Buruh Pabrik, part 3

1050 Kata
Terkadang, sebuah keisengan bisa berakibat fatal. Andi, si anak mesin yang tak mengenal cewek seumur hidupnya, begitu ingin menjajal seperti apa rasanya berpacaran. Karena saking penasarannya dan juga mungkin minim pengalaman, Andi melakukan sebuah kesalahan fatal. Kesalahan yang bernama Erni. Andi dan Erni masuk ke pabrik mereka hampir bersamaan. Saat itu, departemen texturizing sedang melakukan ekspansi dengan penambahan mesin baru dan membutuhkan dua orang supervisor. Satu supervisor loading dan doffing dan satu supervisor sambung. Andi dan Erni masih untuk memenuhi kekosongan itu. Mereka berdua sama-sama fresh graduate tanpa pengalaman. Mereka berdua juga di terima dalam waktu yang bersamaan. Saat seorang karyawan baru pertama kali masuk kerja, sebelum mereka bergabung dengan departemen masing-masing, pihak HRD biasanya akan melakukan sebuah proses induksi. Proses ini dilakukan agar setiap karyawan baru mengenal karyawan-karyawan lama yang kemungkinan besar akan berinteraksi dengan mereka di kemudian hari. Begitu juga Andi dan Erni. Mereka berdua melakukan induksi bersama-sama. Berjalan ke sana ke mari menemui setiap pimpinan departemen untuk memperkenalkan diri dan mendapatkan wejangan-wejangan yang mungkin berguna di kemudian hari lalu mengumpulkan tanda tangan dari setiap orang yang mereka kunjungi. Dari awalnya yang saling tak mengenal dan bersikap canggung, karena menghabiskan waktu hampir 8 jam sehari bersama-sama selama satu minggu, mau tak mau mereka berdua menjadi akrab. Ditambah lagi, mereka berdua masih asing dengan situasi pabrik yang akan menjadi tempat kerja mereka, otomatis, mereka adalah orang pertama yang menjadi teman kerja terdekat. Seandainya saja hubungan mereka berhenti setelah jam kerja kantor selesai, semua ini mungkin tak akan pernah menjadi kesalahan yang fatal. Perusahaan tempat mereka bekerja berada di kota asal Andi tapi tidak dengan Erni. Erni memang kuliah di kota ini, tapi dia berasal dari kota lain. Selama kuliah, Erni kos di dekat kampusnya. Setelah bekerja, tentunya Erni memilih untuk kos di dekat tempatnya bekerja. “Ndi, nanti pulang kerja ada acara nggak?” tanya Erni. “Nggak sih,” jawab Andi. “Anterin aku yuk?” ajak Erni. “Ke mana?” tanya Andi. “Mau beli-beli barang buat ngisi kamar kos,” jawab Erni. Andi yang sedari dulu memang penasaran dan ingin merasakan pacaran, mengiyakan permintaan Erni tanpa banyak pertimbangan. Sejak saat itu, Andi dan Erni sering menghabiskan waktu di luar jam kantor mereka berdua. Sebenarnya, Erni sudah memberikan begitu banyak peluang dan isyarat agar Andi melangkah lebih jauh. Erni bahkan pernah terang-terangan meminta Andi menginap di kosnya ketika suatu malam hujan deras mengguyur setelah mereka pulang dari jalan-jalan. Tapi Andi memilih hujan-hujanan di atas motornya dan pulang ke rumah. Bukan berarti Andi tak menyadari semua isyarat dan peluang yang diberikan oleh Erni. Tapi, setelah dekat dengan Erni sekian lama, Andi menyadari bahwa Erni tak sesuai keinginannya. Mungkin bisa kalau untuk hubungan iseng sekali dua, tapi untuk diseriusi ke jenjang pernikahan? Andi tak sudi. Entah berapa banyak batang lelaki yang pernah masuk ke tubuh gadis itu. Daripada nanti di kemudian hari, Andi terkena getah padahal tak ikut merasakan nangkanya, dia memilih mundur teratur dan pelan-pelan menjaga jarak dengan Erni. ===== Penyesalan selalu datang terlambat. Semua orang tahu ungkapan itu, tapi sebagian besar orang tetap saja melakukan kesalahan fatal yang suatu saat pasti akan dia sesali. Begitu juga Erni. Erni gadis yang cantik. Dia supel, ramah, dan pandai bergaul. Mungkin karena alasan itulah, sejak SMA dulu, Erni memiliki banyak kawan dan tentunya banyak juga cowok yang mengejarnya. Bagi Erni, pacaran adalah suatu hal yang lumrah. Sebuah proses yang akan dilalui oleh semua orang menuju proses pendewasaan. Sebuah proses yang nantinya akan mengajarkan seperti apa sebuah hubungan antara dua insan yang saling mengasihi mencoba untuk mengenal dan saling memahami. Jika pacaran memang dijadikan sebagai sebuah bagian proses pembelajaran untuk menjalani sebuah hubungan untuk bisa memahami pasangan, mungkin tak mengapa. Tapi, bukankah cinta merupakan kepanjangan dari cuma ingin nikmati tubuh anda? Tentu saja Erni tak terlepas dari itu juga. Erni kehilangan mahkotanya bahkan sebelum dia lulus SMA. Sejak itu, pacaran terasa hambar tanpa kemesraan. Erni tak pernah merasa bersalah saat melakukannya dengan pacarnya karena bukankah membahagiakan pasangan juga merupakan salah satu proses pembelajaran? Bukankah dengan begitu, kelak dia bisa membahagiakan calon suaminya karena telah memiliki pengalaman yang memuaskan di atas ranjang? Toh dia tak hanya melakukan semuanya dengan pacarnya. Dia tak pernah menjual diri ataupun melakukan hubungan badan dengan laki-laki asing yang tak dia kenal. “Kamu pernah pacaran Ndi?” tanya Erni suatu ketika ke arah teman kerjanya yang kini akrab dengannya itu. Andi menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Masak sih?” kejar Erni lagi. “Serius. Lagian siapa yang mau sama aku?” jawab Andi sambil menunjuk mukanya sendiri sambil memonyongkan bibir. Jawaban yang jelas membuat Erni spontan tertawa terbahak-bahak. “Kalau kamu?” tanya Andi setelah tawa Erni mulai reda. “Kalau aku sih…” Erni terlihat ragu-ragu untuk menjawab. “Hahahahaha,” Andi justru tertawa sebelum Erni sempat menjawab, “nggak usah dijawab, jelas udah lah. Cewek cantik kek kamu, mana mungkin nggak pernah pacaran.” Erni cuma tersenyum kecil saja mendengar kata-kata Andi. “Emangnya kamu mau cari cewek kek apa, Ndi?” tanya Erni tak lama kemudian. “Aku sih maunya cari cewek yang bisa dinikahi. Jadi musti feminim dan keibuan gitu. Dan yang pasti ada syarat mutlaknya…” jawab Andi cepat. “Syarat mutlak? Kek ngelamar kerjaan aja,” sungut Erni. “Ya iya lah. Syarat mutlaknya, musti perawan. Soalnya aku juga masih perjaka. Aku mau istriku adalah wanita pertamaku dan aku juga laki-laki pertamanya,” kata Andi. Erni tertegun diam. “Kenapa? Aku kolot ya?” tanya Andi sambil menggaruk-garuk kepalanya sendiri. “Bukan kolot sih. Tapi hari gini, dimana mau cari cewek yang masih perawan Ndi?” tanya Erni tak lama kemudian. “Ya nggak tahu,” jawab Andi sambil mengangkat kedua bahunya, “tapi aku yakin masih ada. Soalnya, aku sendiri ngejaga bener soal itu. Aku yakin aku bukan satu-satunya orang yang merasa bahwa itu adalah sesuatu yang istimewa dan layak dijaga.” Erni terdiam dan matanya menerawang. Kini, setelah dia lulus kuliah dan mulai bekerja, pandangan hidupnya jauh berubah. Dia tak lagi berpikir untuk berpacaran tapi ingin mencari pasangan serius untuk menikah. Kriteria laki-laki idamannya juga mulai berubah. Dia tak lagi mencari cowok ganteng romantis dan bermulut manis seperti dulu. Dia kini lebih memilih laki-laki dewasa, mapan, bertanggungjawab dan bisa membuatnya nyaman. Erni merasa nyaman saat bersama Andi. Tapi mungkin Erni tak masuk ke dalam kriteria istri idaman Andi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN