Buruh Pabrik, part 2

1081 Kata
“You tu g****k!! Sudah tahu kita ada orderan seperti ini, kenapa ada trouble you tak selesaikan?” bentak laki-laki bermata sipit sambil menunjuk-nunjuk ke muka Andi. Andi hanya diam saja tak membalas. Percuma. Dulu, saat Andi masih begitu idealisnya, dia akan selalu membantah dan melawan ketika merasa dirinya benar, tapi kini, dia sudah lelah. Dia tahu, menjelaskan sesuatu kepada orang yang tak tahu apa-apa, itu sama saja dengan memaki-maki seekor kera. Percuma. Laki-laki sipit di depannya bernama Lim. Dia berkewarganegaraan Korea dan dia adalah manager Andi. Sesuai hierarki, seharusnya, bukan Andi yang saat ini dimaki-maki oleh Lim, tapi atasan Andi yang bernama Guntur. Bukankah dia superintendentnya? Dia satu tingkat di atas Andi dan satu level di bawah Lim. Kenapa Lim langsung ngamuk ke Andi? Lalu apa kerjaan si Guntur? Selain masalah hierarki, ada isu yang lebih penting di sini. trouble yang sekarang terjadi disebabkan oleh kerusakan gear yang ada di dalam mesin. Masalah perbaikan dan maintenance barang tersebut menjadi tanggung jawab departemen mekanik, apa hubungannya dengan Andi yang seorang supervisor produksi? Tapi, kembali ke masalah tadi, percuma Andi menjelaskannya ke Lim. Dia tak tahu apa-apa. Dia ditekan oleh atasannya dan dia butuh melampiaskan emosinya, dan kebetulan Andi yang menjadi sasarannya, itu saja. ===== “I know that it’s not your fault,” kata Lim ke Andi sore itu. Mereka berdua sekarang berada di dalam kantor Lim. “Kalau Bapak sudah tahu kenapa Bapak marah-marah ke saya?” tanya Andi datar. “Aku cuma mau jadikan kamu example saja,” jawab Lim. “Kenapa harus saya? Kan ada Pak Guntur,” protes Andi. “Guntur?” tanya Lim dengan nada sinis sambil melambaikan tangan. Mereka berdua lalu terdiam dan tak berkata apa-apa. “Kalau tak ada apa-apa lagi, saya ijin permisi Pak,” kata Andi sambil berniat berdiri dari kursinya. “Wait…” kata Lim sambil memberikan isyarat agar Andi duduk di kursinya lagi. “Berapa lama kamu bekerja di sini?” tanya Lim. “Sudah 7 tahun Pak,” jawab Andi. “Oke, aku rasa itu cukup,” kata Lim tak lama kemudian. Tanda tanya bermunculan di wajah Andi. Lim tersenyum, “Kamu tahu kenapa aku selalu memarahi kamu sekalipun ada Guntur?” tanyanya. “Aku tak peduli,” ingin sekali Andi menjawab seperti itu tapi dia hanya mengucapkannya dalam hati. Dia hanya menggelengkan kepalanya saja sebagai jawaban untuk pertanyaan managernya itu. “Mulai bulan depan, kamu gantiin Guntur. Dia underperform dan permintaanku untuk transfer dia ke packing sudah di-acc oleh Big Boss,” kata Lim sambil tersenyum lebar. Andi terdiam di tempatnya. Naik pangkat? Cih, buat apa? “Saya bisa menolak promosi ini nggak Pak?” tanya Andi. Lim mengrenyitkan dahinya, “Why?” “Saya nggak butuh pangkatnya Pak, saya butuh duitnya,” jawab Andi datar. Lim tertegun di tempatnya lalu terbahak-bahak sesaat kemudian, “Correct answer. We work for money. That’s the first rule.” Andi lalu meninggalkan ruangan Lim setelah berpamitan ke atasannya itu. ===== “Kamu nyesel Din?” tanya Agung ke arah kekasihnya. “Nyesel? Kenapa nyesel?” tanya Dini ke arah Agung sekalipun dia sudah menebak maksudnya. “Tu si Andi dipromosi Superintendent,” jawab Agung pelan. “Ha? Ya nggak lah. Dini sayang Mas Agung. Dini nggak pernah merasa salah dengan pilihan Dini,” jawab Dini sambil tersenyum dan meremas jemari kekasihnya. ===== “Kamu tu nyadar diri!” bentak seorang gadis ke arah gadis lain yang mengenakan seragam putih dengan bawahan berwarna hitam. Untuk karyawan tetap, perusahaan memang memberikan seragam kerja kepada semua karyawan. Tapi untuk karyawan magang dalam masa percobaan, mereka mengenakan kemeja putih dan bawahan hitam sebagai seragam kerjanya. Dari seragam mereka, terlihat jelas kalau seorang karyawan tetap sedang memarahi karyawan baru. Apalagi di kerah baju seragam si karyawan tetap, terdapat sebuah garis kecil berwarna hijau, itu menandakan jika dia adalah seorang supervisor. Si karyawan baru tersebut adalah Dini yang baru beberapa bulan masuk bekerja, sedangkan si karyawan tetap adalah Erni, supervisor sambung yang menjadi atasan Dini. Dini hanya menundukkan kepalanya dan tak berani mengangkat wajahnya. Dia ketakutan dan bahkan hampir menangis karena dibentak-bentak oleh atasannya. Apalagi, alasan kemarahan Erni bukan urusan kerja melainkan urusan asmara. “Ingat ya, kamu tu masih magang. Diangkat atau nggak, semua tergantung penilaianku. Jadi jangan macam-macam!” ancam Erni sambil mendelik ke arah Dini. Erni lalu meninggalkan Dini tanpa berkata apa-apa sesaat kemudian. Setelah Dini tak lagi melihat bayangan atasannya itu, dia langsung berlari ke arah loker karyawati yang ada di ujung gedung dan menuju ke salah satu sudut ruangan. Dia menangis sejadi-jadinya di sana. ===== “Kalau di pabrik, nggak pa-pa panggil Pak, tapi kalau di luar jangan lah.” “Tapi…” “Masih ngeyel juga?” “Iya… Iya…” “Nah gitu. Sekarang mau keluar ke mana?” “Terserah Pak Andi… Eh… Maksudku, Mas Andi saja.” Awalnya, Dini menerima ajakan jalan Andi karena dia takut penolakannya akan berimbas ke urusan pabrik. Dini hanyalah karyawan baru sedangkan Andi seorang supervisor yang sudah menjadi karyawan tetap. Dini tak berani menolak ajakan Andi. Tapi… Tak seperti dugaan Dini, Andi sama sekali tak menyinggung soal status mereka di pabrik ataupun bersikap seperti seorang atasan kepada bawahannya saat mereka jalan berdua. Lambat laun, Dini juga menyadari jika Andi tak seperti anggapan rekan-rekan operatornya yang lain. Di pabrik, Andi dikenal dingin, kaku, dan tegas. Dia tak segan-segan memarahi dan menegur anak buahnya yang melakukan kesalahan. Dia juga dikenal sebagai satu-satunya supervisor yang berani melawan Manager Lim demi timnya. Setelah mereka jalan berdua, Dini tahu sosok lain Andi. Andi seorang yang humoris, dia bisa membuat Dini tersenyum geli dan tertawa terbahak-bahak. Dia juga perhatian dan apa adanya. Sama sekali tak berusaha menjadi sosok laki-laki yang wow di mata Dini. Andi tak pernah mengajak Dini untuk makan di tempat mahal demi gengsi. Dia juga tak memperlakukan Dini seperti seorang gadis yang bisa dibeli dengan uang dan murahan. Dia apa adanya. Itu yang paling Dini suka dari sosok Andi. “Mas… Kok nggak ganti HP sih? Masak kalah sama HP Dini?” canda Dini suatu ketika. “Ha? Mosok?” tanya Andi sambil mencoba melihat hp di tangan Dini, “iya ya. Bagusan ini. Tukeran yuk?” “Enak aja,” sungut Dini sambil merebut kembali HPnya. Setelah itu? Sudah. Andi sama sekali tak mengganti handphone miliknya. Dini hanya tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Setelah berbulan-bulan masa pendekatan yang dilakukan Andi, Dini semakin nyaman. Dia juga memberikan sinyal-sinyal lampu hijau ke Andi agar laki-laki itu berani untuk mengambil langkah lebih jauh. Tetapi semuanya kandas karena Erni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN