Buruh Pabrik, part 4

1728 Kata
“Pak Andi lagi dekat dengan si anak baru itu,” bisik Wina ke arah Erni. Wina adalah operator sambung dan dia anak buah Erni, sama seperti Dini. Berbeda dengan Dini yang masih baru beberapa minggu bekerja, Wina sudah bekerja lebih dari dua tahun dan menjadi karyawan tetap di perusahaan ini. “Anak baru mana?” tanya Erni ke arah Wina. “Si anak baru itu lho Bu. Yang namanya Dini,” jawab Wina. “Dini?” tanya Erni. “Iya Bu,” jawab Wina cepat. “Seriusan?” tanya Erni lagi sambil melirik ke arah Wina. “Beneran Bu. Ini si Agung yang cerita. Kata dia, Pak Andi sering main ke kosan Dini. Tuh anak kan aslinya emang Boja, kejauhan kalau pulang pergi dari rumah. Makanya dia kos. Nah, kata si Agung, Pak Andi sering main ke kosan Dini,” cerocos Wina. “Humph. Ya udah. Biarin napa! Urusan orang juga,” jawab Erni sambil mengibaskan tangan. Wina hanya tersenyum kecil mendengar tanggapan Erni, lalu tanpa permisi, dia meninggalkan meja Wina dan kembali ke gedung plant tempat mesin texturizing berada untuk kembali bekerja. ===== Dini masih menangis sesenggukan setelah dimaki-maki oleh Erni barusan. Dia tak menyadari jika ada seorang laki-laki berdiri di sebelahnya dari tadi. “Kamu ngapain nangis Din?” tanya Agung dengan suara lembut. “Eh? Mas Agung? Nggak pa-pa Mas,” jawab Dini sambil mengusap air matanya dengan cepat dan memutar badannya untuk memunggungi Agung. “Ya udah kalau nggak pa-pa. Pokoknya tetep semangat, nggak usah terlalu dipikirin,” kata Agung mencoba memberikan semangat untuk Dini. “Iya Mas. Makasih,” jawab Dini sambil berusaha tersenyum. Agung membalas senyuman Dini sambil menganggukkan kepala. ===== “Dini ada acara Mas,” tolak Dini. “Ha?” Andi sedikit terperanjat kaget. Ini sudah kesekian kalinya dia mengajak Dini keluar tapi selalu ditolak. Selama ini dia selalu berusaha untuk menenangkan diri dan mencoba memahami kenapa semua penolakan Dini. Andi juga berusaha melakukan instropeksi diri dengan semua tindakannya, jangan-jangan dia telah melakukan kesalahan fatal yang membuat Dini tiba-tiba menjauh seperti ini. Tapi semuanya sia-sia. Andi tak juga menemukan jawabannya. “Oke, oke,” kata Andi setelah berhasil menekan emosi dan kekecewaannya karena sikap aneh dan tak jelas dari Dini barusan. “Kalau gitu, kapan kamu punya waktu luang?” tanya Andi tak lama kemudian. Dini terdiam dan terlihat berpikir, “Nanti Dini kasih tahu.” “Seriusan lho. Aku tunggu,” kata Andi sambil tersenyum semanis mungkin. Dini menganggukkan kepalanya lalu bergumam pelan, “Maaf Pak, saya masih banyak kerjaan,” bisiknya pelan sambil berlalu pergi meninggalkan Andi. ===== Andi terpaku di tempatnya. Di depan sana, seorang pemuda sedang asyik bercanda dengan dengan seorang gadis di teras sebuah rumah kosan. Andi mengenal keduanya. Mereka adalah Agung dan Dini. “Jadi ini yang selalu membuatmu sibuk?” gumam Andi pelan sambil meremas sebuah cincin emas polos di tangannya. Sebuah cincin kecil yang seharusnya malam ini dia pasangkan di jemari Dini, karena Andi memang berniat untuk melamarnya. Selama beberapa minggu ini, setelah Dini terlihat berusaha menjauh dan menjaga jarak, Andi berusaha untuk mencari tahu alasannya. Dari sekian banyak alasan yang muncul di kepalanya, tak satu pun yang masuk ke dalam logika. Hingga akhirnya, Andi memutuskan, buat apa berpusing-pusing dengan segala macam persoalan, tinggal lamar saja, lalu nikahi, dan dia jadi istrimu, sesederhana itu. Toh memang Andi tak berniat untuk berpacaran. Dia berniat untuk mencari istri. Tapi, impian hanyalah sekedar impian. Saat melihat calon istri idamannya bersama dengan laki-laki lain, Andi hanya bisa terpaku di tempatnya. Ada sesuatu yang tiba-tiba terasa hilang dari dalam dadanya, tapi Andi tak tahu itu apa. Dia tak marah ataupun sakit hati, dia cuma merasa kosong, hampa, dan linglung, seperti orang kebingungan. Tanpa sadar, tangan Andi meraih ke arah dadanya sendiri dan meremasnya. Kenapa ada yang terasa kosong di sini? Apa yang terambil dariku? Kenapa aku ada di sini? Dengan langkah gontai, Andi berjalan menuju ke arah sepeda motornya dan berlalu dari tempat ini. ===== “Ndi, nanti bareng ya?” tanya Erni ke arah Andi. Andi terdiam sejenak lalu menganggukkan kepalanya. “Ada yang nebeng juga selain aku?” tanya Erni. “Ada. Pak Lim,” jawab Andi. “Ooohh,” Erni menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Tak lama kemudian, Andi sudah berada di dalam mobilnya bersama Erni dan Lim. Erni duduk di belakang sendirian sedangkan Lim, si tua bangka korea itu, duduk di sebelah Andi. “Andi, when you will get married? Si brengsekk Agung saja sudah duluan married,” ledek Lim. “Belum ada girlfriend, Pak,” jawab Andi. Lim lalu melirik ke arah belakang dan tertawa kecil, “Erni masih single kan? Kenapa nggak married sama dia?” tanyanya. Andi melirik ke belakang dan disambut oleh Erni yang melotot ke arahnya. Dia hanya tersenyum kecut sambil menjawab pertanyaan Lim, “Erni too beautiful for me, Pak. I can’t afford her.” “Nonsense!” bantah Lim sambil mengibaskan tangannya. Erni cuma tertawa kecil sambil menutupi mulutnya. Andi hanya bersungut-sungut tanpa suara saja sambil fokus mengemudi. Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di rumah orang tua Dini. Mereka memang sedang mendatangi undangan pesta pernikahan Dini dan Agung. Saat menerima undangan nikah mereka berdua, Andi juga baru menyadari kenapa Dini memberanikan diri untuk meminjam uang kepada dirinya. Ternyata uang itu untuk digunakan sebagai tambahan biaya resepsi pernikahan. Andi dari mobilnya bersama Lim dan Erni. Mereka bertiga lalu berjalan ke arah tempat acara dan mengikuti arahan panitian pesta yang mempersilahkan mereka untuk mengisi buku tamu dan sebagainya. Tak lama kemudian, mereka bertiga sudah menikmati hidangan sambil duduk di antara tamu-tamu yang lain. “Pak Lim, Pak Andi, Bu Erni,” seorang wanita tiba-tiba datang menegur mereka bertiga. Andi menolehkan kepalanya dan melihat seorang wanita cantik tersenyum di sebelah mereka bertiga. “Duduk sini Win,” kata Erni sambil bergeser dan mempersilahkan Wina duduk di sebelahnya. Saat Lim melihat Wina, dia hanya tersenyum simpul sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kenapa Pak?” tanya Andi sambil menahan ketawanya. “Naughty girl,” jawab Lim pendek. “Ish, Pak Lim!” sungut Wina manja. Andi tertawa lepas melihat interaksi mereka berdua, sedangkan Erni hanya tersenyum simpul saja. Memang bukan rahasia umum bagi karyawan departemen mereka bahwa ada sesuatu yang istimewa antara Lim dan Wina. Di saat mereka sedang tertawa dan bercanda, kedua mempelai datang ke arah mereka dan menyalami mereka satu persatu. “Selamat ya? Semoga sakinah, mawaddah wa rahmah,” kata Andi sambil bersalaman dengan Agung dan Dini. Dini hanya menundukkan kepalanya dan tak berani bertatapan mata dengan Andi. “Wina, dia sudah married sekarang, jadi jangan ganggu dia lagi,” komen Lim tiba-tiba ke arah Wina. Muka Wina tiba-tiba memucat ketika mendengar kata-kata Lim barusan. Andi dan Erni juga mengrenyitkan dahi, mereka kebingungan dengan maksud si tua bangka itu. “Hahahaha, Pak Lim ni sukanya bercanda,” kata Wina berusaha untuk meredakan suasana. “I’m not joking. I’m serious. Agung sudah married sekarang. Kamu harus respect itu. Jangan berhubungan lagi dengannya!” kata Lim tegas dan berwibawa seperti orang tua yang sedang menasihati anaknya. Kelima orang yang mendengar kata-kata Pak Lim barusan, terpana. ===== Wina melayani Lim karena uang, di saat yang sama dia memiliki hubungan istimewa dengan Agung juga. Lim tentu mengetahui hubungan Wina dengan Agung karena sebelum dia ingin menggunakan Wina, tentu dia ingin mengetahui seberapa besar potensi resiko yang mungkin akan datang mengancamnya. Lim seorang expatriate. Ini bukan negerinya, tentu saja dia harus sangat berhati-hati dalam bertindak. Setelah mengetahui bahwa Agung dan Wina masih sekedar berpacaran dan belum resmi menikah, Lim berani untuk menggunakan Wina sebagai pemuas nafsunya. Hubungan antara Wina dan Agung sendiri cukup aneh. Mereka mengaku sebagai sepasang kekasih tapi membiarkan kekasihnya memiliki pasangan lain sesuka hatinya. Wina dengan Lim dan Agung berusaha mendekati Dini. Bahkan ketika Agung mengutarakan masalah Andi, Wina memberikan solusinya untuk Agung. Wina memanas-manasi Erni agar memarahi Dini. Awalnya, Wina hanya berharap untuk menghambat pendekatan yang dilakukan Andi dengan bantuan Erni, tapi ternyata, usahanya lebih manjur dibandingkan harapannya. Agung pun sukses mendapatkan Dini. Andi tertawa sambil menyalakan sebatang rokok di mulutnya. Bahkan setelah itu dia tak bisa menghentikan tawanya. Dia merasa kalau semua ini adalah sebuah candaan dan gurauan yang lucu luar biasa. Dini menangis sejadi-jadinya. Dia langsung berlari setelah mendengar semuanya dari mulut Wina. Ditambah dengan sikap diam dari suaminya, Dini tahu kalau semua cerita Wina memang benar adanya. Erni duduk terdiam di tempatnya. Dia masih tak percaya kalau dirinya dimanfaatkan oleh Wina untuk merusak hubungan Andi dan Dini. Sekalipun dia memang ingin mendekati Andi, tapi ini kali pertama seseorang memanfaatkan dirinya dengan begitu terang-terangan dan jelas membuat Erni marah luar biasa. Sekalipun Lim tak mengerti sepenuhnya kata-kata panjang lebar Wina barusan, tapi dia masih bisa menarik garis besar maksudnya. Lim juga menyadari kalau kata-kata nasihatnya dengan niat tulus demi kebaikan rumah tangga Agung dan Dini, justru kini menyebabkan sebuah retakan luar biasa dalam rumah tangga mereka yang bahkan belum berumur genap sehari. Wina, sebagai tokoh sentral dari semuanya, si naughty girl versi Lim, hanya bisa tersenyum kecut sambil menggaruk-garuk kepalanya. Sesekali dia melirik ke arah Agung yang kini menatapnya penuh benci. ===== “Terima kasih untuk semuanya,” kata Dini sambil meletakkan dua buah amplop di meja Andi. Andi melirik sekilas ke arah dua buah amplop itu sambil mengernyitkan dahinya. Dia lalu meraih amplop yang lebih kecil dan merabanya. Andi langsung tahu isinya. “Itu uang yang Dini pinjam kemarin Mas. Bisa dihitung dulu,” bisik Dini pelan. “Nggak usah,” jawab Andi sambil memasukkan amplop itu ke dalam lacinya, “yang ini?” tanya Andi sambil menunjuk ke arah amplop kedua yang jauh lebih tipis. “Itu surat pengunduran diri Dini, Mas,” jawab Dini. “Kenapa?” tanya Andi. “Dini mau memulihkan diri dulu,” jawab Dini lirih. “Harus dengan cara resign?” tanya Andi. Dini diam dan tak menjawab. Andi lalu meraih sesuatu dari dalam laci mejanya. Dia lalu meletakkan benda itu di atas meja. “Sabtu, tanggal 12 Mei 2012, aku datang ke kosanmu dengan cincin ini dan ingin melamarmu.” “Aku ingin memberikan kejutan, tapi justru aku yang mendapatkan kejutan.” “Tapi itu masa lalu.” “Setelah ini…” “Setelah kamu resign…” “Mungkin kita tak akan bertemu lagi…” “Tapi dari dulu, aku pengen tahu satu hal, Dini…” “Seandainya malam itu, tidak ada Agung di sana, dan hanya ada kita berdua, lalu aku melamarmu…” “Maukah kamu menikahiku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN