8. Aji Mumpung

1440 Kata
Giselle Maria Vennya adalah bungsu dari dua bersaudara. Kedua orang tuanya, Benjamin Joshua Tjan dan Valeria Vennya sudah lama meninggal karena mengalami kecelakaan saat Giselle masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sejak kecil, Giselle memang menuruni sifat sang ibu yang memiliki jiwa sosial tinggi. Tak jarang saat di sekolah Giselle juga mengikuti begitu banyak kegiatan amal dan kemanusiaan. Bahkan, semenjak kedua orang tuanya tiada, Giselle meneruskan perjuangan sang ibu yang notabene dulunya adalah yatim piatu, untuk memberi bantuan kepada beberapa yayasan dan juga panti asuhan. Salah satunya menjadi donatur tetap di panti asuhan Permata Hati, tempat sang ibu dulu dibesarkan. Giselle yang seorang mahasiswi dan juga bekerja paruh baya sebagai creator, sengaja menyisihkan sebagian penghasilannya tiap bulan untuk diberikan secara rutin kepada panti asuhan Permata Hati. Apa pun itu, sebisa mungkin ia lakukan untuk bantu memenuhi berbagai macam kebutuhan yang diperlukan. Itu sebabnya, ketika bu Dian, pengurus panti asuhan menghubungi dan memintanya untuk segera datang, Giselle tidak membuang-buang waktu atau berpikir dua kali. Buru-buru setelah melakukan semua kegiatan perkuliahan ia segera pergi menuju panti, demi mendengar secara langsung, ada masalah apa sampai ibu pengasuh yang sudah ia anggap seperti orang tua sendiri itu memintanya untuk singgah. "Maaf saya agak telat, Bu," kata Giselle dengan napas terengah saat dirinya baru saja sampai di teras panti asuhan. Bu Dian yang melihat Giselle seperti orang kelelahan langsung menghampiri. Membawakan segelas air putih untuk kemudian diberikan kepada gadis berambut panjang yang kini tengah duduk mengatur napasnya tersebut. "Minum dulu, Gi. Nanti kamu malah kecapean. Lagian, kenapa pakai lari-lari segala," tegur wanita paruh baya itu. "Buru-buru, Bu. Sepanjang jalan menuju ke panti, saya kepikiran omongan ibu yang tiba-tiba aja mau minta bantuan." Bu Dian menghela napas pelan. Mau ditutupi bagaimana pun juga, tetap saja terlihat dari raut wajahnya ada hal serius yang tengah wanita itu pikirkan. Biasanya, kalau sampai meminta pertolongan orang lain, artinya Bu Dian sudah tidak sanggup atau tidak bisa menangani masalah itu sendiri. Alih-alih ikut duduk, Bu Dian malah melangkah masuk sebentar ke ruangannya demi mengambil satu buah amplop cokelat berlogo bank BUMN. Membawanya keluar, lalu ia sodorkan kepada Giselle. "Ini apa, Bu?" heran Giselle kebingungan. Namun, tangannya tetap saja meraih amplop yang disodorkan. Bahkan, tanpa perlu disuruh, Giselle mengeluarkan begitu saja lembaran kertas yang terlipat rapi di dalam amplop tersebut. "Surat peringatan dari Bank soal tunggakan pinjaman yang tempo hari pernah ibu ceritakan sama kamu." Sebelumnya, Bu Dian memang pernah bercerita pada Giselle. Tiga tahun lalu, atas kesepakatan pengurus lainnya, Bu Dian memberanikan diri mengajukan pinjaman ke salah satu bank agar bisa melukan renovasi bangunan panti yang sudah sangat rapuh dan juga sebagian lainnya bisa dipakai untuk membeli segala macam bahan keperluan yang dibutuhkan. Dulu, Bu Dian berpikir nantinya bisa saja membayar tagihan ditiap bulannya memakai uang sumbangan dari para donatur. Setahun pertama semua berjalan lancar bahkan tidak ada sedikit pun kendala. Di tahun kedua, p********n masih santai dan aman. Hingga di akhir tahun, perlahan tapi pasti, pihak panti mulai macet membayar angsuran bulanan. Hal ini dikarenakan beberapa donatur tetap ada yang meninggal dan ada juga yang berpindah tempat ke panti lainnya. Gara-gara hal ini, Bu Dian jadi kesulitan. Susah payah dirinya fokus mencari jalan keluar hingga akhirnya stuck dan angsuran bank yang terus berjalan makin lama makin menumpuk. "Ini pihak bank cuma kasih dua opsi?" tanya Giselle sambil membaca lembaran yang ada di tangannya. "Iya, Gi," sahut Bu Dian lemah. Giselle tahu, pasti Bu Dian saat ini sangat stress dan kepikiran. "Bank cuma kasih dua pilihan. Langsung lunasi sisa tagihan sekitar 128 juta. Atau bayar tunggakan yang berjumlah empat kali angsuran atau sekitar 47 juta udah termasuk bunga yang berjalan." Giselle tercekat. Empat puluh tujuh juta bukan jumlah yang sedikit. Pun, menggunakan seluruh tabungan dan honornya sebagai penulis juga tidak bisa mencukupi jumlah tersebut. Lantas ke mana ia harus mencari sisa kekurangannya. "Maaf, Gi. Ibu nggak bermaksud buat kamu pusing, hanya saja, ibu udah bingung harus konsultasikan ini semua ke siapa. Sedang donatur tetap di panti asuhan ini sisa kamu aja." Giselle mengangguk. Paham benar dengan kegundahan yang Bu Dian rasakan. "Ini dikasih tenggang waktu tiga hari, kan?" "Iya," sahut Bu Dian pelan. "Atau menurut kamu, apa kita biarkan aja bangunan panti ini di segel dan lelang. Sisa penjualan dari bank, dipakai untuk sewa tempat baru." Giselle menggeleng. Yang dikatakan Bu Dian barusan bukan solusi menurutnya. "Masalahnya anak panti jumlahnya lumayan banyak, Bu. Takutnya, nanti kesulitan mencari tempat baru untuk di sewa. Kalau pun mau sewa tempat yang besar, pasti biayanya jauh lebih mahal. Lagi pula, kalau mendiang Mama masih hidup, dia pasti juga nggak setuju kalau panti ini sampai dijual begitu aja. Ada banyak kenangan yang tersimpan di tempat ini." Bu Dian kembali terdiam. Serba salah harus berbuat seperti apa. "Jadi, menurut kamu baiknya gimana?" Giselle kembali termenung beberapa saat. Mencoba untuk berpikir cepat. Berusaha mencari solusi terbaik untuk memecahkan masalah yang tengah terjadi. Tidak tega juga dengan apa yang menimpa panti asuhan. "Bu Dian tenang dulu aja. Biar saya bantu carikan solusi untuk masalah ini. Nanti sesegera mungkin saya kabari langkah apa yang harus kita lakukan setelah ini." *** Setelah panjang lebar berdiskusi, Giselle kembali memutuskan untuk pulang ke kost. Gara-gara masalah ini, ia begitu kepikiran hingga lupa makan dan melewatkan beberapa rutinitas yang biasa dikerjakan. Giselle sangking khawatirnya sampai berulang kali menghitung uang tabungan beserta beberapa honor menulis yang kemungkinan akan ia dapatkan dalam waktu dekat. Namun, setelah berkali-kali dicek, tetap saja kurang untuk menutupi tagihan bank yang jumlahnya memang tidak sedikit. "Gi, kamu ngapain, sih? Dari tadi kayak yang sibuk banget. Mana belum mandi, makan, segala macam." Chelsea yang heran melihat tingkah laku Giselle langsung menghampiri sahabatnya itu yang tengah duduk di ruang tamu. Menegur sekaligus menanyakan masalah apa yang sedang dialami sampai-sampai terlihat sibuk sendiri. "Aku lagi pusing nih," ungkap Giselle sembari memijat kepalanya. Pusing sekali rasanya memikirkan ke mana harus mencari sisa uang untuk menutupi kekurangan yang ada. "Pusing kenapa lagi?" "Panti Asuhan yang biasa aku urus lagi dapat masalah. Bangunannya bakal disegel kalau dalam waktu dekat nggak bayar angsuran bank yang sudah tertunggak beberapa bulan terakhir. Dan setelah aku cek, jumlah tagihannya lumayan banyak. Sedang aku nggak punya cukup uang untuk back up." Chelsea terkesiap, lantas kemudian ikut merasa prihatin. Ia tahu benar kalau Giselle selama ini begitu concern mengurusi segala sesuatu kebutuhan mengenai panti. Itu sebabnya, ia yakin pasti sahabatnya saat ini tengah kepusingan luar biasa. "Emang total tagihannya berapa, Gi?" "Hampir 50 juta, Chel." Chelsea lantas terbelalak. "Gila, banyak juga. Ku pikir cuman belasan juta aja." Giselle menggeleng lemah. Sumpah demi apa pun, ia bahkan bingung harus mengambil tindakan apa setelah ini. Mau menggalang dana pun rasanya tidak keburu. "Makanya dari tadi aku kepikiran, Chel. Aku punya tabungan, tapi jumlahnya juga nggak nutup. Tetap aja jatuhnya harus cari sisanya yang lumayan." Chelsea mengangguk paham. Gara-gara mendengar penjelasan Giselle, ia jadi ikut kepikiran juga. Kasihan sebenarnya dengan pihak panti kalau harus kehilangan tempat berteduh yang sudah bertahun-tahun mereka tempati dengan nyaman. "Gi, aku punya solusi cepat untuk atasi masalah yang kamu hadapi saat ini." Setelah sama-sama terdiam beberapa saat, Chelsea tiba-tiba saja terpikirkan sesuatu. Dan ia rasa, solusi yang akan disampaikannya ini tepat guna untuk membantu Giselle yang sedang dalam keadaan darurat. "Apa? Awas aja kamu kasih saran ngaco! Terakhir kali waktu aku pengen beli tablet untuk gambar dan kekurangan uang, kamu kasih saran supaya aku open BO! Kan gila." Chelsea tertawa keras. Padahal saat itu dirinya hanya bercanda. Lagi pula, mana mungkin juga ia menjerumuskan sahabatnya sendiri. "Bukan Open BO, Gi. Kamu sensi amat. Ini lebih masuk akal dan menurut aku lebih simpel." "Ya apa solusinya? Bikin penasaran aja." Chelsea menyeringai. Melambaikan tangannya, meminta Giselle untuk mendekatkan wajahnya. "Gimana kalau kamu terima tawaran Xabiru buat jadi istri pura-puranya aja?" Giselle detik itu juga melotot. Benar dugannya, pasti saran yang Chelsea beri selalu saja tidak menguntungkan untuknya. "Ah, nggak mau. Kamu kalo kasih saran yang masuk akal dikit bisa kali, Chel." "Loh, ini kurang masuk akal gimana? Kan cuma jadi istri pura-pura aja. Lagian, bukannya kata kamu Xabiru juga bakal kasih apa aja yang kamu minta kalau setuju dengan penawaran yang dia beri? Kan lumayan kamu bisa memanfaatkan momen ini. Jangankan bayar tagihan bank. Lunasin sekalian juga bisa, Gi." Gara-gara ucapan Chelsea yang satu ini, Giselle jadi kepikiran. Ia pun sempat menimbang beberapa saat apakah perlu menerima tawaran Xabiru tempo hari, ataukah mencoba cara lain yang lebih masuk akal. Sibuk bergulat batin, suara ketukan pintu dari luar menyadarkan Giselle dari lamunan. Menyeret kakinya, ia pun membuka pintu kost dengan malas. Seolah gayung bersambut, atau Tuhan mungkin mendengar keluh kesah di hatinya, ketika membuka pintu, Giselle tiba-tiba mendapati sosok yang sedang ia pikirkan kini berdiri di depannya. Menyunggingkan senyum ke arahnya. "Xabiru?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN