nggak kasih kabar. Aku khawatir sama kamu, Hon.” Aku hanya diam dan masuk ke kamar mandi sambil terhuyung. Ku nyalakan keran di wastafel dan membasuh mukaku serta memegang wastafel dengan kedua tangan agar aku tidak ambruk. Rendi masih sibuk mengoceh entah apa, kepalaku sudah seperti mau meledak rasanya, dan seperti yang sudah ku duga. Dengan satu hentakan, semua isi perutku keluar di wastafel dengan air yang masih menyala membuang semuanya ke saluran air. Rendi pun akhirnya mengelus punggungku dan aku perlahan jatuh ke lantai. Aku benar-benar kacau, dan sangat mengantuk. Perlahan aku bangun dengan dipapah oleh Rendi. Aku pun duduk di kasur dan Rendi mengeluarkan baju tidur dari lemari dan memberikannya padaku.  “Ganti baju dulu sebelum kamu tidur biar tidurnya enak.” Katanya yang tak lagi mengoceh karena tahu aku tidak akan mengatakan apa-apa. Aku pun mengambil baju itu dari Rendi dan menanggalkan baju kerjaku. Aku lelah, sangat lelah. Meski akhirnya aku dapat berganti pakaian dan merangkak menuju tempat di mana aku tidur. Rendi hanya memerhatikanku dalam diam. Aku tidak mau membahas apa-apa hari ini karena pikiranku masih kalut. Aku luluh dengan apa yang Rendi lakukan padaku tadi, ia benar-benar memerhatikanku meski aku sedang kurang ajar padanya. Tapi aku masih kesal karena ia belum meminta maaf atas kejadian kemarin, tentang bagaimana ia membela teman barunya itu dan menaikkan suaranya saat itu. Ini sisi lain dari Rendi yang sangat asing bagiku. Air mataku terjatuh, namun setelahnya aku tertidur lelap. Semuanya sesuai dengan apa yang aku inginkan, pulang mabuk, dan akhirnya tak perlu berbicara dengan Rendi. Tinggal bagaimana besok aku dapat mengindarinya dan membuatnya sadar kalau apa yang ia lakukan itu salah dan sudah sangat penyakiti perasaanku. Tak lama setelah aku terlelap, Rendi pun naik ke kasur. Ada jarak di antara kami, biasanya ia akan memelukku meski aku tidak terlalu suka. Namun kali ini ia hanya memandangi punggungku tanpa melakukan apa-apa. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN