Chapt 8. Chandly's Past 2

2926 Kata
Dia masih sempat mematut dirinya di cermin rias panjang yang juga ada di sana. “Sudah pas! Okay! Let’s go, Chandly!” Ucap Chandly seraya menyemangati dirinya sendiri.             Dia lalu berjalan keluar dari sana. Dan melangkahkan kakinya menuju pintu kamarnya sambil bergumam pelan. “Semoga Mas Gilang tidak meninggalkanku.” Gumamnya pelan lalu membuka knop pintu kamarnya. Ceklek!             Dia kembali menutup pintu kamarnya. Dan segera berjalan menuruni anak tangga. Dia yakin, Mas Gilang nya pasti sedang menunggunya di dapur bersama dengan yang lain, pikir Chandly.             Saat dirinya mulai berjalan menuju dapur. Chandly mengernyitkan keningnya, dengan langkah kakinya menuju dapur. Semua mata tertuju padanya.             Dengan sikap yang biasa saja, Chandly memasuki dapur dengan menyapa mereka semua. “Hallo guys. Good morning everybody.” Sapa Chandly bersuara ramah melangkahkan kaki jenjangnya menuju wanita yang saat ini tengah menatapnya datar. “Pagi, Mommy.” Sapa Chandly kepada wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya, Chandani Oyuri.             Dia mengecup pipi kanan dan kiri Mamanya. Dan kembali membuka suaranya. “I love you, Mom.” Ucapnya lagi, dan kembali melangkahkan kakinya menuju Eyang Utinya, Arisha Cantara.             Chandani hanya diam dengan wajah datarnya, sambil menghela panjang nafasnya.             Zhain dan yang lain, mereka melihat ekspresi tak biasa dari wajah Chandani. Tersirat banyak pertanyaan yang ingin dia lontarkan untuk dokter cantik bertubuh tinggi semampai itu. “Morning, Eyang.” Ucapnya mengecup pipi kanan dan kiri Arisha, dan direspon senyuman serta pelukan hangat dari Arisha untuk cucu satu-satunya Chandly Yuria Afnan. “Morning, Cantik.” Jawab Arisha mengelus pelan lengan telanjang cucunya itu.             Secara bergantian dia menyapa semua orang yang sudah berkumpul di meja makan  itu. Setelahnya dia kembali berjalan mendekati sang Mama, Chandani.             Dengan menyengir sambil menatap mereka semua, dia kembali membuka suaranya. “Kenapa ngeliatinya macam mau mangsa Chandly gitu sih ?” Tanya Chandly dengan suara tertawa pelan.             Seketika dia menegukkan salivanya dengan susah payah. Terasa tercekik saat tatapan tajam mereka mengisyaratkan sebuah pertanyaan untuk dirinya. Dan dia mulai membathin. ‘Kenapa semua pada ngeliati aku kayak gini sih ? Apa mereka tahu niat ku pergi ke toko buku ?’ ‘Ah masak iya tau sih ? Tau dari mana coba ?’ Bathin Chandly seraya bertanya-tanya dalam hatinya.             Zhaka yang paham kondisi, dia membuka suaranya untuk membuyarkan keheningan mereka semua. “Sayang, kamu mau makan apa ? Ini, Mama kamu masakin udang pedas manis untuk kamu.” Ucapnya lalu menyodorkan piring berbahan keramik putih itu ke arah Chandani, seraya menyuruh menantu satu-satunya itu untuk menyiapkan sarapan pagi untuk cucunya.             Chandani yang mengerti, tanpa berkata apapun dia langsung mengambil nasi dan menu favorit putri kesayangannya, Chandly Yuria Afnan.             Zhain juga ikut membuka suaranya, dan mengalihkan perhatian mereka. “Jadi, kalian mau pergi ke toko buku mana ?” Tanya Zhain seraya melirik putrinya sekilas, dan beralih menatap Gilang yang sedang mengunyah buah di mulutnya.             Gilang membuka suaranya. “Tidak tahu Om.  Tanya tuh sama anaknya yang pelupa.” Sindir Gilang melirik sekilas adik sepupu yang sangat dia sayangi itu.             Chandly sigap membalas. “Enak aja pelupa!” Desis Chandly bersuara malas dengan wajah tidak sukanya.             Semua menggelengkan pelan kepalanya melihat Gilang dan Chandly yang selalu bertengkar setiap mereka berjumpa.             Chandani kembali membuka suaranya. “Segini cukup, Sayang ?” Tanya Chandani lembut menaruh udang pedas manis di piring putrinya, sambil menatap wajah cantik putrinya yang bermake up tipis.             Chandly kembali membuka suaranya. “Hmm… Cukup lah, Mom. Nanti kalau lapar, Mas Gilang bakal traktir Chandly makan di warung biasa.” Jawabnya tanpa berdosa, menarik piringnya ke arahnya, dan direpson lirikan tajam oleh Gilang. “Bayar sendiri!” Ketus Gilang santai.             Zhaka dan Zhain hanya bisa menggelengkan pelan kepalanya melihat tingkah mereka berdua.             Chandly hanya diam, dan tidak menjawab lagi. Dia masih asyik melihat gerakan tangan Mamanya yang meletakkan nasi dan sayur di atas piringnya.             Arisha, dia kembali membuka suaranya. “Oh iya, Galang sudah lama tidak datang kemari ya, Lang ?” Tanya Arisha padanya, dan segera dijawab oleh Gilang. “Iya, Eyang. Dia banyak ngikuti kegiatan ekstrakulikuler. Kadang dia pulang malam, sama Gilang juga, Gilang jemput dia di kampusnya.” Jawab Gilang seraya menjelaskan detail, dan diangguki iya oleh Arisha.             Mereka semua hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka.             Chandly, dia kembali membuka suaranya. “Dad, nanti Daddy duluan saja ke Rumah Sakitnya. Chandly mungkin agak lama di toko buku. Kalau sudah dapat bukunya, kami langsung pulang. Nanti Chandly naik mobil sendiri aja.” Ucap Chandly lalu menengadahkan kedua tangannya seraya berdoa sebelum makan.             Chandani memandang lekat putri semata wayangnya yang sedang fokus berdoa.             Arisha dan yang lain melihat Chandani, dan mereka saling melempar pandangan.             Setelah selesai dari acara doanya, Chandly memegang sendok dan garpunya dan mulai memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.             Zhain membuka suaranya. “Kalau begitu biar Daddy tunggu di rumah saja. Pergi bareng Papa.” Ucap Zhain seraya memutuskan, menatap putri semata wayangnya itu. Chandly, dia mengendikkan bahunya. “Ya sudah, Dad. Nanti Mas Gilang ngantar Chandly sampai ke rumah lagi kok, iya kan Mas Gil ?” Tanya Chandly sambil sekilas melirik Gilang. “Hmm…” Jawab Gilang hanya dengan suara dehemannya saja. Dia lalu mengunyah makannya sambil melihat Mamanya yang masih menatapnya lekat. Dalam kunyahannya, dia membuka suaranya. “Why, Mom ? Apa ada yang salah ?” Tanya Chandly memandang Mommy nya, lalu kembali mengedarkan pandangan matanya kepada mereka semua yang sesekali meliriknya.             Mendengar kalimat putri semata wayangnya yang duduk di sebelahnya, Chandani mulai membuka suaranya. “Iya Sayang. Ada yang salah.” Jawab Chandani sambil menyibak rambut panjang putrinya yang tergerai ke depan, saat putrinya hendak menundukkan tubuhnya ke meja.             Semua orang terdiam mendengar penuturan Chandani.             Tetapi berbeda dengan Chandly yang terlihat biasa saja. Chandly kembali membuka suaranya, tanpa menatap Mamanya yang kini masih menatapnya lekat. “Apa yang salah, Mom ? Mommy kalau bicara jangan setengah-setengah dong, Mom.” Ucap Chandly lagi santai, masih asyik dengan sarapan paginya.             Zhain menatap lekat istrinya. Dia tahu kalau istrinya sedang dalam keadaan menahan banyaknya pertanyaan yang ada di benaknya saat ini. Sama sepertinya dirinya.             Chandani kembali membuka suaranya. “Pakaian mu, Sayang. Ini terlalu pendek.” Ucapnya menggoyangkan hotpants biru Chandly. “Ini terlalu ketat. Lihat tubuhmu jadi terlihat berbentuk.” Ucap Chandani menarik kecil baju putih tipis putri semata wayangnya.             Tubuhnya yang menghadap putri kesayangannya itu membuat Chandani terlihat mudah menatap wajah sendu putrinya. Melihat apakah putrinya memang sengaja menyembunyikan sesuatu darinya atau tidak.             Tetapi sedari tadi dia meneliti wajah putrinya. Sama sekali tidak tersirat kebohongan di mata putrinya. Bahkan gerak-geriknya tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali.             Chandly, mendengar kalimat Mamanya, dia kembali membuka suaranya. “Tidak pendek, Mommy. Ini memang segini. Karena Chandly tambah tinggi. Lagi pula Chandly jarang-jarang pakai baju beginian. Sekali-sekali kan tidak apa-apa, Mom.” Jawab Chandly dan direspon gelengan kepala oleh mereka semua.             Chandani hanya bisa menghela panjang nafasnya. Putrinya selalu memiliki seribu alasan agar setiap penampilannya yang terlihat terbuka dan ketat tidak diomeli oleh dirinya.             Semua orang yang ada disana sangat paham bagaimana karakter seorang Chandly Yuria Afnan. Wanita yang berprofesi sebagai dokter umum itu, selalu lihai dalam membuat sebuah alasan. Kecerdasannya sungguh tidak bisa diragukan lagi dalam hal apapun, terutama membuat seribu alasan yang melogika.             Setelah mereka menikmati sarapan pagi mereka, Gilang dan Chandly pamit pergi kepada mereka semua. “Om, Tante, Eyang. Kami berangkat dulu.” Ucap Gilang lalu berjalan mendekati Zhaka dan mencium tangan kanannya seraya berpamitan. Gilang menyalami mereka satu persatu.             Begitu juga Chandly yang menyalami mereka satu persatu. Namun saat dia menyalami Mamanya, wanita yang sangat menyayangi dirinya itu kembali membuka suaranya. “Sayang, ganti dulu pakaianmu. Ini terlalu terbuka.” Ucap Chandani mengelus wajah cantik putri semata wayangnya itu.             Chandly hanya menyengir dan tidak mau membahasnya. “Mom, Chandly sebentar saja. Setelah membeli bukunya. Chandly langsung balik ke rumah Mom.” Ucap Chandly lalu mencium pipi kanan dan kiri Mamanya, Chandani.             Chandani kembali menghela panjang nafasnya. Sungguh putri semata wayangnya ini sangat keras kepala dan susah diatur.             Dia tidak habis pikir, sifatnya putri semata wayangnya ini memang sudah keturunan atau memang karena terlalu sering dimanja oleh para kakek dan neneknya. Mengingat dirinya tidak bersifat seperti itu. Apalagi suaminya yang justru bersifat pengertian dan mau menerima nasihat dari orang tuanya. “Ya sudah. Ingat, jangan jauh-jauh dari Mas Gilang. Okay.” Ucap Chandani seraya memberi izin. “Siap!! Mommy!!” Teriak Chandly antusias.             Semua orang hanya bisa menggelengkan pelan kepalanya melihat tingkah Chandly yang sungguh. Dan Zhain kembali membuka suaranya. “Ingat, jangan  jauh-jauh dari Mas Gilang.” Pesan Zhain lagi pada putri semata wayangnya itu. “Iya, Daddy. Tenang saja, Dad.” Jawab Chandly seraya memastikan.             Chandani kembali membuka suaranya. “Mas Gilang. Jangan jauh-jauh dari Chandly ya, Mas.” Ucap Chandani berpesan kepada Gilang.             Gilang mengangguk iya seraya mengerti. “Siap, Tante. Anak ini selalu Gilang rantai, Tan. Kalau sudah pergi sama Gilang.” Ucap Gilang lalu tertawa kekeh. Dia tidak habis pikir, pasalnya semua orang sungguh sangat menyangi Chandly dengan berlebihan. Kakek dan neneknya, bahkan Mamanya dan Tante Sahya, mereka semua sangat menyayangi Chandly seakan wanita berusia 24 tahun itu masih berusia balita. Penjagaan yang sangat ketat. Bahkan pelaporan setiap kegiatan wanita yang akrab disapa Chandly itu selalu rutin ditanya oleh keluarganya. Setelah berpamitan dengan semua keluarganya, mereka pun pergi menuju toko buku yang diincar oleh Chandly. Dengan menggunakan mobil Gilang, Chandly tidka harus bersusah payah untuk menyetir seorang diri. … Di dalam perjalanan.,             Walau fokusnya masih pada jalanan yang sedikit ramai di depan matanya, tetapi sesekali dia masih melihat ke samping kirinya. Adik sepupunya yang terlihat sangat fokus pada sebuah n****+ yang berjudul Destiny And Love.             Keseriusan seorang dokter cantik bernama Chandly itu, membuat Gilang akhirnya membuka suaranya. “Ken, serius amat ? Mas Gil hampir muak. Yang dibaca selalu buku yang sama.” Ucap Gilang seraya mengatakan yang ada di hatinya.             Chandly mendengarnya, namun tidak terlalu menggubrisnya. “Hmm… Bentar, Mas Gil.” Jawab Chandly singkat bernada malas, seakan tidak mau jika konsentrasinya terpecah.             Gilang hanya bisa menghela panjang nafasnya saja mendengar adik sepupunya yang masih bersikap sama. “Iya, sebentar mu itu. Bakal buat kita sampai di toko buku.” Ucap Gilang dan direspon lirikan sekilas oleh Chandly.             Gilang melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, sambil mendengarkan musik bernada slow. Sesekali dia bergumam pelan dan melirik ke samping. Dia mneghela panjang nafasnya. ‘Kau ini masih sama, Chandly. Sudah besar, tetapi sikapmu masih seperti dulu. Membuatku gemas.’ Bathin Gilang menerbitkan senyuman kecil di kedua sudut bibirnya. *** Rumah Zhakaria Afnan, Jakarta, Indonesia., Kamar Zhain dan Chandani., Pagi hari.,             Seorang wanita baru saja keluar dari kamar mandi meletakkan pakaian kotor yang tersimpan di walk in closetnya. Pandangan matanya teredar menatap suaminya yang sudah berbalut jas rapi, sedang berada di kursi kebesarannya, di ruangan kerja kecilnya, di kamar mereka.             Wanita itu menerbitkan senyuman kecil di wajahnya yang sungguh masih terlihat muda. Dia mulai membuka suaranya. “Mau pergi jam berapa, Mas ? Lihat ini sudah jam 8.” Ucap wanita yang disapa Chandani itu sambil berjalan menuju meja kerja suaminya.             Pria yang berfokus terhadap berkas-berkas yang ada di tangannya itu, kemudian teralihkan dengan suara wanita yang sangat dia cintai itu. “Iya, Sayang. Mungkin Mas tidak jadi berangkat ke kantor. Menunggu Chandly pulang saja.” Jawabnya menampilan senyuman manisnya kepada wanita yang sudah mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengurus keluarga kecilnya itu, Chandani Oyuri. Kemudian dia kembali beralih menatap berkas-berkasnya lagi.             Chandani, dia tersenyum mendengar jawaban dari suaminya itu. Kakinya terus melangkah mendekati pria yang selalu mendampingi hidupnya dan yang selalu mendengar keluh kesahnya itu.             Setelah berada dalam jarak yang begitu dekat, dia memeluk suaminya dari samping. Dia membungkukkan tubuhnya agar bisa merasakan betapa wanginya parfum suaminya yang selalu menjadi candung setiap saat.             Dia kembali membuka suaranya. “Mas, masih sangat sibuk ya ?” Tanya Chandani melihat berkas-berkas yang sedang diperiksa oleh suami tercintanya. Memeluknya dari samping kiri suaminya, melingkarkan kedua tangannya pada leher suaminya. Dan merapatkan kepalanya pada pundak suaminya.             Pria bernama Zhain Afnan itu lalu nenghela panjang nafasnya. Dia yakin istrinya pasti mau berbicara sesuatu padanya. “Ada apa, Sayang ? Mau bicara sesuatu hmm ?” Tanya Zhain mengelus pelan lengan istrinya, dan direspon anggukan iya oleh istrinya, Chandani.             Zhain segera menutup berkas itu. Dan meletakkannya rapi di atas meja kerjanya. Dia segera beranjak dari duduknya, dan mengarahkan mereka untuk duduk di sofa panjang yang ada disana.             Mereka mendaratkan b****g mereka disana.             Chandani terlihat menghela panjang nafasnya, dan mulai membuka suaranya. Karena dia tahu, suaminya sudah bisa menebak apa yang ingin dia tanyakan. “Mas…” Ucap Chandani memposisikan duduknya miring, menghadap suaminya yang kini sudah menatapnya lekat. “Iya, Sayang. Mau cerita soal studi lanjutan putri kita, hmm ?” Tanya Zhain membelai lembut wajah cantik istrinya, dan direspon anggukan kepala.             Zhain menghela panjang nafasnya. Dia kembali membuka suaranya. “Sayang…” Ucap Zhain dan disela cepat oleh istrinya, Chandani. “Mas, adek tidak mau kalau Chandani meneruskan studinya di Luar Negeri. Di Jakarta saja bisa kan, Mas ? Tidak harus berada jauh dari kita. Adek bisa tidak nyaman, Mas. Mikirin Chandly setiap hari.” Ucapnya dengan nada sungguh-sungguh. “Dia selalu pulang terlambat saja, adek sudah stress mikirinnya. Gimana nanti kalau dia tidak nampak di mata adek ? Coba Mas bilang sama dia. Untuk kuliah disini saja.” Ucap Chandani seraya meminta bantuan suaminya untuk membujuk anak semata wayang mereka.             Zhain menghela panjang nafasnya. “Iya, Sayang. Nanti Mas nasehati dia. Lagi pula, mungkin yang dikatakan Gilang itu hanya  keinginan Chandly saja. Chandly pasti tahu, kalau kita tidak mungkin mengizinkan dia untuk kuliah di Luar Negeri.” Jawab suaminya dan direspon diam oleh istrinya, Chandani. “Jadi, jangan banyak pikiran. Jangan pikirkan apapun, hmm ?” Tanya Zhain lagi pada istrinya dan masih tetap direspon diam oleh wanita yang sangat dia cintai itu.             Chandani kembali membuka suaranya. “Nanti, adek harus bicarakan ini sama Chandly. Adek tidak mau kalau dia sudah menyiapkan pembekalan kuliahnya ke Luar Negeri. Adek tidak akan izinkan dia.” Ucap Chandani seraya memutuskan.             Zhain tersenyum melihat istrinya yang sungguh ketakutan jika putri mereka meninggalkannya, walau dengan alasan untuk meneruskan pendidikan spesialinya.             Dia kembali membuka suaranya. “Ya sudah, Sayang. Nanti malam, sesudah makan malam. Sayang tanya putri kita. Biar semuanya jelas. Dan Sayang tidak terbebankan pikiran lagi, hmm ?” Ucap Zhain seraya memberikan saran untuk istrinya.             Chandani mengangguk iya seraya paham.             Beberapa detik mereka terdiam, membuat Chandly mendongakkan kepalanya menatap suaminya. Dia kembali membuka suaranya. “Mas…” Sapa Chandani menatap lekat suaminya. “Iya Sayang. Ada yang mau dibahas lagi ?” Tanya Zhain masih terus menampilkan senyuman khasnya untuk istri tercintanya.             Mendengar pertanyaan suaminya, membuat Chandani hanya mengangguk iya sebagai jawaban. “Katakan, Sayang. Jangan dipendam. Dan jangan tekuk wajahmu seperti ini.” Ucap Zhain membelai lembut wajah istrinya. Dan sesekali menyentuh bibir berwarna peach istrinya.             Chandani memajukan tubuhnya semakin mendekati suaminya.             Zhain menaikkan satu alisnya. Pergerakan istrinya sudah dia hapal luar kepala. “Ada apa, Sayang ?” Tanya Zhain masih berpura-pura tidak mengerti.             Chandani, tanpa berpikir panjang dia beranjak dari duduknya. Dan mulai menaiki suaminya. Dia duduk di paha suaminya, mengalungkan kedua tangannya di lehr suaminya.             Zhain tersenyum mendapat perlakuan tiba-tiba istrinya. Dia tahu istrinya mengingkan hal itu. sama seperti dirinya yang sudah berpuasa selama satu minggu untuk menahan hasratnya.             Chandani mulai membuka suaranya. “Mas, adek sudah bersih.” Ucap Chandani seraya memberitahu suaminya, dengan kedua jemarinya mulai mengelus pelan pundak suaminya yang mulai meremas kedua bokongnya. “Aaahhh…” Desahan mulai lolos dari bibir Chandani seraya menikmati remasan dari suaminya.             Zhain mulai memasang wajah datarnya melihat istrinya yang sudah mulai b*******h. Dia menaikkan dress sebatas betis milik istrinya. Dan mulai menyusupkan kedua tangannya mengelus b****g istrinya yang sudah telanjang dan hanya mengenakan celana dalam saja. Zhain kembali membuka suaranya. “Tidak pakai hotpants ?” Tanya Zhain dengan nafas yang mulai memburu. “Sudah adek lepas.” Jawab Chandani singkat dan langsung meraup bibir seksi suaminya yang masih berwarna sama, dan tidak berubah. “Hhmmpphhhtttt” “Aaahhh… hhmmmpphhtt”             Ciuman memabukkan dari istrinya membuat hasrat Zhain sudah berada di ubun-ubun. Seakan tidak sabar, Zhain menaikkan dress istrinya, dan melepasnya dari tubuh mungil dan indah istrinya yang masib terlihat seksi di matanya.             Kedua mata Zhain berbinar melihat putih dan mulus tubuh istrinya yang masih berbalut bra dan celana berwarna merah menyalanya. “Kau masih sama, Sayang.” Ucap Zhain menatap sekilas istrinya.             Chandani, dia memajukkan tubuhnya seraya menyuruh suaminya untuk mencecap leher dan dua gundukkannya. Sungguh dia sendiri pun sudah sangat menginginkan hal ini sejak dua hari yang lalu.             Zhain yang mengerti, kesempatan emas ini sungguh tidak dia sia-siakan. Dia menghirup lama aroma parfum yang melekat di leher istrinya. Dengan kedua tangannya mulai membuka kaitan bra berwarna merah menyala itu.             Sungguh dirinya sendiri sudah berada di ambang gairah. “Sayang, kau selalu wangi.” Ucap Zhain seraya memberitahu istrinya yang sudah mulai membuka jas suaminya. “Mas, tidak bisakah Mas bertelanjang saja ?” Tanya Chandani dengan nafas tersengalnya membuka kemeja suaminya.             Zhain tertawa pelan melihat istrinya yang kian hari kian bernafsu terhadap dirinya. Dia sungguh senang, karena selama ini selalu istrinya yang memintanya duluan tanpa dia harus memberikan kode hasrat kepada istrinya.             Tanpa memberi aba-aba, Zhain memegang tubuh istrinya dan mulai beranjak dari sofa panjang itu.             Chandani hanya diam dalam gendongan suaminya. Bibirnya spontan mencium kembali bibir suaminya. “Hhhhhh hhhhhh hhhhhh.” Desah Chandani dalam sela-sela ciuman mereka.             Zhain membawa istrinya ke ranjang, dan menurunkannya disana. Masih dalam posisi berdiri, Zhain mulai membuka semua pakaiannya tepat dihadapan sang istri.             Chandani, dia mulai melepas celana dalamnya dan melemparnya ke sudut king size mereka.             Saat suaminya, Zhain sudah dalam keadaan naked. Dan mulai naik ke ranjang merundukkan tubuhnya.             Istrinya langsung mengincar bibirnya dan mengalungkan kedua tangannya pada leher istrinya.             Dalam ciuman mereka, perlahan Zhain menaiki ranjang. Sedangkan istrinya, Chandani berusaha untuk mundur ke belakang seraya memberi akses suaminya untuk semakin mendekatinya.             Chandani merebahkan tubuhnya disana. Ciuman itu sangat lembut. Namun hisapan diantara benda kenyal itu menimbulkan bunyi sebagai tanda bahwa di dalam sana sudah saling bertukar saliva.             Masih mengukung istrinya di bawahnya. Dengan berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya, kedua tangan Zhain mulai bermain pada dua gundukan kenyal itu. “Aaaahhh…” Desah Chandani seketika melepas ciuman mereka.             Keinginan yang sungguh tidak tertahan, membuat Chandani semakin liar dan menginginkan lebih.             Zhain masih menikmati remasannya pada dua gundukkan itu. Dia merundukkan tubuhnya, dan mulai meraupnya, Menghisapnya benda bulat kecil disana. Dan mempermainkannya dengan ujung lidahnya, hingga sang empunya mendesah ringan. “Aaahh Masss…” Desah Chandani mendongakkan kepalanya merasakan nikmat yang melepas gairah membaranya.             Zhain semakin menghisapnya kuat. Rintihan seksi istrinya sungguh mengancam libidonya untuk bergerak semakin liar. Menghisapnya kuat dan menariknya ke atas, hingga kenikmatan itu membuat istrinya semakin meremas kuat rambutnya. “Aaahhh iyaaa Masss… Oowwhhh…” Chandani masih terus memejamkan kedua matanya, merasakan miliknya yang terarik kuat oleh hisapan kasar suaminya. “Lagi Sayang... Aaahhh…” Desah Chandani seraya menyuruh suaminya untuk melakukannya lagi.             Zhain tertawa sinis mendengar permintaan istrinya yang selalu menagih gerakannya. Dia menghentikan aktivitasnya, menegakkan tubuhnya. Melihat manik gairah istrinya yang jelas terlihat disana.             Chandani menggelengkan pelan kepalanya dengan wajah memohon.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN