TIGA PULUH EMPAT : Recital And Memories

1761 Kata
Dulu, aku pernah belajar main piano sebentar. Itu aku lakukan karena satu komik yang aku baca kemudian ku tonton anime dan dramanya. Nodame Cantabile yang membuatku jadi tergila-gila pada musik klasik dan belajar piano meski saat itu aku sudah SMA. Jari-jari sudah kaku, tapi aku bangga bisa memainkan twinkle-twinkle little star dan Canon in D Major milik Pachelbel. Dan setelah lulus SMA aku sibuk dengan kegiatan kuliah, kemudian akhirnya aku berhenti bermain piano. Dan sekarang, melihat acara recital piano Hana membuatku kembali teringat masa-masa itu.  Aku dan Rendi menonton secara live streaming. Hana memainkan Claire de Lune milik Debussy, aku pun beberapa kali sampai menahan napas karena keindahan tiap nada yang dimainkan dengan sangat telaten dan sabar. Tidak mudah memainkan lagu-lagu indah nan cantik seperti ini, dibutuhkan kesabaran dan sense yang baik karena semua rasa itu akan muncul karena timing yang harusnya pas.  Ada banyak hal penting yang harus dimiliki oleh seorang pianist selain harus handal bermain di tuts piano. Sensitifitas adalah hal yang sangat penting, begitu pula dengan pendengaran dan insting yang tajam. Namun begitu, Ludwig Beethoven si pianist legendaris yang sudah membuat banyak maha karya menakjubkan bagi dunia musik klasik, adalah seorang pianist yang kehilangan pendengarannya yang kehilangan pendengarannya di usia pertengahan dua puluhan ketika ia sudah memulai karirnya sebagai musisi dan komposer. Tidak ada yang tahu kenapa pendengaran seorang Beethoven hilang, terlalu banyak teori dan dugaan yang bermain. Oleh karena itu, seorang pianist harus memiliki sensitifitas yang tinggi meski pendengarannya baik dan normal. Rendi merangkulku ketika recital Hana selesai. Tepuk tangan memenuhi ruangan dan menggema, penampilan yang sangat baik dan indah membuat rangkulan Rendi dan genggaman tanganku dengannya tambah erat. Ini Hana, gadis yang dulu sering sekali mengikuti kemana pun Gion pergi, yang manja pada om-nya yang sedang merangkulku penuh haru ini, dan yang sering sekali curhat denganku sambil makan enak. Hana mengenakan gaun berwarna merah tanpa lengan yang cantik. Kontras sekali dengan kulitnya yang eksotis dan terlihat sehat. Ia terlihat berbeda dari terakhir aku bertemu dengannya, tampak lebih dewasa dan mandiri. Hilang sudah si manja Hana yang kalau berbicara sukanya ceplas-ceplos dan tidak terlalu memikirkan perasaan lawan bicaranya. “She’s so good.” Kataku tulus pada Rendi meski pandangan mataku masih menatap layar komputer milik Rendi.  “Iya, she does.” Rendi menangguk dan mencium sisi kepalaku, setuju akan apa yang aku katakan. “Semoga nanti kita bisa nonton recital Piano dia secara langsung, ya. Nggak pake live streaming kayak gini. Pasti nonton langsung feel-nya jauh berbeda daripada cuma nonton di layar begini. The ambiance of the hall, riuh tepuk tangannya, gema suara pianonya. Wah, pasti keren banget, sih. Aku udah lupa kapan terakhir aku nonton recital begitu atau konser, kayaknya udah lama banget, deh. Kangen ngerasain feeling yang menggebu-gebu gini.” “Emang terakhir kamu kapan nonton konser?” Tanya Rendi menatapku yang masih terkesima dengan penampilan Hana. “John Mayer tahun 2019, itu aku nonton booking tiket kayak orang gila. John Mayer!” ujarku sedikit menjerit karena teringat bagaimana serunya konser musisi tercintaku yang satu itu. “Kamu nonton sama anak-anak?” tanyanya lagi. “Nggak, sama Arya aku nontonnya. Oh, aku jadi inget, sebulan sebelum putus itu.” Jawabku lagi. “Ku kira sama Candra, Mila, Tio.”  “Mereka nonton juga kok, tapi kami beda tiket. Aku beli yang premium festival biar bisa ngerasain eurforia-nya, dan mereka yang duduk dan ujung paling belakang. Beda level.” Jelasku. Aku ingat sekali bagaimana dulu aku sampai melompat dan bernyanyi mengikuti lagu yang dibawakan oleh penyanyi favoritku itu, saat itu Arya menemaniku yang sudah seperti orang gila yang kegirangan. Entah bagaimana aku bisa melewatkan malam itu dengan adrenalin rush yang sangat tinggi. Karena setelah selesai konser, aku langsung tumbang nyaris pingsan dengan keringat dingin yang mengucur karena kelelahan dan terlalu banyak energi yang aku keluarkan saat menonton konser. Meski begitu aku senang, penyanyi yang dulu ku kejar konsernya sampai ke Jepang, akhirnya datang juga ke Jakarta setelah sekian lama ditunggu-tunggu. Ah, aku masih ingat bagaimana senangnya aku waktu itu. Mulai dari berebut membeli tiket konser di website, sampai heboh dengan jantung yang berdebar tidak keruan karena adrenalin rush ingin bertemu dan menyaksikan penampilan orang yang biasanya lagu-lagunya ku putar di mobil untuk menemaniku pulang-pergi kantor. “Oh...” jawab Rendi yang tak lagi terdengar antusias. “Kenapa? Kamu cemburu? Ya ampun, Ren. Itu udah kapan tau, udah lama kejadiannya.” kataku sambil mengelus-elus wajah Rendi yang sedikit kasar karena bulu-bulu halus di wajahnya. “Ya udah, kalau gitu nanti kapan-kapan kamu aku ajak buat nonton konser juga. Deket-deket ini ada nggak ya konser yang mau diadain?” Aku tergelak, “ih! Nonton konser itu jangan asal nonton yang ada, harus yang bener-bener pengen ditonton biar berkesan. Nanti kalo ada konser yang mau aku datengin aku kabarin kamu, harusnya sih di sini banyak ya konser gitu atau festival entah apa.” “Ya, udah. Nanti kalo ada yang mau kamu tonton kasih tau aku biar kita bisa nonton berdua. Kita belum pernah kan nonton konser berdua?” “Iya! Nanti aku kasih tau kamu, tapi kalo kamu sibuk sih ya lain cerita.” “Nggak, nanti aku sempetin buat nonton bareng kamu. Apa kita mau nonton malem ini di bioskop?” Aku menepuk lengan Rendi, “nggak, ah. Aku capek mau tiduran aja sambil nonton TV. Nggak ada film yang mau ku tonton juga, mending ngecek Netflix. Banyak yang jadi waiting list buat ditonton tapi belum kesampaian juga. Ngomong-ngomong ini recital-nya Hana udahan? Ini kayaknya yang tampil udah temen-temen dia yang lain deh. Kamu telepon coba anaknya.” “Tunggu ini selesai dulu, nanti kita telepon. Lumayan hiburan gratis, manfaatin dulu.” Aku tertawa, “ih, kok kamu tumben banget pake asas manfaat segala. Biasanya yang begitu aku, yang perhitungan, yang pelit, itu biasanya bukan kamu, lagi.” Rendi memelukku erat dan menciumiku berkali-kali seperti anak anjing, “kan ketularan kamu jadinya aku begini. Apa-apa jadi ngirit, dihitung, kalo nggak penting mending nggak usah beli apa-apa. Pokoknya harus cermat, biar kaya, biar bis abeli tanah buat nanam sayuran trus beli apartemen di Jakarta lagi. Dua kalo perlu.” “Hahaha... itu sih ambisius namanya, tapi amin. Semoga semuanya bisa terwujud dan kita tetap sehat-sehat aja, nggak usah dipaksain kalau memang nggak sanggup. Pelan-pelan aja, kita bukan Bambang Hartono yang punya BCA.”  Rendi pun tertawa juga.  Aku tahu Rendi masih mengumpulkan uang gajinya untuk membeli tanah di Lembang. Ia juga selalu memberikan uang jajan per bulan untuk Hana dan Ibunya. Semuanya bukan karena mereka butuh, tapi karena itu satu hal yang membuatnya senang karena merasa memiliki tanggung jawab sebagai anak laki-laki satu-satunya yang mana adalah pengganti seorang Ayah dan juga seorang Om yang harus bisa diandalkan oleh keponakannya sendiri. Terkadang, perhatian bukan hanya sekadar karena materi, namun memang karena peduli. Ibu Rendi tidak membutuhkan uang dari anaknya, gaji bulanan serta uang dari hasil usaha bahkan mungkin lebih besar daripada yang Rendi hasilkan. Namun Rendi tetap mengirimkannya untuk Ibunya, terkadang bukan uang, namun pakaian atau tas atau apa pun yang menurutnya cocok dan bisa digunakan oleh Ibunya dengan baik. Tapi kalau sedang tidak memiliki waktu, ia hanya akan mengirimkan uang dengan dalih untuk makan-makan bersama keluargaku. Ia juga sering mengirimkan uang untuk Gion meski Gion tidak meminta. Ia tidakberani lagi memberikan Mama dan Ayah barang-barang mewah, karena Mama pernah protes. Sekarang, ia hanya akan mengirimkan makanan saja ke rumah lewat pesan antar. Aku pun begitu, aku selalu memberikan uang belanja untuk Mama dan mengirimkan pajangan atau barang-barang dekorasi ke rumah. Sedangkan untuk keluarga Rendi setiap bulan aku selalu mengirimkan berbagai minyak aroma terapi untuk diffuser yang ada di rumah. Terkadang bahkan teh herbal dan ginseng yang ku beli online setelah aku mendapatkan pekerjaan. Hidup setelah berkeluarga memang membuatku harus lebih peduli pada banyak orang, namun mungkin di sana menariknya. Semakin besar keluarga, semakin banyak pula yang harus diperhatikan. “Aku dulu main piano loh gara-gara baca komik. Pas SMA.” Kataku tiba-tiba. “Belajar main piano pas SMA bukannya tangannya udah kaku dan susah belajarnya?”  “Susah bukan berarti nggak mungkin, kan? Aku bisa main twinkle twinkle little star sama Canon in D major-nya Pachelbel.” “Apa kita beli grand piano aja buat kamu bisa main lagi?” Aku membelalakkan mata, “nggak! Mahal. Lagi juga aku udah nggak main piano lagi, terakhir waktu nikahan almarhum kakakku dulu. Udah cukup aku main piano itu aja. Tapi aku bangga bisa main piano di depan banyak orang dan di penikahan kakakku. Satu pencapaian besar yang nggak ku sangka aku berani ambil.” “Kapan-kapan, mau dong aku dimainin piano sama kamu. Kakakku pengen banget anaknya bisa main piano karena kami sekeluarga pernah di ajak Mama nonton Frankfurt Radio Symphony  Orchestra dulu, aku inget banget kakakku sampai berkaca-kaca trus nangis pas acara selesai. Aku sama sekali nggak ada darah seni, nggak bisa main alat musik.” “Kamu nih ya, udah minta diajak nonton konser, minta dimainin piano. Banyak banget maunya. Kamu nggak bisa main alat musik tapi kan bisa main basket sama futsal, mungkin kamu emang jago di bidang olahraga, tiap orang punya porsinya masing-masing. Nggak adil dong kalau kamu bisa semuanya.” Rendi tersenyum, “ya udah, kamu kan darah seninya kental nih. Aku nggak bisaa, sedangkan kamu olahraga lari sama yoga aja, aku bisa lumayan banyak. Saling melengkapi jadinya. Bagus, kan?” “Iya, kalau aku pengen banget nonton Joe Hisaishi jadi konduktor. Semoga suatu saat nanti kesampaian. Ini kita kapan telepon Hana kalau ngobrol terus? Acaranya kayaknya udah mau selesai, deh. Kok Hana belum kirim pesan ke aku atau kamu, ya? Apa nanti dia main lagi?” aku menatap layar komputer yang kini menampilkan anak laki-laki yang di temani seorang anak perempuan. Mereka memainkan The Four Seasons Winter milik A. Vivaldi. Anak laki-laki itu memainkan biola, sedangkan yang perempuan itu memainkan piano. “Hana! Itu Hana sama temennya!” kataku bersemangat pada Rendi sambil menepuk-nepuk lengan Rendi berulang kali.  “Kamu semangat banget, sih? Tanganku lama-lama bengkak kamu pukulin terus.” Aku pun mengelus-ngelus lengannya sambil tertawa, “sori, sori. Itu Hana loh! Pantesan dia nggak ngabarin kita apa-apa, soalnya emang belum selesai! Wah keren banget, Ren, keponakan kamu!” Rendi pun tertawa dan kami menikmati permainan lain dari Hana dengan seksama. Rasanya aku ingin sekali menontonnya secara langsung. Meski pun ini hanyalah recital biasa yang tidak dihadiri banyak orang, namun hanya undangan saja, tapi semua yang tampil sudah layaknya pemain profesional.  “Sementara, nonton recital Hana aja ya, konser sama yang lainnya bisa nunggu.” kataku pada Rendi. Rendi pun mengangguk setuju sambil menyenderkan kepalanya ke bahuku. -Continue- 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN