Azzura Abraham Althaf's Family
..**..
Dia selalu berteriak setiap pagi, untuk membangunkan ketiga pria yang sangat dia sayangi. Siapa lagi kalau bukan suami yang dicintainya serta kedua putranya yang sudah menginjak kepala dua.
Merupakan kegiatan rutinnya membenahi jadwal ketiga prianya itu. Apalagi disaat seperti ini, dimana mereka hanya tinggal berempat di mansion yang sangat luas ini. Bahkan bisa dikatakan, mereka hanya ditemani dengan banyaknya para maid dan bodyguard mereka saja.
..**..
Azzura Abraham Althaf, kepala keluarga yang kini memegang kendali besar atas Mansion Abraham Althaf dan Althafiance Corporation. Sejak semua warisan itu jatuh di tangannya.
Dia yang juga memiki dua anak laki-laki sebagai penerus darah Abraham Althaf. Hasil buah cintanya dengan wanita yang sangat dia cintai, wanita yang bernama Adyanta Nawwar Rizky.
Mereka berdua menjadi satu keluarga yang harmonis dengan dua anak laki-laki mereka yang sudah menginjak kepala 2. Mereka juga yang mengatur segala hal yang berhubungan dengan perusahaan Althafiance sebagai amanah yang sudah diberikan oleh almarhum keluarga mereka, Kakek mereka, Abraham Althaf.
Pria yang akrab disapa Zu, dia bahkan tidak mau menikmatinya sendiri. Dan membagikan sebagian dari warisan itu kepada sang Kakak, Asyafa Abraham Althaf. Walaupun sekarang sang Kakak sudah resmi menjadi Nyonya Asyafa Al-Bakhri. Dia tidak melupakan hal Kakaknya atas semua warisan itu.
Sang Kakak yang akrab disapa Asyafa, dia sudah berulang kali menolaknya. Begitu juga suaminya yang akrab disapa Fakra. Mengingat bisnis suaminya juga merajalela. Mereka takut tidak mampu menjalani sebagian dari warisan itu.
Karena paham keadaan, akhirnya Zu memutuskan untuk mengalihkan perusahaannya yang berada di Dubai agar bisa dikelola oleh sang Abang Ipar, Fakra. Sebagai bentuk peralihan warisan yang seutuhnya menjadi miliknya.
Zu dan Anta, kini hidup mereka dihiasi dengan sejuta materi. Namun sangat sempit bagi mereka untuk berkunjung menemui sanak saudara mereka yang berada di Negara yang berbeda.
Bagaimana pun kehidupan mereka, mereka selalu mensyukurinya. Sekaligus mengingat semua pesan-pesan almarhum dan almarhumah Kakek dan Nenek mereka yang sampai sekarang selalu menjadi panutan hidup mereka, dalam mengarungi biduk rumah tangga.
---**---
Presbyterian New York Hospital of Columbia and Cornell, New York, USA.,
Ruangan Inap VVIP.,
Malam dini hari.,
Semua orang sudah menangis di ruangan tamu di kamar inap VVIP yang sangat mewah itu. Sebagian dari mereka sudah ikhlas dengan apa yang akan terjadi kepada sosok pria yang mereka kenal dengan kedermawanan serta ketampanannya saat di usia muda.
Zharif dan Syarifah masih berada di dalam kamar itu. Dimana terdapat lelaki yang sudah berada di ujung nafasnya yang didampingi dengan seorang wanita yang juga berusia sama, Uzma Althaf.
Dan satu pria lagi, dia masih setia memeluk sang istri yang terus menangis dalam dekapannya. Wanita yang telah melahirkan darah dagingnya, hasil buah cinta mereka berdua.
Dia membuka suaranya.
“Sudah, Hon…”
“Jangan menangis lagi…”
“Kita tidak bisa mengelakkan takdir Tuhan.” Ucapnya mengelus pelan punggung sang istri. Sesekali dia mengecup lama puncak kepalanya.
Azzura Abraham Althaf dan Adyanta Nawwar Rizky, mereka tengah mengalami duka karena keadaan yang mengharuskan mereka untuk mengikhlaskan kepergian sang Grandpa yang dulu sangat mendukung hubungan mereka. Mereka sangat terpukul, tapi mereka harus siap menerima semua keadaan ini.
Wanita yang akrab disapa Anta, dia kembali membuka suaranya.
“Mas…”
“Apakah Allah harus mengambil Grandpa secepat ini ?” Ucapnya dengan air mata yang masih deras mengalir di kedua sudut matanya yang sudah membengkak.
Zu menggelengkan pelan kepalanya. Dan terus mendekap sang istri.
“Hon…”
“Aku mohon jangan seperti ini…”
“Relakan Grandpa…”
“Semua yang bernafas pasti akan kembali pada-Nya.” Gumam Zu pelan berbisik di telinga sang istri, seraya mengingatkan.
Anta semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh atletis sang suami.
Paul dan Keyla, Qadir dan Nur, Fakra dan Asyafa. Mereka semua sudah hadir di ruangan tamu, di ruangan VVIP itu. Begitu juga beberapa anggota keluarga Althaf yang lain, yang ada disana.
Tidak untuk para anak kecil. Tentu saja mereka diungsikan di ruangan lain, yang lebih nyaman. Dan mengingat jam sudah sangat malam. Mereka semua juga masih tertidur lelap.
Tidak lama berselang waktu, suara knop pintu dari ruangan inap intensif itu terbuka.
Ceklek…
Keluarlah tiga orang dewasa dari dalam sana. Dan seorang pria, dia membuka suaranya.
“Azur…”
“Grandpa mau bicara denganmu, empat mata.” Ucap pria itu, Zharif. Dia mendorong kursi roda yang tengah diduduki oleh sang Ibu, Uzma.
Mereka semua menoleh ke sumber suara. Termasuk Zu, yang mendengar kalimat dari sang Daddy barusan.
Dia langsung mendongakkan wajah sang istri. Dan membuka suaranya.
“Honey…”
“Kau bersama Mommy dulu disini ya…”
“Grandpa memanggilku.” Ucap Zu menyapu sisa-sisa air mata di wajah sang istri dan segera diangguki iya oleh istrinya, Anta.
Anta menegakkan tubuhnya. Dan membenarkan posisi duduknya.
Mereka semua diam melihat pria bertubuh tinggi dan proporsional, berpakaian kaus putih dan celana biru dongker sebatas lutut. Pria itu masuk ke dalam kamar inap intensif itu.
…
Dia berjalan menuju ranjang berukuran sedang, dengan senyuman mengembang menghiasi wajah tampannya. Dia membuka suaranya.
“Grandpa merindukanku ?” Ucap Zu seraya berbasa-basi dengan sang Grandpa.
Mendengar kalimat sang cucu kesayangannya, Abraham tersenyum dan mengangguk iya.
“Kemarilah, Azur…”
“Grandpa ingin lebih dekat dengan cucu kesayanganku yang satu ini…”
“Untuk terakhir kalinya.” Ucapnya dengan kedua tangannya terangkat, seraya ingin memeluk sang cucu.
Zu menggelenggkan pelan kepalanya seraya mengatakan tidak. Dia langsung duduk pada pinggiran ranjang. Membungkukkan tubuhnya, dan memeluk tubuh sang Grandpa yang sudah lemah dan tidak berdaya.
Dia membuka suaranya.
“Grandpa harus kuat…”
“Aku mohon jangan bicara seperti tadi…”
“Aku mohon bertahanlah lebih lama lagi.” Ucapnya bernada pelan, lalu melepas pelukan mereka. Dia lalu menggenggam erat kedua tangan sang Grandpa. Dan mengecupnya berulang kali. Dia kembali melanjutkan kalimatnya.
“Aku mohon, Grandpa…” Ucapnya dan disela cepat oleh Abraham.
“Cucuku…”
“Dengarkan aku…” Ucapnya membuat Zu diam, menatapnya lekat. Dia melepas tangan kanannya. Dan membelai wajah tampan nan rupawan sang cucu.
Zu, dalam diam dia menatap sepuas-puasnya wajah sang Grandpa yang selama ini selalu mengajarinya banyak hal. Dia tahu, sangat tidak memungkinkan jika dirinya berharap banyak untuk keadaan sang Grandpa saat ini. Tapi yang dia tahu, harapan dan doa adalah satu jalan yang berhak dilakukan oleh semua orang.
Abraham masih melanjutkan kalimatnya.
“Cucucku…”
“Hidup ini berproses…”
Dia tersenyum ramah pada sang cucu yang tentu mewarisi darahnya.
“Dan setiap manusia wajib melanjutkan hidupnya, sampai dia diwajibkan untuk kembali kepada Sang Pencipta. Kau lupa itu, hmm ?” Ucap Abraham dan direspon gelengan kepala oleh Zu seraya mengatakan tidak lupa.
Abraham tersenyum. Dan kembali membuka suaranya.
“Aku sudah bahagia…”
“Bahkan sangat bahagia…” Ucapnya pada sang cucu yang dia tahu, kalau cucunya tengah menahan air mata di pelupuk matanya.
Zu, dia menghela panjang nafasnya. Dia sendiri sudah siap kalau harus kehilangan sosok sang Grandpa untuk selama-lamanya.
“Aku sudah melihat kedua buyutku yang sangat tampan sepertimu…”
“Penerusku…” Ucapnya lirih dengan air mata menetes di kedua sudut matanya.
Zu segera menghapusnya, tanpa ucapan sedikit pun.
Abraham masih terus membuka suaranya.
“Ini adalah pesan terakhir ku…”
“Untukmu, cucuku…” Ucapnya dan diangguki iya oleh Zu. Dia kembali melanjutkan kalimatnya.
Dan Zu mulai mendengarkan semua kalimat sang Grandpa. Mencoba menelaah semua ucapannya. Dan menyimpannya di memori otaknya.
“Kau adalah penerus darahku…”
“Bantu Daddymu menjaga harkat dan martabat keluarga kita…”
Zu segera mengangguk iya.
“Jangan lupa untuk tetap rendah hati, dan bersedekah…”
“Membagikan setengah dari rezeki kita untuk orang-orang yang tidak mampu…”
Zu tetap mengangguk iya. Walaupun pada kenyataannya, sangat sulit baginya untuk rendah hati pada orang-orang yang lebih banyak bermuka dua di muka bumi ini, bahkan keluarganya sekalipun.
“Azur…” Ucapnya masih membelai wajah sang cucu.
“Kau harus menjaga nama baik keluarga kita…”
“Jaga keluarga mu…”
“Istri dan anakmu…”
Zu segera mengangguk iya dengan gerakan lambat.
Abraham, dia menghela panjang nafasnya.
“Jangan hanya sekedar membahagiakan dan memanjakan mereka dengan materi…”
“Tapi kau juga harus menuntun mereka…”
Zu kembali mengangguk iya.
“Apa yang salah, tetap harus disalahkan…”
“Dan dibimbing…”
“Dan…”
Dia tersenyum menatap lekat sang cucu.
“Aku sudah salah membimbingmu dulu, kau ingat ?”
“Saat aku mengizinkan kau melakukan itu pada cucu menantuku sebelum kalian menikah…”
Zu tertawa pelan. Dan mengelus pelan tangan kiri sang Grandpa.
“Ingat, Azur…”
“Tanamkan jiwa tanggung jawab pada diri kedua buyutku…”
“Tetap ajarkan mereka cara berkasih sayang yang benar…”
“Ajarkan mereka cara menghargai sebuah keluarga…”
“Dan cara untuk mengajari mereka…” Ucapnya terhenti sesaat. Dan mengacungkan jari telunjuknya. Menusuk-nusuk d**a bidang sang cucu.
“Dimulai dari dirimu sendiri.” Ucapnya mencetak senyuman di wajahnya yang pucat.
Zu langsung mengambil tangan kanan sang Grandpa. Dan mengecupnya segera. Dia membuka suaranya.
“Aku akan mengingatnya.” Gumamnya pelan. Memejamkan kuat kedua matanya. Dan menundukkan kepalanya ke bawah. Tubuhnya masih membungkuk di hadapan sang Grandpa, Abraham.
Abraham, dia tahu kalau cucunya sangat sigap dan cepat tanggap untuk semua ucapannya barusan. Dia membiarkan sang cucu terus melanjutkan kalimatnya.
“Aku paham, Grandpa…”
“Aku paham…”
Tanpa dia sadari, air mata mulai menetes di kedua sudut matanya. Dia terus membuka suaranya.
“Aku janji…”
“Aku akan menuntun keluargaku…”
“Aku janji akan membuatmu bangga…”
“Aku janji akan membuatmu bangga karena melihat Dyrga dan Dyrta tumbuh besar nanti…”
“Aku janji akan terus membimbing mereka.” Ucap Zu masih terus menitihkan air matanya.
Abraham, dia kembali menghela panjang nafasnya. Dan kedua matanya seraya berusaha berkedip sesekali.
Zu, dia mendongakkan kepalanya. Melihat sang Grandpa yang hampir putus asa.
Abraham, dia kembali membuka suaranya. Tetap membiarkan kedua tangannya dipegang erat oleh sang cucu.
“Cucuku…”
“Pernikahan itu memiliki banyak masa…”
Zu mulai diam mendengar kalimat sang Grandpa. Dengan sesekali air matanya menetes di salah satu pipinya.
Abraham menatap lekat cucu kesayangannya.
“Jika kalian menghadapi masa apapun dalam pernikahan kalian…”
“Baik itu kebosanan…”
“Dan kejenuhan satu sama lain…”
Dia tersenyum, dan kembali membalas genggangam erat sang cucu.
“Kau lah yang harus menguasainya…”
“Kau yang harus membenahi rasa jenuh dan bosan itu…”
“Karena kau adalah kepala utama yang menentukan bertahan dan tidak bertahannya rumah tangga mu dalam ruang kebahagiaan…”
‘Tentu aku akan mengingat semua pesan-pesanmu, Grandpa…’ Bathinnya seraya bergumam dalam hati.
“Kau adalah cucu laki-lakiku satu-satunya…”
“Aku mengharapkan dirimu bisa menjaga nama baik keluarga kita…”
Dia kembali menghela panjang nafasnya. Dan kembali melanjutkan kalimat lambatnya.
“Kau tahu, Azur…”
“Kau adalah kebanggaan aku dan Grandma mu…”
“Jadi jangan kecewakan kami…”
“Jangan duakan pernikahanmu…”
“Jangan pernah sakiti hati istrimu…”
“Jangan pernah menduakan dia dengan alasan apapun…”
Dia masih menatap intens sang cucu.
“Kau harus ingat sampai kapanpun…”
“Tidak ada alasan beristri dua atau selir-selir dan selingkuhan dalam keluarga Althaf…”
“Jadi jangan kecewakan keluarga kita…” Ucapnya dan Zu langsung memeluknya.
“Aku janji tidak akan mengecewakan kalian…”
“Aku janji, aku akan menjaga baik-baik keluargaku…”
“Aku akan selalu setia pada istriku…”
“Karena hanya dia yang aku cintai…”
“Aku tidak akan pernah mengkhianati pernikahan kami…”
“Aku janji akan terus menjaga amanahmu, Grandpa…”
…
Semua orang sudah berkumpul di kamar inap intensif itu. Dan Uzma, dia tentu berada di samping kiri sang suami. Dia membuka suaranya.
“Aku sudah mengikhlashkan dirimu, Sayang…”
“Tunggu aku disana.” Ucapnya lirih, memeluk sang suami yang juga membalas pelukannya.
Semua sudah menitihkan air mata, dalam senyuman yang diinginkan pria tua itu, Abraham Althaf.
Abraham, dia mengulurkan tangan kanannya. Seraya menyuruh Anta yang berdiri didepan cucunya, Zu untuk datang menghampirinya.
Anta yang paham, dia langsung berjalan mendekati Grandpa nya.
Semua orang yang ada disana tahu, kalau Anta adalah menantu kesayangan keluarga Abraham Althaf. Juga salah satu menantu yang bisa memberikan keturunan penerus darah Althaf.
Anta, sebisa mungkin dia menahan air mata di pelupuk matanya. Dan mengusap sisa-sisa air mata di kedua pipinya. Dia mulai membuka suaranya.
“Grandpa…” Ucap Anta lirih, langsung duduk pada pinggiran ranjang. Dia yang memang berhati lembut, suaranya begitu terlihat sedih.
“Apa Grandpa tidak mau melihat Dyrga dan Dyrta sekolah TK ?”
“Setidaknya melihat mereka masuk Sekolah Dasar…” Ucapnya mengambil tangan kanan Abraham, dan mengecupnya lembut.
Abraham tersenyum. Dan membelai puncak kepalanya dengan tangan kirinya.
Zu hanya diam melihat respon antara istrinya dan Grandpanya.
Mereka yang juga berada di ruangan itu juga sudah ikhlas, jika Abraham harus pergi meninggalkan mereka semua malam ini.
Abraham, dia mulai membuka suaranya lagi.
“Dengarkan Grandpa, Anta…”
“Kau masih ingat semua pesan-pesan Grandpa ?” Tanya Abraham seraya mengingatkan Anta kembali.
Mendengar pertanyaan itu, Anta langsung mengangguk iya.
“Iya, Granpda. Anta masih ingat.” Jawabnya singkat.
Abraham tersenyum. Dan kembali melanjutkan kalimatnya.
“Satu lagi pesan Grandpa…” Ucapnya lalu melihat ke arah mereka semua secara bergantian.
Semua orang diam melihat respon Abraham yang menurut mereka tidak biasa itu.
Abraham tersenyum tipis. Dan kembali membuka suaranya.
“Di hadapan semua orang. Termasuk Abangmu Fakra…” Ucapnya sedikit mengulas senyum untuk Fakra.
Fakra tersenyum dan mengangguk iya.
“Jika Zu berani macam-macam denganmu…”
“Kau bisa adukan semuanya pada Fakra.” Ucapnya melirik Fakra sekilas.
Fakra hanya mengulum senyuman paksanya.
Sedangkan yang lainnya, mereka hanya diam. Menganggap Abraham tengah menghibur dirinya sendiri dan juga mereka.
Tidak lama berselang detik, Abraham mulai tersengal.
“Grandpa!”
“Dad!”
“Grandpa!”
Semua orang mulai panik. Dan Anta langsung menggenggam erat kedua tangannya.
“Grandpa!”
Abraham tersenyum dan mengangguk iya. Dia melihat ke kiri, memandangi wajah cantik sang istri, Uzma.
Uzma tersenyum dan mencium pipinya sekilas.
Abraham, dia membuka suaranya.
“Aku ingin bertemu dengan ketiga cucuku…” Ucapnya mulai meneteskan air matanya.
Zu, dadanya mulai bergemuruh.
Asyafa yang ada disana. Dia membuka suaranya.
“Adek, ayo kita ambil mereka.” Ucapnya dengan suara berat, mengajak sang Adik Ipar, Anta.
Anta mengangguk iya. Dan segera beranjak turun dari ranjang.
Mereka berdua langsung keluar dari kamar inap intensif itu, diikuti Fakra dan Zu di belakang mereka. William juga mengikuti mereka. Mereka berjalan menuju ruangan khusus dimana para anak-anak tertidur.
…
Fakra menggendong Zizil. Zu menggendong Dyrga. Dan William yang ada disana, dia ikut menggendong Dyrta.
Tidak mungkin bagi Asyafa menggendong Zizil yang sudah berusia 7 tahun. Dia tidak akan mampu menggendongnya. Apalagi Anta, tubuh kedua putranya saja sama seperti Daddynya, tinggi dan besar. Sudah pasti dia tidak sanggup menggendongnya lagi, walau usia putranya masih menginjak 3 tahun.
Asyafa dan Anta berjalan lebih dulu dari mereka. Mereka kembali berjalan menuju ruangan inap VVIP itu. Dimana sudah banyak penjaga di setiap lorong tempat mereka berkunjung di Rumah Sakit ini.
…
Abraham tersenyum melihat ketiga cucunya datang dalam keadaan masih tertidur lelap. Dia membuka suaranya.
“Aku ingin mencium mereka satu persatu.” Pinta Abraham dan segera diangguki iya oleh Fakra.
Dia mendekati Abraham, dan duduk di pinggiran ranjang. Abraham sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Mengecup kening sang cucu.
‘Tumbuhlah menjadi anak yang sehat dan cerdas, Eazlin Fakra Al-Bakhri. Grandpa akan bahagia bila hidupmu bahagia…’
Deg!
Zu berusaha untuk menahan air matanya sekuat mungkin.
Dan Anta, dia berjalan menuju sang Grandpa. Dan dia sedikit melebarkan kedua tangannya. Agar sang putra, Dyrta bisa berada di pangkuannya. William segera memberikan Dyrta ke pangkuan sang Kakak Ipar.
Abraham, dia langsung membelai lembut wajah damai sang buyut. Dan langsung menciumnya.
‘Kau akan tumbuh menjadi pria yang kuat dan tahan banting, Dyrta…’
‘Darah kuat kami mengalir di tubuhmu…’
‘Kelak kau akan menjadi pria yang berbakat dan sangat menyayangi keluargamu…’
Zu, sudah susah menegukkan salivanya sendiri. Dia langsung berjalan menghampiri sang Grandpa dari sisi kiri. Dan menghadap sang Grandpa dan Grandma.
Abraham langsung mencium keningnya.
‘Kalian berdua, Dyrga, Dyrta…’
‘Kalian akan menjadi penerus Abraham Althaf yang sangat dibanggakan…’
‘Daddy kalian akan menuntun kalian ke jalan yang benar…’
‘Tumbuhlah menjadi pria yang kuat dan taha godaan nafsu…’
‘Maafkan Grandpa tidak bisa melihat tumbuh dan kembang kalian…’
Dia tersenyum. Lalu menyandarkan tubuhnya lagi pada sandaran ranjang.
Zu terdiam melihat reaksi sang Grandpa.
Semua orang diam melihat Abraham yang sudah tersenyum dan tidak menampakkan aura ceria lagi.
Abraham, dia menggenggam erat kedua tangan sang istri.
Uzma, dia meneteskan air matanya. Dan kembali membuka suaranya.
“Pergilah, Sayang…”
“Bebanmu sudah tidak ada lagi…”
“Tunggu aku disana, Sayang…” Ucap Uzma menyatukan kepala mereka. Dan mengecup kedua tangan sang suami.
Tangis semua orang mulai pecah.
Zharif, dia mulai berjalan mendekati sang Ayah. Dia membungkukkan tubuhnya. Dan membisikkan sesuatu di telinganya.
Dan masing-masing dari mereka, melantunkan kalimat yang dibisikkan oleh Zharif.
Abraham mulai mengikuti bisikan dari sang putra, Zharif Abraham Althaf.
Zu, dia yang masih menggendong sang putra. Dia membelai wajah sang Grandpa.
‘Aku berjanji, Grandpa…’
‘Semua amanah mu akan aku ingat…’
‘Apapun yang terjadi…’
‘Aku akan menjaga nama baik keluarga kita…’ Bathinnya seraya berbicara kepada sang Grandpa.
Seketika Abraham menatapnya sekilas. Dan tersenyum manis, dia mengangguk iya. Zu terdiam melihat respon Abraham.
Dan kedua mata lemah itu, perlahan menutup.
“Grandpa…”
“Grandpa…”
Uzma memeluk suaminya erat.
“Tunggu aku disana, Sayang…”
“Aku sangat mencintaimu…”
Dan mereka semua kembali terisak dan menangis dengan kepergian pria yang merupakan orang paling berpengaruh dalam sejarah dunia bisnis di Amerika, Abraham Althaf. Dan dia sudah mewariskan semua asetnya kepada sang putra, Zharif. Dia juga sudah berpesan kepada Zharif, agar membagi rata warisannya untuk Asyafa dan juga Azzura.
Zu, terdiam. Lirikannya beralih pada sang istri yang tengah menggendong putra mereka, Dyrta.
‘Aku akan selalu mencintai, Adyanta…’
‘Aku berjanji akan menjaga keluarga ku baik-baik…’
‘Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu…’
‘Selamat tinggal, Grandpa…’