Hanya suara keras air hujan yang mengenai atap seng gubuk ini yang terdengar oleh kami berdua.
Tiba-tiba, hpku bergetar dan aku meraihnya. Istriku menanyakan kabar kami. Aku mengatakan semuanya sejujurnya. Kami sekarang sedang berteduh di tengah kebun karet yang menuju ke rumahku.
“Faris nggak nangis kan?” tanya Hesti ke arahku yang masih menelpon istriku. Aku pun menanyakan apa yang Hesti mau.
Tak lama kemudian, gubuk kecil itu kembali hening setelah aku mengakhiri panggilan teleponku. Hujan deras masih mengguyur disertai angin yang berdesau. Untung saja, tak ada petir menyambar. Jika tidak, semua ini akan menjadi latar belakang film horror kacangan.
Aku melirik sekilas ke arah wanita yang berdiri sambil mendekap badannya sendiri dengan kedua tangannya itu. Karena situasi yang gelap, hanya silhouette dari garis tubuhnya yang terlihat, dan aku harus menelan ludahku.
Aku merasakan pesona yang berbeda darinya dibandingkan istriku.
Bukan berarti istriku tidak cantik atau kalah seksi. Bukan!! Mereka berbeda, dan saat ini, adek kecilku berdiri karena pesona kewanitaan milik Hesti.
Semua akal dan logika yang selama ini berjalan di kepalaku tiba-tiba menguap. Bahkan ada sebersit kalimat terlintas di kepalaku yang entah kenapa membuatku semakin terangsang.
Perkosa saja!!
“Hesti…” panggilku tanpa embel-embel ‘Mbak’ seperti biasanya.
Hesti menoleh ke arahku dengan ekspresi sedikit aneh.
Aku berjalan mendekatinya dan meletakkan tas belanjaan di atas tanah. Sebelum dia sadar akan apa yang hendak aku lakukan, aku langsung menerkam dan memeluknya.
Hesti kaget dan ingin berteriak tapi aku membiarkan saja. Ini di tengah kebun karet dan dibawah hujan lebat, siapa yang akan mendengar teriakannya.
“Mas!!!” teriak Hesti ke arahku.
Teriakan yang percuma karena aku sudah memeluknya erat dan meremas pantatnya yang masih tertutupi gamis panjang hingga mata kakinya.
“Mas sudah Mas, jangan..” pinta Hesti sambil meronta.
Aku tak peduli dan terus berusaha menghirup aroma wangi tubuhnya yang membuatku makin terangsang dan selalu membayangiku selama ini.
Setelah puas meremas pantatnya, tangan kiriku bergerak keatas dan memegang lehernya, sedangkan tangan kananku masih tetap bermain di pantatnya. Aku menarik tangan kiriku dan membuat wajah Hesti yang tadinya menjauh dan berusaha terlepas dari pelukanku semakin dekat.
“Mhhhhhhhh,” dengan bantuan tangan kiriku yang menarik lehernya, aku berhasil melumat bibir mungil Hesti dengan beringas.
Aku terus melumatnya dan menggunakan lidahku untuk mencoba membuka rongga mulutnya. Tapi Hesti masih melawan. Dia menutup mulutnya erat dan tak mengijinkan lidahku memasuki rongga mulutnya.
Tangan kananku meninggalkan area pantatnya yang seksi dan bulat, lalu bergerak ke depan. Dengan gerakan yang berpengalaman, aku menaikkan ujung gamis depan Hesti ke atas dengan tangan kananku.
Hesti meronta makin menjadi setelah aku berhasil mengangkat gamisnya. Apalagi saat tangan kananku mulai mengelus-elus area paling berharga miliknya. Dia meronta makin kuat dan bahkan mendorongku sekuat tenaga.
Tapi sekuat-kuatnya seorang wanita, aku laki-laki. Semua perlawanan Hesti tak berarti bagiku yang sudah dikuasai nafsu birahi. Hanya butuh beberapa menit saja sampai jemariku berhasil masuk ke dalam tubuh Hesti untuk yang kedua kalinya.
Aku memainkan benda itu pelan dan semesra mungkin. Sekalipun aku sempat berniat untuk memperkosa, tapi aku tak mau memperlakukan Hesti dengan kasar.
Hesti berhasil melepaskan ciumanku dan memalingkan wajahnya. Dia tak lagi meronta-ronta dan hanya diam saja sekarang. Pasrah membiarkan jari tangan kananku bermain di mahkotanya. Tak butuh waktu lama, mahkota Hesti yang terawat rapi dan tanpa bulu karena rajin dicukur itu mulai mengeluarkan cairan kenikmatan yang aku tunggu-tunggu.
Aku menghentikan semuanya dan menggunakan tangan kiriku untuk memalingkan wajah Hesti yang membuang mukanya dariku. Saat wajah dewasa berbalut jilbab itu berhadapan denganku, dia memejamkan mata.
Aku menggunakan tangan kiriku untuk memaksa Hesti terus melihat ke arahku. Perlahan-lahan, aku menekan jari tengah tangan kananku agar masuk ke dalam tubuh Hesti. Aku tak memaksanya sekaligus. Aku menariknya keluar lagi, lalu kembali menekannya perlahan disertai gerakan naik turun dari atas ke bawah sesuai belahan tubuh Hesti.
“Mhhhhhh,”
Dan aku akhirnya mendapatkan jackpot yang kucari. Hesti yang wajahnya kupaksa untuk terus menghadap ke arahku dan masih memejamkan matanya, tiba-tiba melenguh sambil mengigit bibirnya sendiri.
Dia terangsang.
Aku merapatkan tubuhnya ke arahku lalu kembali memainkan milik Hesti, saat dia melenguh dan menggigit bibirnya untuk kedua kalinya, aku menciumnya. Dengan sekali serangan, aku berhasil memasukkan juga lidahku ke dalam rongga mulutnya.
Hesti terdiam sejenak, lalu dia mulai membalas ciumanku. Matanya masih tetap terpejam tapi aku tak peduli. Dia sudah mau membalas ciumanku dan melenguh keenakan saat aku memainkan jariku di tubuhnya. Itu artinya dia menikmati semua ini.
Aku tak ingin semua ini menjadi hubungan sekali saja seumur hidup. Aku ingin menunggangi Hesti untuk kali ini dan seterusnya. Entah sampai kapan. Jadi aku tak bisa memaksanya. Aku harus pelan-pelan membuatnya rela menerimaku sepenuhnya.
“Mhhhhhhh…” kami masih saling melumat bibir dan balasan dari Hesti juga makin ganas. Jilbab biru yang dia pakai sudah acak-acakan karena ulah kami berdua. Tangan kiriku juga tak lagi memegangi lehernya, toh dia sudah membalas ciumanku. Kini tangan kiriku melakukan tugas yang tak kalah penting, melepas celana panjang dan celana dalamku.
Aku menarik mundur wajahku dan mencoba menghentikan ciumanku. Seperti yang kuduga, Hesti mengejar ke depan dan mencari bibirku untuk dilumatnya. Tapi matanya masih tetap terpejam seperti tadi. Aku menghentikan semua keusilanku, mulai dari tangan kananku yang mengaduk tubuh Hesti dan lumatan bibirku.
Hesti membuka matanya, mungkin karena aku tak lagi menyentuhnya. Kami saling bertatapan mata. Aku memajukan wajahku ke depan, dan Hesti tak lagi berusaha menghindar. Dia juga tak memejamkan matanya.
“Hesti...,” bisikku pelan sesaat sebelum bibirku melumat bibirnya.
Tangan kiriku menarik tangan Hesti dan menuntunnya ke arah milikku. Tanpa perlu kuajari, tangan lembut dan kecil milik Hesti mulai meremas dan mengurut senjataku mesra.
Aaaahhhhhhhhhh.
Aku meringis keenakan. Aku baru sadar kalau ini mungkin kelebihan bermain dengan istri orang, mereka itu pro. Tidak perlu diajari dan tahu apa yang harus dilakukan untuk bikin lawan mainnya keenakan.
Kami saling melumat dan saling memainkan milik masing-masing selama beberapa menit sebelum akhirnya aku menghentikan gerakan tanganku karena kaget. Gila, milik si Hesti banjir banget. Banyak sekali cairan yang mengalir deras tak terbendung.
“Gila, becek banget sih Hes?” bisikku.
Hesti cemberut dan mendengus kesal.
“Kok?” tanyaku.
“Nggak suka ya? Kalian cowok emang gitu,” sungut Hesti sambil terus meremas dan mengurut pelan milikku.
“Siapa yang bilang?” tanyaku.
“Papinya Faris, dia nggak suka kalau becek. Sering nyuruh aku ngelap pake tissue,” jawab Hesti.
Aku diam dan tak menjawab lalu perlahan-lahan aku turun dan berjongkok di depannya. Aku mengangkat gamis Hesti ke atas sampai ke paha lalu aku masuk ke dalam gamis itu dan membiarkan gamis itu turun menutupi punggungku.
Tanganku memegangi kaki Hesti dan memaksanya agar terbuka lebih lebar. Dalam gelapnya malam, apalagi tersembunyi di dalam gamis Hesti, aku mulai menjilati mahkotanya yang basah tak karuan.
“Mas??” Hesti menggelinjang sambil memegangi kepalaku yang tertutupi gamisnya.
Dia terhuyung ke belakang hingga akhirnya menyandar ke dinding gubug. Setelah itu, aku dengan liar menjilati miliknya, membuat mahkota yang basah kuyup itu semakin tak karuan lagi.
Hesti menggelinjang kegelian dan tiba-tiba saja dia meremas kepalaku kuat sambil menekannya ke depan. Kedua pahanya mengepit dan hampir saja membuatku kehabisan napas. Tubuh Hesti mengejang-ejang kuat lalu akhirnya lunglai.
Aku tahu dia barusan klimaks.
Aku keluar dari gamisnya dan berdiri sambil tersenyum nakal.
Hesti menunduk malu.
“Ada tisu nggak?” tanyaku.
Hesti lalu mengambil tissue dari tasnya. Ketika aku memintanya, dia tak mau memberikannya. Dia justru mendekat dan menggunakan tissue itu untuk membersihkan wajahku yang tentu saja penuh dengan cairan kenikmatan dari mahkotanya.
Aku menatapnya dan tersenyum. Dia terlihat canggung tapi tetap saja membersihkan mukaku dengan telaten.
“Nggak sopan banget, masa aku dipipisin,” bisikku mesra.
“Eh?” Hesti kaget dan sesaat kemudian melotot marah, “Salah siapa coba? Dah tahu… Itu…. Masih aja…”
“Soalnya aku suka yang becek Hes, kek punyamu,” jawabku pelan, mempertegas kepada Hesti kalau seleraku tak seperti suaminya.
Hesti tak menjawab dan terdiam.
“Mas, hujannya dah reda,” katanya lirih tak lama kemudian.
Aku berjalan keluar dari gubuk tapi tiba-tiba langkahku terhenti. Aku merasakan Hesti memegang ujung lenganku dengan tangannya. Aku menoleh ke belakang dan tersenyum senang. Hesti menunduk malu seperti pengantin baru.
Aku tahu mulai sekarang dia milikku.