Chapter 6

2069 Kata
“Keputusan bapak masih sepihak! Saya masih belum selesai untuk mengucapkan alasan-“ sebelum aku berusaha untuk menyelesaikan kata-kataku, Pak Dekan sudah membuka pintunya dari dalam untuk menyuruh kami keluar. Dia pun tidak menjawab ocehanku kepadanya sedikitpun, yang jujur saja membuatku sedikit kesal. Beno, dan ketua Hima berdiri, mereka melangkah ke arah pintu hendak keluar dari ruangan ini. Aku merasa ada sesuatu yang janggal di sini. Sang Ketua Dekan memutuskan sebuah keputusan yang benar-benar tak masuk akal. Karena yang aku tahu, keputusan yang krusial semacam ini adalah keputusan yang seharusnya dirundingkan dan dipikirkan bersama-sama dengan Dekan lainnya. Pak Baich bukan merupakan dekan yang memiliki kekuasaan paling utama di tempat ini, dia memiliki kedudukan setara seperti yang lain. “Oh ya... aku lupa mengatakan sesuatu” ujar Pak Dekan menjawab keraguanku. “Sebelum kalian pergi dari kampus ini, sebaiknya kalian pergi ke ruangan administrasi masing-masing untuk melaporkan status kalian saat ini di dalam universitas” ucapannya tidak menjawab keraguan apapun yang berasal dari kepalaku terhadap dirinya. Dan jika ia berkata kami harus ke ruang Administrasi, berarti itu juga termasuk Sang Ketua Hima. Beno dan Ketua Hima yang berada di depan pintu membalik badannya setelah mendengar ucapan Pak Dekan. Lalu setelah menyelesaikan ucapan beliau, mereka membalik badannya lagi menuju keluar ruangan. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan lagi selain ikut keluar dari ruangan ini. Namun aku masih merasa kalau ada yang aneh dengan diskusi ini. Saat aku berada di depan pintu. Aku melihat banyak sekali orang-orang yang bergerombol menunggu kami untuk keluar di luar ruangan. Ibarat seperti seorang paparazzi, mereka memandangi kami dengan rasa penasaran yang amat sangat tinggi. Hanya saja tidak ada lampu sorot ataupun suara jepretan di sana. Kesesakan orang-orang tersebut hampir membuat kami tidak bisa keluar dari ruangan, menerobos dan berlari juga tidak mungkin karena kami akan ikut jatuh jika melakukan itu bersama-sama. Seperti artis yang terkena skandal, aku berusaha untuk menutupi mukaku meskipun mereka sudah tahu kalau akulah wanita yang rumor-rumor itu telah dengungkan. “SEMUANYA MUNDUR!” Teriak Sang Ketua Hima yang tampaknya muak. Ternyata, dia memiliki karisma yang sangat kuat sampai-sampai semua orang bisa mematuhinya. Tidak hanya mundur, mereka semua bubar dan kembali menjalankan aktivitas mereka masing-masing. Seakan tidak terjadi apa-apa di lorong luas ini. Sedari tadi aku memperhatikan Beno. Aku sadar ada sesuatu yang terjadi antara dia dan Ketua Hima selepas aku pulang dari gedung tua itu. Namun aku terlalu malas dan enggan untuk menanyakan kejadian sebenarnya kepadanya. Lagipula, kami masih berjalan di tengah-tengah lorong bersama b******n tengik ini di depan kami. Aku berusaha untuk menjaga sikap dan omonganku di depannya meskipun hanya kata sumpah serapah yang bisa aku pikirkan saat memandang wajahnya. Dan juga, meskipun gerombolan tadi sudah bubar , beberapa dari mereka masih duduk di pinggir-pinggir lorong memandangi kami dengan muka sinis, meskipun membuang muka dan bersikap manis saat Ketua Hima memandangi mereka balik. Kami pun berada di ruangan Administrasi. Sebenarnya ruangan ini hanya di isi oleh para orang-orang TU atau semacamnya guna mengurusi keperluan perkuliahan. Tapi di sini juga terdapat beberapa dosen. Aku tidak tahu dosen mana yang akan mengajariku di dalam perkuliahan nanti, aku hanya harus menjaga sikap di depan mereka meskipun aku pikir percuma saja karena citraku sudah sangat buruk akibat kasus ini. Aku hanya bisa berdoa kalau mereka akan melupakan ini seiring berjalannya waktu. “Pak, kami ingin mengurus surat cekal kami” ucap Ketua Hima kepada salah satu pegawai muda di sana. Namun di kartu nama terpasang sebuah nama “Drs. Harry Kurniawan M.Ba” yang berarti dia bukan pegawai biasa. Dia mungkin salah satu dosen di sini yang merangkap juga sebagai seorang pegawai administrasi. “Loh, Reza? Ada apa? Kenapa kamu kena cekal?” tanya Pak Harry kepada Ketua Hima yang sepertinya mengenalnya dengan akrab. “Ehheehh... iya pak. Bukan hanya saya kok. Ini saya juga mau ajuin izin buat dua anak ini” balas Ketua Hima menunjuk ke arah kami. Aku merasa tumben dia bersikap sopan kepada kami di depan dosen itu. Pak Harry pun memandang Beno dengan lugas dari atas ke bawah, namun saat pandangannya dia alihkan kepadaku. Dia memandangku cukup lama, terutama di bagian Dadaku yang terlihat menyembul dengna kancing peniti meminta untuk segera dilepaskan tak kuat menahan beban. Aku merasa risih karena dipandang berlebihan seperti itu. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk ikut menjawab, “Ya pak, kami ada sedikit masalah kesalah pahaman. Saya ingin agar bapak cepat mengurus ini agar kami bisa memprosesnya dengan cepat ya pak” “Loh... kenapa buru-buru sih? Emangnya kalian mau ada kelas?” tanyanya bingung namun juga memasang ekspresi m***m yang menjijikkan. Aku bisa merasakan tatapan orang yang ingin bertindak jahat dan tidak karena pengalaman yang aku punya dahulu semasa masih menjadi berandalan. “Pak. Kami masih maba, dan kami membutuhkan surat ini secepatnya. Kami akan ketinggalan proses ospek jika Anda terus saja mencoba untuk mengulur-ulur waktu” Tukas Beno dengan tegas dan sangat serius. Sejak aku masuk ke dalam ruangan, baru kali ini aku mendengarnya bersuara dengan serius hari ini. Pak Harry pun diam saja. Seperti kecut dan takut akan ucapan Beno yang sudah menegaskannya. Dia pun kemudian sadar melihat lengan Ketua Hima terbungkus oleh Gips. Dan juga wajahnya yang ternyata tampak tidak normal “Loh Reza. Kamu habis ngapain kok bisa ampek begi-“ seperti paham dengan apa yang terjadi, Pak Harry tidak melanjutkan pertanyaannya. Dia kembali duduk dan mencoba untuk mengurusi surat-surat yang kami perlukan tentang perizinan status di kuliah ini. Dia mulai menulis di sebuah surat dan mencari nama kami di arsip belakang kursinya. Arsip itu ternyata hanya berisi sebuah form kosong yang kemudian kami harus isi sendiri dengan data diri kami dengan benar. Hanya satu bolpoin yang tersedia di meja Pak Harry, kami pun akhirnya bergantian untuk menulis di atas form itu. “Jika kalian sudah menyelesaikan semua data diri kalian, kumpulkan kepada saya. Dan kalian boleh pergi dari ruangan ini” raut muka Pak Harry menjadi sangat serius. Tidak ada senyuman m***m ataupun menjijikkan terukir dari ekspresinya lagi. Aku tidak tahu harus berterima kasih kepada siapa, namun aku bersyukur karena dia telah menghentikan perbuatan menjijikkannya itu menatapku dengan m***m. Kami selesai mengisi form dan data diri kami sesuai dengan identitas kami. Aku pun menyerahkan kertasku kepada Pak Harry untuk kemudian dia proses sesuai dengan prosedur yang baru saja dia katakan. Tidak ada masalah dalam menulis form itu, aku bahkan tidak membuka teleponku sama sekali untuk mencontek bilamana ada identitas yang aku lupakan. Mungkin karena aku sudah terbiasa mengingat-ingat saat belajar masuk ke dalam universitas ini dahulu, aku jadi mudah ingat akan sesuatu. “Kalian sudah boleh keluar dari ruangan ini. Menurut izin dan status yang saya terima, kalian diizinkan untuk masuk kembali ke dalam perkuliahan minggu depan atau lebih tepatnya senin depan. Setiap kabar dan berita yang perlu mahasiswa ketahui akan selalu di posting di website sekolah, jadi saya menghimbau agar kalian sering-sering mengecek website itu mengerti?” ucap Pak Harry dengan sopan. Setelah selesai mendengarkannya, kami pun membalik badan hendak keluar dari ruangan dan segera pulang. Tapi kemudian Pak Harry tiba-tiba memanggil namaku. “Mbak Dewi” dia memanggil namaku. Wajar saja jika seseorang salah memanggil namaku hanya dengan depannya saja. Aku pun menoleh sambil menjawab dengan sopan kepadanya, “Iya ada apa pak?”. “Sampe kelupaan, selain sering-sering cek website, jangan lupa follow i********: saya ya. @kadal_melet” ucapnya sambil senyum. Setelah dia mengucapkan itu justru aku bersumpah untuk tidak akan memfollow akun sosial media mana pun punyanya. “Ehh... iya baik pak. Nanti saya follow kalau sudah di rumah ya. Sekarang handphone saya nggak ada kuota” dustaku padanya. Kami bertiga pun langsung keluar dari ruangan. Dan menuju ke parkiran fakultas Ekonomi bersama-sama. Seharusnya di sana sedang ada ospek yang berlangsung, namun saat aku tiba tidak ada siapa-siapa. Aku mengira mungkin mereka semua sudah masuk ke dalam kelas dan melakukan prosesi ospek selanjutnya. Dan aku melihat ketua Hima berjalan mendahuluiku. Dia menghampiri sebuah motor sport besar dengan cc yang sangat tinggi. Aku bisa menduga kalau itu adalah sepeda motor yang sangat mahal dilihat dari jarang sekali aku melihat tipe motor seperti itu di jalanan. Tapi ada yang janggal, dia mengaku patah tulang dan tangannya tak bisa digerakkan, tapi bagaimana bisa dia membawa motor? Dia pun memasukkan kunci motornya dengan tangan kanannya yang masih sehat, cukup meyakinkan. Namun yang terjadi selanjutnya adalah dia tiba-tiba melepas gips yang ada di tangan kirinya dan mulai menyetir seperti mengendarai sepeda motor dengan normal. Dia membuang gips miliknya di tempat sampah di dekat pos satpam tempat penjaga parkir duduk yang sedang kosong. Dia meregangkan tangan kirinya seperti melakukan senam ataupun pemanasan “Ga enak juga ya pura-pura cedera kayak gini. Mungkin aku gak bakat jadi aktor, tapi kalo sutradara mungkin masih bisa kali ya” gumamnya dengan dirinya sendiri. Meskipun terlihat seperti sebuah gumaman, namun dia bicara dengan lantang dan artikulasi yang sangat jelas mengindikasikan kalau dia memang sengaja berkata agar kami mendengar ucapannya. “b******n ternyata lo Cuma pura-pura hah? ga bisa di biarin kayak gini. Lo tahu nggak? Lo sudah ngancurin hidup gue di kuliah ini. Gue ga akan ngebiarin lo seenaknya!” hardikku kepada ketua Hima. Bagaimana tidak, semua argumen yang dia ucapkan di depan pak Dekan ternyata hanyalah sandiwara belaka untuk mengelabuhinya. Aku pun langsung saja berjalan menuju ke arahnya mencoba untuk memukul kepalanya karena sudah tak tahan lagi. Tapi dari belakang Beno mencoba untuk menahan tindakanku. “Udah, lepasin. Gue bener-bener gak ikhlas kalo dia bisa seenak-enaknya sama kita!” semua amarah aku luapkan sampai berteriak kepadanya. Untungnya saja tidak ada siapa-siapa di parkiran ini. Tidak ada orang yang memandangi kita dengan sinis. Hal ini justru memberikanku kesempatan untuk menghajarnya dengan leluasa. “Hahahaha... emangnya lu mau apa sama gue? Mau gebukin? Gak puas minta di skors? Eh asal lu tahu ya. Ini semua memang sandiwara sedari awal. Lu ga mungkin menang jika lawan gue di universitas ini” balas Ketua Hima mencoba untuk mengejekku. Dia pun akhirnya melepas perban di pipinya dan membersihkan noda biru yang ternyata Cuma cat di alisnya dengan menggunakan tisu. Semua luka yang ada di mukanya ternyata hanyalah palsu dan makeup semata. Tidak ada yang benar-benar asli. “Apa? Lu mau ini?” Ketua Hima membuka tasnya, dia menyodorkan surat visum kepadaku. “Gue pesen ini di s****e cuman seharga 150 ribu. Dan ini adalah senjata utama gue buat menyengsarain hidup loe selama di kampus ini. Jadi Goodluck buat loe karena telah memilih kampus ini. Gue cabut dulu, dasar l***e” dia pun memakai helmnya, dan sengaja mengarahkan knalpot motornya ke hadapan mukaku sehingga asapnya mengenai wajahku. Dia langsung pergi dengan menggunakan motornya. “Lu kenapa sih diem aja? Lu harusnya bantuin gue gamparin si kutu kupret itu! orang kayak dia ga bisa dikasihanin. Tahu nggak sih loe?!” tanyaku penuh dengan emosi yang berbalik aku luapkan kepada Beno. Namun Beno sedari tadi berusaha untuk bersikap kalem dan mengamati segala sesuatu dengan tenang. “Nggak semua masalah harus di hadapi dengan kekerasan. Kalau kamu tahu, aku merupakan orang yang sangat ingin membuat wajahnya babak belur sampai dia operasi plastik di thailand saking parahnya. Namun itu hanya perlu waktu. Kamu nggak bisa meluapkan semua emosi kamu ke dia dengan secara langsung” ucap Beno mencoba meneenangkanku. “Oh ya? Kata orang yang sudah melawan 10 orang sendirian tanpa memerlukan bantuan siapapun” sindirku padanya. Beno hanya meraup wajahnya, kebingungan mencoba untuk menjawab sindiranku itu. Kami kembali berduaan saja sekarang, aku merasa kalau ini saat yang tepat untuk aku bertanya kepadanya. “Hey... kenapa kau menyelamatkanku waktu itu? Bagaimana kau bisa tahu kalau aku ada di sana?” Beno tidak menjawab, malahan dia memalingkan mukanya dan hendak pergi ke arah parkiran lain. Dia berjalan cukup cepat sampai-sampai aku harus berlari kecil untuk mengejarnya. “Hey!! Cepat jawab pertanyaanku!” “Hei, apakah kau menganggur hari ini? Karena sepertinya aku tidak memiliki kegiatan lain untuk aku lakukan selama seminggu ini” Beno berbalik dan malah bertanya balik kepadaku. Namun itu membuatku kesal karena dia tidak menyinggung pertanyaanku sama sekali. “Sayang sekali jawaban yang salah. Jika kau memiliki masalah pendengaran, maka aku akan bertanya lagi kepadamu apa alasan dirimu menyelamatkanku waktu itu hah?” aku terus mendengarkan pertanyaan itu kepadanya, aku tidak peduli kalau dia risih mendengarkannya karena itu memang tujuanku dari awal. Beno tiba-tiba membalik badannya. Dia menatap mataku dengan tajam, aku dibuat terpaku melihat matanya yang amat sangat indah. Dia kemudian menyentuh daguku dengan dua jarinya. Aku seketika terdiam dibuatnya, “Kau akan mengerti nanti di saat yang tepat”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN