Galuh tidak banyak bertanya atau ingin berdebat karena itu akan percuma untuk di lakukan. Otaknya sedang sangat kacau, hatinya sedang gelisah, pikirannya sedang berantakan dan jika dia kembali protes , yang ada itu hanya akan menambah masalah. Terima, meskipun rasanya ini sangat tidak adil untuk seorang Galuh Afrika.
Dengan langkah gontai Galuh berjalan keluar dari ruang kerja sang rektor. Langkahnya terlihat lemah meninggalkan kampus yang tiga tahun ini dia datangi untuk menimba ilmu, tapi hari ini Galuh meninggalkan kampus itu sebelum sempat dia menyelesaikan tahap akhir kuliahnya dan wisuda.
Tatapan menghina juga Galuh dapatkan dari semua mahasiswa dan Galuh pilih mempercepat langkahnya dengan mengusap air matanya yang merembes tanpa bisa dia tahan untuk tidak keluar.
Dunia memang kejam tapi hari ini Galuh mengerti satu hal, jika hal yang paling kejam itu adalah saat kau harus menanggung dosa dari satu kesalahan yang tidak pernah kita perbuat. Seperti dirinya yang harus ikut menanggung dosa atau kesalahan yang mungkin ayahnya buat.
Galuh keluar dari gerbang kampus lalu menghentikan salah satu taksi untuk segera pulang, dan saat dia sampai di depan rumah besarnya, ternyata pihak penyidik juga ikut menyegel rumah keluarganya karena ternyata siang ini ayahnya terbukti bersalah dengan tuduhan korupsi, penggelapan uang perusahaan yang jumlahnya sangat besar hingga merugikan pihak perusahaan dan pemegang saham yang lainnya.
"Ada apa ini?" Galuh terkejut saat melihat ada banyak polisi sedang memasang garis kuning di semua sisi gerbang dan pintu rumahnya dengan tulisan RUMAH INI DI SEGEL.
"Maaf Nona. Anda tidak bisa masuk ke dalam karena pihak penyidik sedang melakukan penggeledahan, karena mereka menduga jika pemilik rumah ini menyimpan harta yang telah dia gelapkan di dalam rumah, jadi selama kasus ini belum menemukan titik terang, tidak satupun dari anggota keluarga bisa masuk ke dalam rumah, apapun alasannya." Ucap seorang polisi berbadan gemuk dan bibik, asisten rumah tangga yang bekerja pada keluarga itu berusaha menenangkan Galuh yang kali ini memberonta tidak terima ketika rumah keluarganya di segel seperti ini.
"Tidak. Papaku belum terbukti bersalah. Kalian tidak berhak melakukan ini pada kami, kalian tidak berhak. Ini benar-benar melanggar hak kebebasan kami!" Galuh berteriak tidak terima dengan apa yang terjadi saat itu.
"Non. Non yang tenang dulu Non. Bibik juga sudah mengatakan hal itu dari tadi. Mengatakan kami harus mengambil barang-barang penting sebelum keluar dari rumah ini tapi mereka menolak karena menduga aset itulah yang akan kita bawa." Ucap bibik yang selama ini membantu mengurus keperluan Galuh, bibik sudah bekerja pada keluarga Galuh saat ibu dan ayah Galuh baru menikah, dan bibik juga sudah seperti keluarga mereka selama ini.
"Bik. Tapi ini sangat tidak adil. Kenapa kami juga harus ikut menanggung masalah ini , masalah yang bahkan belum terbukti kebenarannya!" Isak Galuh dengan bibik yang masih terus menahan punggung Galuh karena gadis cantik itu masih saja memberonta tidak terima.
"Bibik tau. Tapi kita juga tidak bisa melakukan apa-apa. Sudah kita tunggu saja sampai kasus Papa Non selesai dan semoga ini semua tidak benar, dalam kata lain pak Evan tidak bersalah dalam kasus ini." Bibik kembali menenangkan Galuh lalu memintanya untuk duduk di bibir trotoar depan gerbang rumahnya karena para petugas yang menjaga proses penyidikan itu benar-benar tidak mengizinkan mereka untuk masuk ke dalam rumah meskipun hanya untuk mengambil beberapa pakaian milik Galuh atau milik kedua saudara Galuh.
Sudah hampir seharian Galuh dan bibik tidak mau beranjak dari tempat itu, karena bibik bersikeras ingin masuk untuk mengambil beberapa lembar pakai Galuh , dan akhirnya saat hari sudah beranjak gelap seorang petugas yang merasa iba pun memberikan izin pada bibik dan Galuh untuk masuk mengambil beberapa pakaian, tapi itupun harus dengan pengawasan dari salah atau polisi wanita jika benar, barang yang akan mereka ambil hanya pakaian saja, tidak ada barang lain.
Setelah mengambil satu koper besar pakaian Galuh, dan pak Evan, bibik dan Galuh akhirnya benar-benar tidak punya pilihan lain selain meninggalkan rumah itu.
"Non Galuh bisa tinggal di rumah Bibik untuk sementara waktu sampai semua kembali normal dan Non Galuh bisa kembali berkumpul dengan keluarga Non." Ucap bibik saat mereka sudah berada di dalam taksi yang akan membawa mereka ke rumah bibik, di pinggiran kota jakarta, dan Galuh hanya diam tanpa kata, bahkan sampai taksi itu berhenti di salah satu rumah sederhana, Galuh tidak banyak bicara dan hanya mengikuti sang bibik hingga masuk ke rumah bercat hijau daun itu.
"Rumah Bibik memang tidak sepadan dengan rumah Non Galuh, tapi hanya ini yang bisa Bibik tawarkan pada Non." Ucap bibik lagi saat mereka masuk dan duduk di salah satu kursi busa dengan bingkai kayu jati model kuno.
"Tidak apa-apa Bik." Jawab Galuh setelah dari tadi hanya diam.
"Di sini Bibik hanya tinggal bersama anak bibik. Tapi sepertinya dia masih belum pulang bekerja." Ucap bibik saat menarik koper Galuh masuk ke salah satu kamar yang sebelumnya bibik tempati karena rumah itu hanya terdiri dari tiga kamar dengan satu dapur dan satu ruang keluarga.
"Non Galuh bisa menempati kamar Bibik, dan nanti Bibik akan tidur di kamar anak Bibik," ucap bibik lagi dan Galuh lagi-lagi hanya mengangguk.
Sungguh hari ini dia benar-benar sangat lelah, setelah mendapatkan surat pengeluaran dari kampus sekarang dia juga di usir dari rumahnya sendiri, dan sekarang dia harus menumpang tinggal di rumah asisten rumah tangganya pula, sementara kedua saudaranya entah ada di mana. Mereka seolah meninggalkan Galuh yang sebenarnya sama-sama butuh untuk di tenangkan.
Sudah dua hari Galuh tinggal di rumah bibik dan dua hari itu pula Galuh memilih mengurung diri di kamar. Tidak bicara bahkan kesulitan untuk sekedar makan, hingga tiba-tiba ponselnya bergetar dan ada notifikasi pesan atas nama sang dosen yang terlihat muncul di layar kunci ponselnya. Pikir Galuh ada apa lagi tu dosen mengirimkannya pesan? Dan jujur Galuh masih mengharap sesuatu yang baik yang akan dia dapatkan hari ini terkait pendidikannya.
Galuh mengambil ponsel itu lalu membuka pesan yang baru saja dia terima dari sang dosen.
"Apa kamu masih ingin menyelesaikan skripsi kamu agar bisa wisuda tahun ini. Aku bisa membantu mu untuk itu!"
Pesan yang di kirim oleh sang dosen dan sungguh Galuh langsung merasa punya harapan baru. Ini seperti terjebak di lampu lalu lintas yang sedang berwarna merah dan baru saja lampu itu menyala kuning dan Galuh yakin setelah itu akan ada lampu hijau untuknya menyelesaikan tahap akhir kuliahnya.
Buru-buru Galuh membalas pesan itu dengan harapan yang benar-benar besar jika dia benar-benar akan menyelesaikan kuliahnya.
"Tentu pak. Tentu saja aku ingin secepatnya menyelesaikan tahap akhir kuliahku." Balas Galuh semangat. Ada senyum yang ikut terbit dari bingkai wajah cantiknya di tengah kemelut masalah yang sedang dia hadapi.
"Temui aku dan bawa surat yang kemarin pak rektor berikan padamu, juga skripsi yang susah kau selesaikan. Aku akan menandatanganinya dan aku akan membantumu menyelesaikan masalah ini!"
Balasan pesan yang dosen itu kirim untuk Galuh dan setelahnya sang dosen mengrimkan satu alamat yang harus Galuh datangi hari itu.
Galuh yang sedang sangat frustasi dengan masalah kampus , juga masalah ayahnya, langsung setuju untuk menemui sang dosen dengan membawa semua yang dosen itu inginkan.
Memesan taksi dan menunjukkan alamat itu pada sopir taksi itu. Dan di sinilah Galuh berada sekarang, bangunan tinggi yang diprediksi lebih dari dua puluh lantai karena dosen itu memintanya untuk menemuinya di lantai sembilan belas unit nomer 1000. Galuh yakin itu adalah tempat tinggal sang dosen, maka dengan langkah penuh harapan Galuh memencet tombol lift nomer sembilan belas dan mencari unit nomer 1000 dan ketemu.
Galuh memencet bel yang terpasang di dinding sebelah kanan pintu itu, menekannya sebanyak dua kali.
Tidak ada respon dari pemilih unit itu dan Galuh kembali menekan bel itu dua kali dan baru setelah itu pintu terbuka dan tampak sang dosen di balik pintu bercat warna putih itu.
"Galuh Afrika. Kau sudah datang!" Seru sang dosen dan Galuh hanya membagi senyum terbaiknya sembari mengangguk. Karena yang ada di pikiran Galuh saat ini hanya satu, dia akan benar-benar menyelesaikan kuliahnya seperti harapan ayahnya selama ini.
"Tentu saja pak. Galuh tidak akan melewati kesempatan baik ini." Jawab Galuh semangat saat dosen itu memintanya masuk dan duduk di sofa ruang tengah unit itu, kemudian sang dosen menutup kembali pintu unit tersebut, lalu sang dosen ikut duduk di sebelah Galuh , menerima lembaran skripsi yang belum di kemas apik itu juga menerima surat yang kemarin pak rektor berikan pada Galuh, surat pengeluaran Galuh dari kampus itu lalu meletakkannya di atas meja sofa.
"Jadi apa yang harus Galuh lakukan? Apa Bapak akan memeriksa skripsi Galuh? Atau ingin menandatanganinya langsung. Dan bagaimana dengan surat keputusan itu, jika Galuh di keluarkan dari kampus, Pak? Apa Bapak juga bisa membatu Galuh agar pak rektor membatalkan keputusan itu?" Tanya Galuh setelahnya tapi sang dosen hanya tersenyum tipis sembari mematikan sisa rokok yang sedang dia hisap.
"Santai lah, Galuh. Bapak bisa mengatasi semua ini dengan mudah. Kau tidak perlu khawatir!" Ucap sang dosen tapi kali ini dosen itu berucap sambil membelai punggung tangan Galuh. Galuh langsung merasa tidak enak lalu buru-buru menarik tangannya dan menggenggamnya dengan rasa gugup.
"Oh syukurlah. Galuh sudah merasa putus asa sejak surat putusan itu Galuh terima!" Ucap Galuh sambil menghela napas berusaha menenangkan rasa gugupnya, pasalnya saat ini mereka hanya berdua di ruangan itu, Galuh dan sang dosen, dan secara natural Galuh justru melirik ke ayah pintu utama unit itu yang sudah kembali tertutup.
"Bapak adalah orang kepercayaan pak rektor, dan Bapak bisa melakukan apapun untuk membantumu, Galuh! Jadi tenanglah." Ucap sang dosen lagi. Jika sebelumnya dosen itu membelai punggung tangan Galuh, kali ini dosen itu malah mengukir lengan atas hingga siku Galuh dengan sentuhan yang tidak bisa Galuh katakan biasa.
Galuh menggeser duduknya sedikit menjauh dari sang dosen tapi dosen itu malah mengikuti gerakan Galuh dan kembali mendekati Galuh hingga ke siku sofa.
"Pak. Jangan seperti ini!" Ucap Galuh menarik napasnya agar tetap tenang meskipun sebenarnya Galuh sudah sangat gelisah sekarang.
"Tenang lah Galuh. Bapak tidak akan menyakitimu. Tapi justru Bapak akan membantumu menyelesaikan masalah ini. Bapak akan membuatmu merasa senang maka dari itu kau juga harus membuat Bapak senang lebih dulu." Ucap sang dosen dengan sangat menakutkan.
"Tapi maaf Pak. Apa maksud Bapak!" Galuh masih tidak mengerti maksud dari ucapan sang dosen.
"Jangan begitulah Galuh. Bapak tahu kamu mengerti apa maksud Bapak , jadi santailah. Kau hanya perlu membuat Bapak senang dan tentu kau tahu bagaimana cara membuat seorang laki-laki merasa sangat senang." Ucap sang dosen lagi tapi kali ini dosen itu juga berucap sambil merapatkan wajahnya ke wajah Galuh dan sungguh Galuh semakin merasa tidak tenang sekarang. Galuh merasa sangat takut sekarang.
Oh sungguh, tidak ada firasat buruk apapun yang Galuh rasakan, jika saat ini dia justru masuk dalam perangkap licik sang dosen.
"Apa yang Bapak lakukan? Ini sama sekali tidak benar. Ini sangat bertentangan dengan,,,"
"Apa yang kau pikirkan Galuh? Bukankah kau ingin kuliahmu cepat selesai. Bapak akan membantumu tapi dengan satu syarat kau juga harus membantu Bapak. Kau harus membuat Bapak senang. Dan seharusnya kau tahu cara membuat seorang laki-laki senang." Potong sang dosen dan sudah langsung menahan lengan Galuh , agar tidak menjauh darinya, dan berusaha untuk mencium Galuh tapi Galuh dengan sekuat tenang mendorong tubuh sang dosen untuk menjauh darinya.
"Tidak. Tidak. Bukan seperti ini caranya pak. Tidak." Tolak Galuh tapi sang dosen yang sudah gelap mata karena terpengaruh pil ekstasi malah semakin bringas menuntut untuk di tenangkan.
"Jangan sok jual mahal. Kau hanya anak seorang koruptor, dan seharusnya hal semacam ini bukanlah hal yang sulit untukmu , mengingat bagaimana kau di besarkan dengan uang haram itu." Tolak sang dosen yang sudah kembali mencegat lengan Galuh , dan memaksa Galuh untuk menuruti keinginannya , bahkan kali ini dosen itu sudah kembali memaksa ciumannya tapi Galuh tetap memberontak, melakukan perlawanan dengan sang dosen hingga tersungkur lalu berlari ke arah pintu utama unit untuk membebaskan diri agar tidak menjadi mangsa sang dosen, namun naas, pintu unit itu malah terkunci.
"Kau tidak akan bisa kemana-mana, Galuh. Kau sudah ditakdirkan untuk membuatku senang!" Sang dosen cengengesan sambil menunjukkan kunci unit itu lalu memasukkannya ke saku kemejanya. Galuh menggeleng berusaha menghalau ketika dosen itu semakin mendekatinya.
"Jangan. Tolong jangan lakukan ini pak. Galuh mohon. Galuh mohon. Jangan lakukan itu!" Galuh memohon tapi sang dosen tidak menanggapi permohonan Galuh meski Galuh sudah berurai air mata dengan tangisnya sambil memeluk dadanya sendiri.
"Tenang lah Galuh. Bapak tidak akan menyakitimu. Justru Bapak akan membuatmu senang!" Ucap dosen itu lagi dan lagi tapi lagi-lagi Galuh menggeleng tidak percaya dengan apa yang baru saja sang dosen ucapkan. "Jadi kemari lah. Layani Bapak. Buat Bapak merasa senang maka Bapak akan mengabulkan semua keinginan kamu." Imbuh sang dosen tapi lagi-lagi Galuh menggeleng tidak terima.
"Tidak. Tidak." Galuh terus menggeleng. Dan saat dosen itu menarik lengan Galuh, dan memaksa pelukan dan ciuman ke Galuh, Galuh memberonta sambil berteriak meminta tolong berharap akan ada yang menolongnya.
Dosen itu semakin memaksa Galuh, bahkan pakaian Galuh nyaris robek saking kerasnya dosen itu menarik bahu Galuh, hingga tersungkur. Galuh berusaha menahan dadanya tapi dosen itu semakin memaksa.
Tangan lemah Galuh terus memukul sebagai bentuk perlawanan tapi ternyata tenaga sang dosen jauh lebih besar dibanding dirinya, tapi Galuh tidak menyerah begitu saja dia tetap memberontak menjangkau apapun yang bisa dijangkau oleh tangannya untuk melakukan perlawanan pada sang dosen hingga tangan itu akhirnya bisa menjangkau vas bunga di pojok ruangan, lalu menggunakannya untuk memukul kepala sang dosen hingga dosen itu tersungkur dan jatuh di lantai, dan mengakibatkan kunci yang sebelumnya dia masukkan ke kantong kemejanya terjatuh.
Saat sang dosen tersungkur dengan kepala yang berdarah, Galuh menggunakan kesempatan itu untuk mengambil kunci unit tersebut lalu buru-buru berlari ke pintu utama , unit itu dan membukanya dengan sangat cepat, lalu kabur dari tempat itu. Tidak sampai di situ, sang dosen yang sudah mendapatkan kesadarannya langsung mengejar Galuh hingga keluar dari koridor apartemen. Buru-buru Galuh memencet tombol yang berada di pintu lift untuk menghindari sang dosen namun naas lift itu tidak kunjung terbuka hingga mau tidak mau Galuh kembali berlari ke arah tangga darurat dan menuruni bangunan itu melalui tangga, namun sang dosen gila itu kembali mengejarnya hingga ke undangan tangga lantai 18.
"Mau kemana kau jalang!" Kesal sang dosen dengan darah yang masih merembes di kepalanya.
"Lepaskan. Tolong," Galuh berteriak tapi sepertinya itu percuma karena di sana tidak ada satu orang pun. "Lepaskan aku pak. Aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak mau!" Galuh masih berteriak meminta tolong dan terus berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan sang dosen. Rasa hormatnya seketika sudah hilang pada sang dosen.
"Dasar wanita jalang. Kau pantas mendapatkan ini. Anak seorang koruptor sepertimu tidak pantas mendapatkan tempat yang jauh lebih baik dari seorang jalang," ucap sang dosen tapi Galuh tetap hanya menggeleng, kembali mendorong tubuh Sang dosen hingga membentur pagar pembatas tangga. Dan Galuh kembali berlari saat cengkraman tangan sang dosen terlepas dari lengannya. Berlari menuruni anak tangga, dan entah bagaimana cara Galuh turun karena di ujung tangga terakhir lantai tujuh belas , kakinya malah tergelincir hingga tubuhnya jatuh, dan menabrak tubuh seseorang.
"Lepaskan aku. Aku mohon lepaskan aku, Pak. Aku tidak mau melakukan itu, lepaskan aku. Lepaskan aku!" Galuh memberonta tapi orang itu hanya menatap wajah Galuh dengan penampilannya yang berantakan.
"Apa yang terjadi?" Tanya orang itu dan baru saat itulah Galuh mendongak dan melihat jika ternyata orang itu bukanlah sang dosen.
"Oh tolong pak. Tolong aku. Dia ingin melecehkan ku. Dia ingin melecehkan ku. Tolong aku. Tolong aku pak. Orang itu ingin melecehkan ku!" Galuh menunjuk ke arah sang dosen yang sudah berhasil menemukannya.
Galuh bersembunyi di belakang punggung orang itu, menghindari tatapan langsung sang dosen.
"Hey. Kamu . Jangan mencampuri urusanku dengan dia. Dia milikku. Serahkan dia padaku." Ucap sang dosen tapi Galuh langsung menggeleng di balik punggung orang itu.
"Oh tenang bung. Tidak baik memaksakan kehendak pada orang yang tidak menginginkan sesuatu. Jadi tolong,,,"
"Tidak. Aku tidak mau sama Bapak. Aku lebih baik tidak lulus kuliah dari pada harus merendahkan harga diriku pada Bapak." Ucap Galuh masih bersembunyi di belakang punggung laki-laki yang sedang dia minta pertolongan itu.
"Kau dengar itu? Dia tidak ingin bersama Anda jadi tolong hormati keputusan dia!" Tegas orang itu lagi tapi sang dosen yang sudah benar-benar murka langsung menyerang orang itu dengan tinju tapi dengan cepat orang itu menghalau tinju itu dan melakukan penyerangan. Dan perkelahian tidak bisa terelakan lagi.
"Oh ada apa ini?" Tanya beberapa stap yang akhirnya datang saat mendengar kegaduhan di apartemen itu.
"Laki-laki ini ingin melecehkan gadis ini. Jadi tolong amankan dia!" Ucap orang itu murka.
"Apa yang terjadi pak Teo? Apa,,,"
"Aku tidak apa-apa. Tapi lain kali perbanyak cctv untuk memantau setiap sudut apartemen ini agar penghuni tempat ini bisa lebih aman dan hal memalukan ini tidak perlu terjadi lagi!" Ucap orang itu yang tidak lain adalah Teo Mervino.
"Oh baik pak. Untuk masalah ini biar di tangani pihak berwajib!" Jawab orang itu, petugas kebersihan apartemen yang sudah langsung menghubungi pihak keamanan apartemen untuk menindaklanjuti orang yang diduga akan melakukan pelecehan pada seorang gadis.
Tio melihat bagaimana gadis itu sangat ketakutan dengan memeluk dadanya sendiri. Lengan atas bajunya robek dan Teo sengaja melepas jasnya lalu membungkus tubuh kecil gadis itu kemudian memeluk bahunya, berusaha membuat gadis itu tenang sebelum akhirnya membawa gadis itu keluar dari apartemen tersebut.
"Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang!" Ucap Teo tulus dan Galuh langsung menyebutkan alamat bibik dan Teo benar-benar mengantar gadis yang bahkan dari tadi tidak dia tanyakan namanya ke alamat yang gadis itu berikan.
"Lain kali kau harus lebih berhati-hati jika ingin menemui seseorang yang tidak begitu kau kenal di tempat sepi!" Ucap Teo memberi sedikit nasehat pada sang gadis yang usianya tidak lebih tua dari Putri, Luci Mervino.
Galuh hanya mengangguk dengan sisa air matanya dan bibik langsung menghampiri Galuh yang baru turun dari mobil dengan diantar oleh seorang pria paruh baya.
"Oh apa yang terjadi dengan Non Galuh?" Sok bibik saat melihat wajah berantakan anak majikannya.
"Bibik," Galuh malah menangis.
"Dia nyaris dilecehkan oleh seorang laki-laki hidung belang." Teo Mervino yang menjawab.
"Ya Allah gusti, Non!" Bibik semakin syok saat laki-laki paruh baya itu mengatakan jika Galuh nyaris dilecehkan.
"Bawa dia masuk dan tenangkan dia. Aku pamit dulu." Ucap Teo Mervino setelahnya lalu bibik mengganggu dan membawa Galuh masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan kata terima kasih pada Teo Mervino.