9. Maju Mundur Kena

1902 Kata
Xabiru menatap lembaran kertas pendaftaran kompetisi yang berisikan data diri Giselle secara lengkap. Dibacanya pelan-pelan dari nama, tanggal lahir, jenjang pendidikan, hingga segala macam prestasi bergengsi yang pernah gadis itu raih. Sampai pada kolom motivasi, mata Xabiru terpaku. Lalu tak lama ia tersenyum kemudian berdecak pelan. Bak gayung bersambut, apa yang tertulis di sana sama persis dengan ide yang Jonathan sampaikan kepadanya. "Pertama, bapak rayu aja pakai rencana A." "Rencana A? Maksudmu?" tanya Xabiru kebingungan. Belum dijelaskan apa-apa, kenapa asistennya itu tahu-tahu menyebut rencana A. Kan dirinya jadi bingung sendiri. "Gini, Pak. Seperti kata saya sebelumnya, Giselle ini ikut serta dalam kompetisi besar yang sedang kita adakan. Bapak bisa aja pakai momentum kali ini buat gaet dia untuk setuju jadi istri bapak." "Caranya?" "Tawarkan aja sama Giselle, dengan setuju jadi istri Pak Biru, dia dan timnya bisa memenangkan kontes. Dapat hadiah ratusan juta, dan jadi staff di Alexis." Xabiru mengangguk-angguk. Sebenarnya, ia juga sempat terpikirkan soal rencana ini. Hanya saja ia masih ragu, apakah Giselle mau menerima tawarannya tersebut. "Kalau dia nolak, gimana?" "Ya pakai rencana B, Pak." Kening Xabiru kembali berkerut dalam. "Cara B yang gimana lagi, Jo? Kamu kebanyakan rencana. Nanti ujung-ujungnya gagal semua," keluh Xabiru malas. "Tenang, Pak. Saya yakin salah satunya pasti berhasil. "Jadi apa rencana B nya?" "Pak Biru langsung to the point aja. Tawarkan kepada Ghea untuk jadi bagian Alexis tanpa perlu ikut kompetisi. Saran saya, bapak tawarkan aja dia posisi untuk jadi kepala divisi Creator tanpa perlu seleksi." "Kalau tetap ditolak gimana? Jadi istri saya loh enak, Jo. Harusnya dia santai nggak perlu kerja. Tugasnya cuma pura-pura bahagia di depan orang banyak sampai waktu yang sudah ditentukan. Tapi, dia malah tolak mentah-mentah, kan?" "Ya ini beda penawaran, Pak. Saya sudah selidiki, dari awal, Giselle ini tertarik untuk jadi bagian Alexis. Ada dua data dia saat mengikuti seleksi pemilihan karyawan magang yang masih tersimpan di database Alexis. Sayangnya, dari dua kali seleksi, saat itu dia belum memenuhi kriteria." "Nggak memenuhi kriteria?" heran Xabiru tidak habis pikir. Padahal, dari data yang pernah ia terima dari Robin yang merupakan asisten sang ayah, Giselle sering memenangkan kompetisi besar dari dalam dan luar negeri. Menurutnya prestasi itu sangatlah membanggakan. "Umurnya masih terlalu muda saat itu, Pak. Jadi, nggak masuk standar karyawan di Alexis. Itu sebabnya, kalau kali ini bapak kasih penawaran dia buat jadi bagian Alexis dan bahkan langsung menempati posisi kepala divisi, saya rasa mau se-idealis apa pun, dia pasti akan tergiur." Xabiru mengangguk. Atas segala penjabaran yang Jonathan sampaikan, hampir semuanya ia setuju. Hanya saja, dalam hati kecilnya masih saja ada kekhawatiran. Entah kenapa, Xabiru merasa tetap harus memasang antisipasi kalau-kalau dirinya tetap ditolak. "Terus, kalau semisal dari dua rencana ini, dia nggak juga tergiur buat melakukan kesepakatan dengan saya untuk menikah, gimana?" "Ya artinya pakai rencana C." Gara-gara penjelasan Jonathan, Xabiru terus kepikiran. Itu sebabnya ia sampai meminta sang asisten membawakan lembar peserta kompetisi milik Giselle untuk ia baca dan cek sendiri. Motivasi mengikuti kompetisi : Menang, serta mewujudkan impian untuk menjadi salah satu bagian yang bisa ikut memajukan Alexis ke depannya. Gotcha! Xabiru menjentikkan jarinya. Tulisan motivasi ini yang akan ia gunakan untuk menjerat Giselle agar mau menjadi calon istrinya. Demi Tuhan, kenapa mempertahankan jabatan harus begini banget caranya. Kalau saja sang ayah bisa diajak berkompromi atau bernegosiasi, Xabiru pastikan untuk melakukan itu bagaimana pun caranya. Namun, karena mengenal sosok Leonard yang keras kepala dan tidak pernah mau dibantah, Xabiru bisa apa? Next time, mungkin dirinya akan menyelidiki juga, buat apa sang ayah sampai repot-repot menjodohkannya dengan gadis antah berantah yang bahkan menurutnya paling aneh di muka bumi ini. Selesai jam kerja, Xabiru pikir adalah saat yang tepat kalau malam ini dirinya langsung menemui Giselle. Karena waktunya juga tidak banyak, ada baiknya segala rencana yang Jonathan sampaikan segera ia eksekusi segera. *** "Xabiru?" Nama itu refleks terucap kala netra Giselle menangkap sosok pria tinggi semampai, berstelan jas rapi tengah berdiri di depan pintu kost dengan posisi membelakangi dirinya. Memastikan kembali, Giselle sampai memajukan langkah agar bisa melihat lebih dekat. "Mau ngapain kamu ke sini?" Selesai melontarkan kalimat pertanyaan tersebut, pria yang sudah menunggunya sedari tadi itu berbalik badan kemudian menyunggingkan senyum. Alih-alih mendapati sosok Xabiru, ternyata pria lain yang malam itu mengunjungi Giselle ke kost nya. "Pak Jonathan? Saya pikir tadi Xabiru," cicit Giselle sedikit malu. Sudah manggilnya nyaring, salah pula. "Iya, Mba Giselle. Ini saya Jonathan, asistennya Pak Xabiru. Maaf menganggu waktu istirahatnya." Giselle mengangguk maklum, tapi tak lama setelahhya ia pun menanyakan maksud kedatangan asisten Xabiru itu. Lagi pula, untuk tujuan apa tiba-tiba berkunjung ke kediamannya. "Nggak apa, Pak. Saya juga lagi santai, kok. Tapi, ini dalam rangka apa ya Pak Jonathan berkunjung?" "Saya ditugaskan buat jemput Mba Giselle." Kedua belah alis mata Ghea nampak bertaut. Pastinya ia bertanya-tanya. Untuk urusan apalagi dirinya sampai dijemput segala. "Jemput? Mau ke mana?" "Diajak Pak Xabiru makan malam. Beliau berpesan, ada hal penting yang harus dibicarakan malam ini. Ada ----" "Yaelah, pasti mau bahas soal yang kemarin lagi, kan?" sambar Giselle padahal Jonathan belum selesai berbicara. "Bilangin Xabiru, keputusan saya udah nggak bisa diganggu gugat. Mau dia pakai cara apa pun, saya tetap nolak." Jonathan tersenyum. Berusaha semaksimal mungkin merayu, membujuk Giselle agar mau ikut bersamanya. "Saya hargai keputusan Mba Giselle, tapi saran saya, ada baiknya Mba Giselle temui terlebih dahulu Pak Xabiru. Siapa tau nantinya ada hal lain yang mungkin akan beliau sampaikan." Giselle sempat menimbang beberapa saat. Malas sekali sebenarnya ikut Jonathan pergi untuk menemui Xabiru. Tapi, kalau tidak pergi, entah kenapa ia jadi penasaran. Hingga pada akhirnya ia pun setuju untuk ikut. Lantas Jonathan kemudian membawa lalu mengantarkan Giselle menemui Xabiru yang sudah menunggu di salah satu cafe yang tak jauh dari kediaman Giselle. "Pak," sapa Jonathan saat sudah masuk menghampiri Xabiru yang sedang duduk menunggu. "Ini Mba Gisel sudah saya bawa." Xabiru menoleh. Mengangkat wajah, kemudian melirik ke arah Giselle yang berdiri tepat di sebelah asistennya. "Terima kasih, Jo. Sekarang kamu boleh pulang." Jonathan mengangguk kemudian pergi. Meninggalkan Xabiru berdua saja dengan Giselle. "Silakan duduk," pinta Xabiru dengan sopan dan langsung dituruti oleh Giselle. "Kamu udah makan? Mau pesan apa?" Giselle melirik sebentar daftar menu yang tersedia di depannya. Melihat deretan nama makanan yang tertulis di sana, kemudian menggeleng. "Aku belum makan, sih. Tapi, kalau dilihat-lihat lagi, nggak ada makanan yang aku suka di sini." Xabiru lantas terperanjat. "Memangnya kamu makan apa? Atau kamu mau kita pindah ke restoran lain?" "Mending kita pergi dan ngobrolnya di tempat makan yang aku pilih aja, gimana?" Tanpa banyak berpikir lagi, Xabiru lantas mengangguk. Menyetujui permintaan Giselle untuk pindah ke tempat yang gadis itu kehendaki. Mengendarai kendaraan sekitar 10 menit, Xabiru dibawa Giselle untuk pergi ke suatu tempat yang lumayan ramai penduduk. Jejeran tenda pedagang kaki lima nampak saling bersaing memnuhi di tiap ruas jalan. "Ini serius kita makan di sini?" tanya Xabiru tidak yakin. Seumur hidup mana pernah juga ia makan di pinggir jalan begini. "Serius, lah. Masa bercanda," sahut Giselle. Menoleh ke arah Xabiru. Ia pun nyengir. "Kenapa? Kamu nggak pernah makan di tempat ginian?" Xabiru tentu saja menggeleng. "Nggak pernah dan nggak berminat sedikit pun. Pasti banyak premannya di sini." Giselle tertawa. Lalu mengalihkan pandangannya, menunjuk salah satu kedai langganann yang sering ia datangi. "Kita makan di sana aja. Pecel lelenya enak banget. Aku jamin kamu pasti suka." Xabiru mengikuti arah telunjuk Giselle. Kemudian berhenti tepat di depan kedai sari laut khas Lamongan yang tampak begitu ramai, terlihat dari luar. "Terus, ini mobil aku parkir di mana?" "Ya parkir aja di sana," tunjuk Giselle sekali lagi. Memberi tahu Xabiru tempat yang biasa dipakai pengunjung untuk memarkirkan kendaraannya. "Kan itu banyak mobil berjejer. Kamu tinggal cari space aja yang kosong di mana." "Masalahnya aku pake mobil sport. Ini yakin aman?" Giselle tertawa. Sambil memunguti tasnya, ia pun kembali menyahut dengan santai. "Salah sendiri, ngapain juga kamu jemput aku pake Lamborghini?" "Mobil aku emang gini, kali." "Kan bisa pake mobil yang kemarin." "Ya tadinya kita kan mau ngobrol di cafe. Bukan kedai pinggir jalan begini," debat Xabiru tidak ingin kalah. "Terus, ini kita mau berdebat aja? Kalau kamu nggak mau turun, ya udah pulang sana. Aku mau makan, laper. Kapan-kapan aja kita ngobrolnya." Giselle dengan cueknya turun dari mobil. Meninggalkan Xabiru sendirian yang tak lama pada akhirnya menyerah. Pria itu pun akhirnya ikut juga menyusuli Giselle yang sudah duduk di dalam kedai. "Kamu udah makan?" Xabiru mengedarkan pandangannya sejenak ke setiap sudut kedai. Memerhatikan begitu ramainya pengunjung yang silih berganti makan di tempat tersebut. "Heh, Xapinky, kamu dengar nggak, sih? Kamu mau ikut makan atau gimana?" "Aku belum makan juga, sih," sahut Xabiru dengan polosnya. "Lagian aku mau makan apa di sini?" Giselle berdecak. Dasar orang kaya payah. Makan saja bingung. Padahal di lihat dari spanduk yang menggantung, berjejer begitu banyak menu makanan dari ayam, ikan, hingga aneka seafood dijajakan oleh kedai tersebut. "Banyak. Aku pesenin aja samaan dengan aku. Kamu rasain gimana enaknya makan di sini." Xabiru mengangguk pasrah. Demi Tuhan, kalau setelah makan nanti ia sakit perut, awas saja. Bakal dia tuntut Giselle buat membawanya berobat ke rumah sakit. "Kamu mau ngomongin apalagi?" tanya Giselle to the point sambil menunggu makanan yang ia pesan datang untuk dihidang. "Mau bahas soal ajakan nikah kontrak lagi?" "Nikah kontrak?" ulang Xabiru cengo. "Iya, kan? Apa bedanya sama nikah pura-pura? Kan kata kamu nikahnya sementara aja. Ya bener dong namanya nikah kontrak? Lagian, aku yakin pasti nanti ada banyak aturan yang harus aku ikuti." Xabiru mengangguk-angguk. Benar juga apa yang Giselle katakan. "Ya itulah pokoknya. Tapi, saat ini aku mau kasih kamu penawaran." "Penawaran apa?" Sebelum menjawab, Xabiru malah kelihatan gelisah. Pria itu berulang kali memandang ke arah luar kedai. Entah apa yang sedang diperhatikannya. "Ngapain sih gelisah banget?" tegur Giselle saat melihat Xabiru yang nampak aneh. "Aku kepikiran mobilku. Nanti kenapa-kenapa." "Udah, tenang aja. Mobilmu bakal aman," kata Giselle meyakinkan. "Banyak preman soalnya di luar. Kalau baret gimana?" "Nggak bakal, aku jamin mobilmu aman." "Awas aja sampai baret. Kamu yang bakal tanggung jawab." "Oke," sahut Giselle yakin. "Udah ihh, cepat kamu mau ngomong apa? Kelamaan sempat basi aku nungguin." Xabiru pada akhirnya menjelaskan maksud dan tujuannya. Satu per satu penawaran ia sampaikan kepada Giselle. "Aku nggak setuju," sahut Giselle tidak ingin diganggu gugat. "Aku bukan peserta culas." "Ya udah, kalau gitu, kamu tetap bisa ikut kompetisi dengan normal. Selesai event, aku tawarkan sama kamu buat langsung bergabung di Alexis dan jadi kepada divisi creator sesuai dengan minat dan bidangmu." Giselle terperangah. Memang jabatan itu yang ia impikan dari dulu bila bisa bergabung dengan Alexis. Tapi menggadai nasibnya dengan menjadi istri kontrak, rasa-rasanya tidak adil. Itu sebabnya ia terus saja berpikir. Menimbang baik buruknya bila menerima tawaran Xabiru. "Nggak! Aku tetap nggak berminat. Dan aku pastikan ke kamu, apa pun itu tawaran yang kamu beri nggak akan mengubah sedikit pun keputusanku." Bahu Xabiru nampak merosot. Habis sudah idenya untuk membujuk Giselle agar mau menerima tawarannya. "Udah, kan? Nggak ada yang perlu lagi kita obrolkan?" tanya Giselle saat ia dan Xabiru selesai menyantap makanan. "Nggak ada," sahut Xabiru tanpa minat. Ia pun berdiri. Bersiap untuk pergi. Begitu bersama-sama Giselle keluar dari kedai dan medekati mobilnya yang terpakir, mata Xabiru membola. Apa yang ia khawatirkan benar-benar terjadi. "Kenapa?" tanya Giselle. Perasaannya jadi tidak enak juga. Alih-alih menjawab, Xabiru mendekati mobil sport miliknya yang terpakir dipinggir jalan. Tak lama setelahnya, mata Xabiru membola. Sesuatu yang dari tadi ia khawatirkan, akhirnya benar terjadi. "Giselle! Liat, nih. Mobil aku baret, kan? Aku nggak mau tau, pokoknya kamu harus ganti rugi kerusakan mobil aku!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN