Chapter 5

2055 Kata
Aku sebenarnya tidak tahu dimana letak ruangan gedung dekan. Yang aku tahu hanyalah informasi tentang gedung dekan berada di dekat gedung letak perkuliahanku berada. Informasi yang minim itu aku gunakan untuk menjelajahi seisi universitas dimulai dari tempat yang paling dekat dengan diriku berada sekarang. Dari kejauhan, aku bisa melihat banyak sekali orang-orang berkerumun di luar ruangan sambil mencoba untuk mengintip di balik jendela. Aku merasa ada sesuatu yang aneh di situ. Tidak ada satupun anak hima ataupun panitia ospek di sana. Semuanya benar-benar terlihat seperti mahasiswa biasa pada umumnya. Aku pun langsung saja bergegas ikut menimbrung ke dalam kerumunan itu. “Ga nyangka ya dia bisa babak belur kayak begitu. Padahal dia dulu anak geng tercadas di kota ini” gumam seseorang di dalam kerumunan itu. Aku yang berusaha masuk ke dalam kerumunan berusaha sekuat mungkin untuk masuk ke dalam dan melihat dengan jelas apa yang terjadi di sana. “Bener, aku gak bisa bayangin bagaimana nasib anak teknik itu. Bayangin saja, demi seorang cewe. Dia rela ngorbanin harga diri dan juga martabatnya. Padahal masih maba, aku prediksi dia gak akan punya masa depan yang bagus di universitas ini. Kuliah belum masuk saja sudah bikin masalah, apalagi entar?” gumam seseorang lagi dalam kerumunan itu. Dan sekarang aku bisa pastikan kalau seseorang yang mereka sedang bicarakan adalah tidak lain tidak bukan Beno. “Ehh... ehh mbak. Kita juga mau lihat, jangan lewat sembarangan dong!” gusar seseorang kesal melihatku berjalan berdesak-desakan menggeser tubuh mereka. Namun aku tidak peduli, aku orang yang penting dan menjadi tokoh utama dalam kasus ini. Aku harus membalas budi dengan apa yang Beno sudah lakukan kepadaku. Aku bisa mendengar semua orang tampak kesal dan bergumam dengan sangat riuh melihatku berdesakan di dalam kerumunan itu mencoba untuk menuju memasuki pintu. Bagaikan berada di dalam gerombolan domba, mereka tak henti-hentinya mengembek dan saling dorong mendorong. Aku berada di dalam kerumunan itu bagaikan seekor lalat yang hinggap di bulu para domba itu agar bisa lolos menuju tujuan yang aku inginkan. Situasi menjadi benar-benar kacau sekarang. Bukan lagi seperti gerombolan domba ternak, melainkan berubah menjadi penonton konser band metal. Semua orang saling dorong-mendorong sembari mengucapkan caci makian. Entah kenapa mereka mudah sekali untuk di intimidasi seperti yang aku lakukan sekarang ini. Padahal aku tak merasa melakukan sesuatu yang salah atau memicu kemarahan massa. Melihat potensi ini, aku langsung saja mencoba untuk masuk ke dalam kerumunan dan menuju pintu masuk. Sebelum aku membuka pintu masuk, aku mencoba menengok dari luar jendela. Aku tidak bisa melihat banyak dari luar sini karena gorden yang ada di dalam jendela ini berusaha menutupi apa yang terjadi di dalam sehingga orang-orang di luar kesulitan untuk melihat kondisi apa yang terjadi. Aku hanya dapat melihat lewat celah kecil, hanya kaki dan tangan seorang pria yang duduk di atas sofa kulihat di sana. Tangannya memakai jam tangan mahal dengan merek yang biasa dipakai orang-orang kaya. Dan aku yakin kalau itu adalah sang Dekan. Tanpa basa-basi, aku pun langsung membuka pintu ini dengan paksa. Betapa terkejutnya aku ternyata pintu ini tidak terkunci, aku bisa membukanya dengan mudah hanya dengan memutar gagangnya ke bawah. Dan Pak Dekan, melihatku masuk dari dalam. “.... beberapa tubuhku kotor dan terluka karena dia!” hanya empat orang yang berada di dalam ruangan ini termasuk aku. Dan saat aku masuk. Ternyata Sang Ketua Hima sedang memaki Beno sambil menunjuknya dengan keras. Beno yang duduk agak jauh dari Ketua Hima hanya menunduk, dia tidak menjawab atau menyangkal tudingan yang ketua Hima berikan kepadanya “Mbak... tunggu. Siapa Anda? Kami sedang berada dalam diskusi serius saat ini. Jika Anda memiliki sesuatu untuk di sampaikan. Maka sebaiknya Anda menunggu sampai obrolan ini selesai. Mengerti?” ucap Pak Dekan menyadari kalau aku masuk ke dalam ruangan itu. Melihat penampilan pak dekan yang sangat rapi memakai jas dan kacamata dengan gagang mahal membuatku refleks mencoba merapikan bajuku sekarang. Aku tidak boleh berpenampilan buruk atau memiliki citra yang buruk di matanya sekarang. Perjalananku di kampus ini masihlah sangat panjang “Ya... Dia! Dia adalah wanita yang ikut bekerja sama dengannya untuk menghajarku pak!” tiba-tiba ketua hima menunjukku dengan kasarnya. Aku menyadari sesuatu. Ada sebuah perban di pipinya, luka biru memar di alisnya, dan juga tangan kiri yang memakai sebuah gips. Aku tak tahu bagaimana bisa dia berada di kondisi itu sekarang “Killa, apa yang kau lakukan? Kau tidak seharusnya ada disini!” sahut Beno khawarir kepadaku. Dia terlihat begitu panik saat melihat wajahku di ruangan ini. “Maaf pak. Saya tidak bisa keluar dari ruangan ini, karena saya terlibat dalam masalah ini. Jadi jika bapak berkenan, maka saya akan meminta izin untuk menyelesaikan dan melaporkan apa yang sudah terjadi dengan saya” balasku dengan sopan kepada pak dekan. Dari impresi pertamaku, aku bisa yakin kalau pak dekan adalah sosok yang lemah lembut, sabar, dan juga bijak. Hal ini terlihat dari gelagatnya dari tadi yang memasang muka datar dan tak memihak siapapun secara sepihak. Itu hanya tebakanku saja sih. “Ohhh... jadi kau adalah Mbak Killa yang dibicarakan oleh kedua orang ini. Baiklah, saya akan mempersilahkan Anda untuk duduk di ruangan ini untuk menyelesaikan masalah yang terjadi sekarang ini.” Balas Pak Dekan. Aku pun duduk tepat di samping kanan pak dekan membelakangi jendela yang penuh sesak dengan gerombolan orang-orang penasaran di luar. Kami duduk melingkar dengan sebuah meja dan cemilan manis di atasnya sebagai pajangan. Walaupun terlihat enak untuk dimakan, namun aku tak selera saat ini untuk memakannya. Tepat di atas meja pak dekan, ada sebuah papan nama bertuliskan “Prof. Dr. Baich Klein, MT” “Baiklah Mbak Killa. Apakah mbak tahu apa yang mas Reza Pardede ini laporkan kepada saya? Karena jika tidak, saya akan berniat untuk menjelaskannya secara singkat kepada Anda” ucap Pak Dekan dengan lirih. Dia bertindak dengan sangat sopan saat ini sampai-sampai aku kebingungan untuk mencari cara bagaimana meresponnya dengan baik dan benar. “Iya pak, saya ingin Anda menjelaskan secara singkat kepada saya” Jawabku sesingkat mungkin agar tak menghasilkan kata-kata yang terlalu aneh dan malah muncul kata-kata tidak sopan, ”Pagi ini, mas Reza datang kepada kami dan melaporkan kalau dia mengalami sebuah penganiayaan dari Anda dan juga Mas Beno di depan saya ini. Dia melaporkan ada tindak kekerasan yang menimpanya bersama dengan rekan-rekan hima yang lain. Dia tidak terima atas tindakan ini dan mengusulkan agar mengeluarkan mbak dan mas keluar dari universitas ini” Aku benar-benar kaget cerita itu keluar dari mulut manusia busuk itu. Meskipun begitu, aku sudah menduga kalau hal ini akan benar-benar terjadi. Dia tidak akan mungkin menjelaskan kebobrokannya sendiri kepada Pak Dekan sehingga membuatnya kalah dalam diskusi ini. “Hah? saya keberatan dengan pernyataan itu pak. Yang terjadi malah sebaliknya, saya lah pihak yang dianiaya di sini!” balasku protes sambil berdiri menunjuk muka Ketua Hima yang bahkan enggan aku sebut namanya. Seakan-akan nama itu ada dalam daftar nama orang yang tidak akan pernah aku maafkan bahkan saat aku bereinkarnasi menjadi kodok. “Tidak ada benar atau salah dalam hal ini! Semuanya sudah dibuktikan dengan fakta dan kau dapat melihatnya dengan mata kepalamu sendiri sekarang. Atau kau buta tidak melihat luka yang aku berikan gara-gara dirimu? Atau kau tiba-tiba amnesia dan tidak mengingat kejadian yang kau lakukan kemarin hah?” ucap Sang Ketua Hima sambil berdiri ikut menunjukku dengan penuh amarah. “KALIAN SUDAH DIAM! Saya tidak ingin ada keributan dan debat kusir di dalam ruangan ini!” teriak Pak Dekan mencoba menenangkan kami. Aku pun langsung duduk terdiam menuruti kata-kata pak dekan ini. “Kau Reza. Aku tidak ingin mendengar kata-kata darimu lagi. Aku ingin mendengar kronologi dan cerita yang akan disampaikan mbak Killa di sini. Jadi aku akan melanjutkan diskusi ini sampai kau benar-benar berjanji akan tetap diam selama proses diskusi berlangsung. Mengerti?” Ucap Pak dekan mencoba untuk mendisiplinkan kelakuan Ketua Hima. Dia hanya diam tak mengeluarkan kata apa-apa, membuatku puas. “Baiklah Mbak Killa. Saya ingin mendengar cerita tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut versi Anda. Silahkan” Pak Dekan, menyodorkan tangannya kepadaku mempersilahkanku untuk berbicara. “Baik Pak. Jadi kejadian ini dimulai kemarin saat ospek berlangsung. Saya yang memiliki kesalahan tentang peraturan ospek tiba-tiba diangkat keluar dari barisan. Namun berbeda dari barisan orang-orang yang tidak mengikuti peraturan yang lain. Sepertinya ada sekitar 10 anak laki-laki ikut mengantarkanku ke suatu tempat yang sepi termasuk dengan Ketua Hima. Dan saat aku sampai di tempat itu, aku benar-benar dilecehkan sebagai seorang wanita. Dadaku diremas dengan brutal sampai merobek bajuku. Tidak hanya dengan satu orang, namun semua pria yang ada di sana melakukan hal yang sama kepadaku” “Tidak pak. Berandalan ini adalah seorang pembohong. Aku tidak pernah melakukan itu padanya!” teriak ketua Hima kepadaku sambil berdiri dan menunjuk. Dia berteriak dengan sangat keras sampai beberapa air liur keluar dari mulutnya membasahi toples makanan yang ada di meja. Aku yang tidak selera makan sejak awal benar-benar menjadi merasa jijik dan ingin muntah saat itu. untung saja aku bisa menahan untuk melakukannya. “Reza. Apakah kau bisa diam!!” bentak pak dekan kepada ketua Hima. Dia pun langsung menurut dan kembali duduk di kursinya. Bagaikan seekor harimau ompong, dia hanya terlihat menakutkan di luarnya saja, padahal aslinya hanyalah seorang pengecut. “Maaf Mbak Killa, Anda boleh melanjutkan cerita Anda kembali” “Saya benar-benar merasa tak berdaya saat itu pak. Tangan saya diikat sampai-sampai tak bisa bergerak. Saya tidak bisa berpikiran jernih saat itu, saya merasa kalau nasib saya benar-benar akan berakhir dengan buruk di universitas ini. Sebagai seorang wanita, saya juga tidak bisa melawan dengan 10 orang laki-laki di saat yang bersamaan. Saya benar-benar pasrah saat itu. Sampai-sampai cowok ini datang dan menyelamatkanku dari Ketua Hima m***m ini. Dia melawan sendirian 10 orang hanya untuk membebaskanku dari tempat itu” lanjutku. “Jika Anda tak percaya dengan apa yang kukatakan. Anda bisa melihat baju yang saya kenakan sekarang” Aku pun berdiri agar pak Dekan bisa melihat penampilanku dengan jelas. Sebenarnya sedikit malu untuk memperlihatkan penampilanku seperti ini, namun hal ini berguna untuk membuktikan apa yang baru saja kukatakan. “Peraturan ospek mengatakan kalau aku harus memakai kemeja. Namun karena baju yang aku kenakan kemarin sudah hancur. Aku pun terpaksa memakai baju yang kukenakan semasa sma dulu sehingga terlihat ketat saat aku gunakan sekarang. Maaf pak jika saya bertingkah kurang sopan di depan bapak, namun bapak bisa melihat kancing yang aku kenakan ini sudah tidak ada. Saya menggantinya dengan sebuah peniti karena kancing yang lama lepas dari tempatnya” aku menunjuk Dadaku kepada pak dekan. Aku tahu kalau yang aku lakukan ini kurang sopan, namun hanya ini yang bisa aku lakukan. Namun Pak Dekan terdiam. Dia tidak membalas kata-kataku ataupun menjawabnya. Dia seperti sedang berpikir untuk melakukan keputusan yang menurutnya tepat. “Maaf sebelumnya mbak Killa, namun bukti yang Anda gunakan saat ini bukan merupakan bukti yang Valid. Anda tidak bisa memberikan barang bukti berupa baju yang Anda kenakan saat ini. Dan juga, pernyataan Anda tadi tidak bisa menjawab alsan kenapa Ketua Hima bisa babak belur seperti ini. Dia juga membawa bukti yang lebih kuat” Di samping tempat duduk Ketua Hima, ada sebuah ransel besar. Dengan tangan kanannya, dia pun membuka tas itu dengan kepayahan. Hingga akhirnya dia memberikan sebuah surat yang dia sodorkan di atas meja. Dengan muka sinis dan menjijkkan “Ini adalah surat visum. Aku memiliki semua bukti yang sudah kalian lakukan kepadaku. Kalian tidak bisa berdalih lagi setelah ini” Aku benar-benar kebingungan. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? padahal aku ataupun Beno tidak pernah menyentuhnya sama sekali kemarin. Kami hanya menyerang beberapa anak buahnya. Aku pun menoleh ke arah Beno. Dia terlihat sangat pusing sambil menekan dahinya dalam-dalam. Aku merasa aneh dengan dirinya. Aku pun memanggil Beno, “Hei... apa yang sudah kau lakukan?” “Baiklah. Tuntutan dari mas Reza sebetulnya belum saya proses. Karena Mbak Killa sebenarnya amsih belum menjadi Mahasiswa tetap dari universitas ini. Statusnya masih belum masuk ke dalam kelas. Tapi meskipun begitu, saya memutuskan untuk meliburkan Mbak killa dan juga Mas Beno dalam kegiatan perkuliahan di universitas ini untuk sementara. Yang berarti juga Mbak Killa dan Mas Beno tidak boleh mengikuti acara orientasi sampai waktu yang ditentukan” Aku benar-benar kaget dengan keputusan itu. Aku tidak mengira pak Dekan akan mengatakan sesuatu seperti itu. “Tapi pak!” ucapku ingin protes. Namun Pak Dekan langsung berdiri dan melangkah menuju pintu ruangan. “Baiklah saya rasa diskusi ini sudah selesai. Kalian bertiga boleh keluar dari ruangan ini!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN