Chapter Six

1233 Kata
Gagal mengajak Dimitri untuk berbelanja, Khatrine akhirnya memilih untuk pergi sendiri. Sambil mengendarai mobilnya dengan tenang, Khatrine sesekali mengetuk-ngetuk setir mobil, mengikuti alunan lagu yang tengah ia putar sebelum membelokkan setir dan berhenti di depan butik langganannya. Khatrine membuka dashboard mobilnya, mengambil kacamata hitam dari sana dan memakainya. Setelah memastikan keadaan tidak terlalu ramai, baru ia keluar dari dalam mobil. Namun saat tinggal beberapa langkah lagi ia memasuki butik, Khatrine dikejutkan dengan empat orang perempuan yang menatapnya dan berlarian ke arahnya. Astaga! Padahal ia sudah berusaha agar tidak terlalu mencolok, tapi kenapa masih ada orang yang mengenalinya. "Miss Glynne, aku penggemar beratmu. Boleh aku berfoto bersamamu?" Pinta salah satu wanita itu. Ia berdiri di depan Khatrine, menatapnya dengan pandangan memelas. Jika sudah begini, Khatrine tidak biaa menolaknya. Ia lantas tersenyum tipis lalu mengangguk. "Tentu saja boleh," Empat perempuan yang Khatrine tebak berumur sekitar 20 tahun itu bersorak kegirangan. Tiga orang mengambil tempat di kedua sisi Khatrine, sementara satu lagi bertugas untuk memotret. Khatrine melebarkan senyumannya sambil merangkul para penggemarnya. Mungkin ada sekitar 8 foto yang mereka ambil. Mereka berempat mengucapkan terima kasih dan kemudian pergi dengan langkah riang. Khatrine pun bernafas lega, lalu berbalik memasuki butik. Ia mengedarkan pandangannya mencari pemilik butik yang ternyata sedang berada di sudut ruangan, Khatrine lantas bergegas menggampirinya dan menepuk pelan bahu pemilik butik itu. "Amanda!" Wanita yang dipanggil Amanda itu tersentak kaget sebelum berbalik, memandang kesal pada Khatrine. "Berhenti mengejutkanku, Miss Glynne! Kau bisa membuatku mati muda," Khatrine tertawa pelan, lalu memilih duduk di salah satu kursi di sana, sambil menghadap Amanda. "Sorry. Sudah menjadi kebiasaan." Amanda memutar matanya, sementara kedua tangannya bersedekap. Ia kemudian berjalan pelan mendekati Khatrine. "Jadi ada keperluan apa kau kesini, Miss Glynne?" "Seperti biasa." Amanda mengangguk mengerti. Ia berjalan ke arah etalase miliknya, lalu mengambil sebuah gaun berwarna merah dari sana, kemudian memperlihatkan gaun itu pada Khatrine. "Aku sudah membuat gaun ini sejak dua minggu yang lalu. Dan aku ragu untuk memajangnya di depan, karena menurutku hanya kau yang cocok memakainya." Khatrine terkekeh pelan sambil menyentuh ujung gaun yang indah itu. "Oke, aku pilih yang ini saja." "Kau tidak ingin mencobanya dulu?" Khatrine menggeleng. "Tidak usah. Aku percaya padamu." Amanda tersenyum tipis. Ia pun mengambil kotak gaun yang, melipat pesanan Khatrine itu serapi mungkin dan memasukannya dalam kotak tadi. Tak lupa pula ia menutup kotaknya dengan sehelai pita yang cantik. "Kau akan memakai gaun ini untuk acara lusa?" "Iya." "Kau akan datang bersama siapa?" Amanda menaikan satu alisnya. "Raveno?" "Tidak mungkin!" Ucap Khatrine pelan. "Raveno tidak akan mau menemaniku." Amanda menghela nafas panjang. Ia menatap Khatrine prihatin, lalu ikut duduk disamping wanita itu. "Sampai kapan kau akan terus seperti ini?" "Apa maksudmu?" Khatrine mulai tak suka jika ada orang yang mencampuri urusannya. "Jangan salah paham dulu, Khat. Aku tidak bermaksud untuk menyudutkanmu. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu," Ia mengusap bahu Khatrine pelan. "Apa kau tidak mau menuju ke jenjang yang lebih serius? Tidak mungkin selamanya kalian akan terus seperti ini," "Entahlah," Khatrine menyandarkan tubuhnya sambil memijat dahinya. "Aku...hanya tidak mau memaksanya. Aku tidak ingin kami bertengkar karena masalah ini," "Kau berhak bahagia, Khat. Kau bisa bahagia, meski bukan bersama Raveno." Khatrine menoleh cepat. "Tidak! Aku...ingin tetap bersama Raveno!" "Terserahlah! Aku hanya ingin kau sadar, Khat. Raveno tidak akan pernah memilihmu. Dan dia pasti akan kembali pada Istrinya." Ucap Amanda yang membuat Khatrine terdiam. *** Sejak di jalan pulang menuju apartemen, Khatrine masih tidak bisa tenang. Otaknya terus memikirkan kata-kata yang diucapkan Amanda tadi. Dalam hati ia membenarkan jika Raveno pasti akan kembali pada Sabrina. Selamanya, tidak akan ada tempat bagi Khatrine dihati Raveno. Semuanya sudah terisi penuh oleh Sabrina. Ck! Khatrine tidak suka kenyataan ini! Ia marah, kenapa ia baru dipertemukan dengan Raveno ketika pria itu sudah memiliki Istri?! Kenapa mereka tidak dipertemukan dari dulu? Khatrine lantas menghela nafas kasar sebelum memilih turun dari mobil, lalu masuk ke lift. Kakinya bergerak gelisah mengetuk-ngetuk lantai. Begitu lift terbuka, ia langsung melesat keluar. Berjalan sedikit cepat agar segera sampai di apartemennya. Dengan lesu ia pun membuka pintu apartemen dan terdiam sejenak saat melihat ada sepatu Raveno di sana. Senyumnya seketika terbit. Ia lantas meletakan tas belanjanya tadi lalu berjalan masuk ke dapur—karena ia mendengar sebuah suara dari sana. Belum lagi aroma harum yang berasal dari sana. Gid! Tenyata benar pria itu ada di sana. Berdiri membelakanginya, sementara kedua tangannya sibuk memasak. Entah memasak apa, karena Khatrine tidak bisa melihatnya. Tanpa menimbulkan suara, Khatrine berjalan mendekat. Ia baru akan duduk di kursi bar ketika Raveno mengeluarkan suaranya. "Aku sudah tahu kau di sana, Khat." Khatrine mencebik kesal. Si*al! Ia ketahuan, padahal ia berniat untuk mengejutkan pria itu tadi. Melihat wajah Khatrine yang cemberut dari pantulan kulkas sontak membuat Raveno tertawa pelan. Pria itu mematikan kompor sebelum mendekati Khatrine dan mencium kening wanita itu lama. "Dari mana saja?". Khatrine tersenyum lebar. "Membeli gaun," Ia menatap wajah Raveno yang ada di depannya, lalu tangannya bergerak mengusap rahang Raveno yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. "Kau belum bercukur?" "Aku tidak sempat bercukur," Ia mengulurkan tangannya melewati Khatrine dan mengurung wanita itu di sana. "Bagaimana jika kau yang mencukurnya?" "Tidak mau!" Raveno mengangkat satu alisnya. "Yakin tidak mau?" "Yakin!" "Bahkan jika aku sudah membelikanmu yogurt kesukaanmu?" "Tid—" Khatrine menghentikan ucapannya, menatap Raveno kesal. "Kau curang! Mana bisa kau memakai yogurt untuk meluluhkanku!" Sambil menahan senyum geli, Raveno lantas menegakan tubuhnya, berjalan ke kulkas untuk mengambil satu bungkus yogurt kesukaan Khatrine. Tak lupa pula ia membuka bungkusnya dan memberikannya pada wanita itu. "Ini untukmu," "Terima kasih," Ia menerima yogurt pemberian dari Raveno dan mulai memakannya. Ia tersenyum saat pria itu menyelipkan rambut Khatrine kebelakang telinga agar tak terkena yogurt. "Kau membeli gaun untuk acara apa?" Khatrine menelan yogurt dalam mulutnya sebelum menjawab. "Untuk acara peresmian brand kosmetik terbaru," Ia menunjuk tas belanjaannya yang ia letakan di atas meja. "Kau membelinya sendirian?" "Iya." "Kenapa tidak menelponku saja?" Ia mengusap yogurt di sudut bibir Khatrine dengan ibu jarinya. "Jika aku menelponmu, apa kau bisa menemaniku?" Ucap Khatrine biasa, ini sudah sering terjadi, itu sebabnya ia merasa biasa saja. "Maaf," usapan lembut Khatrine rasakan dikepalanya, ia pun mendongak untuk menatap mata berwarna karamel itu. Dari dulu Khatrine sangat ingin tahu apa yang selalu disembunyikan oleh Raveno melalui tatapan matanya itu? "Tidak perlu minta maaf," Khatrine tersenyum tipis. "Aku bisa mengerti. Sabrina dan pasti lebih membutuhkanmu." "Malam ini aku ingin mengajakmu keluar. Kau mau?" Khatrine menaikan satu alisnya. "Jalan-jalan? Ke mana?" "Entahlah. Mungkin menikmati malam di luar? Atau kau ingin makan malam yang romantis?" "Bagaimana jika ada yang mengenali kita? Bukankah itu sedikit berbahaya?" "Aku bisa menyamar." Raveno menegakan tubuh dan menyendar pada pantry dengan tangan terlipat didada. "Kau ingin kita ke mana?" "Ke mana saja tidak masalah. Asal tidak ada yang tahu," Khatrine terkekeh pelan. "Oke. Sekarang bersiap-siaplah." Khatrine mengangguk, turun dari kursi dan berjalan menjauh. Namun baru beberapa langkah, ia berhenti karena Raveno memanggilnya. "Ada apa?" "Aku sudah membelikan gaun untuk kau pakai malam ini. Kau bisa memakainya?" "Tentu saja," ucap Khatrine lalu meneruskan langkahnya. Sampai di kamar ia tak bisa berhenti tersenyum saat melihat sebuah gaun berwarna peach yang di letakan di sudut kamarnya. Khatrine mendekat, menyentuh gaun itu dengan hati-hati. Bibirnya kembali tersenyum dan membayangkan saat Raveno membelikan gaun secantik ini untuknya. Ya Tuhan! Bukankah pria itu benar-benar tak tertebak? Khatrine menoleh ke arah pintu, seakan-akan menatap Raveno yang ada di ruang tamu. Dalam hati ia terus bertanya, ke mana Raveno akan membawanya pergi malam ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN