Hujan, part 2

1034 Kata
“Risss…” Sebuah suara membuatku kaget. Aku sedang mengerjakan sesuatu di teras rumah dan teriakan barusan mengagetkanku. Teriakan Maminya Faris memanggil anaknya, teriakan istri tetanggaku, teriakan Mbak Hesti. Aku mengangkat wajahku dan melihat wajah keibuan terbalut jilbab di depan pagar rumahku. Kami saling bertatapan mata, lalu dia terlihat jengah dan dengan cepat membuang muka. “Biarin main dulu napa sih Te… Toh masih jam berapa ini,” kataku ke arah Mbak Hesti. “Belum bikin PR… Nanti Papinya Ris marah!!” ancam Mbak Hesti ke putranya. “Ndak mungkin… Papi kan dah dua minggu keluar kota…” jawab si Faris mengejek Mamanya sambil berlari ke dalam rumahku. “Anak ini!!” sungut Mbak Hesti sambil masuk ke dalam teras rumahku dengan muka merah padam. Aku sempat melihat dia menatapku sekilas tadi, dan aku bisa menduga pikirannya. Faris lari ke dalam. Mungkin dia bermain dengan anakku. “Tante mana Om?” Mbak Hesti menanyakan istriku dengan suara pelan. “Sayang banget…” jawabku nggak nyambung. Mbak Hesti tidak menanggapi kata-kataku tapi aku tak peduli. Memang harus keras kepala kalau soal yang satu ini. “Becek kek gitu, tapi dah dua minggu dianggurin…” lanjutku berbisik dan hanya terdengar oleh kami berdua. Muka Mbak Hesti langsung merah dan dia pun pulang tanpa permisi. Aku hanya menarik napas panjang saat melihat goyangan tubuh belakang tetanggaku itu ketika dia berlari. “Lho? Perasaan tadi ada Maminya Ris?” tanya istriku tiba-tiba dan dia sudah berdiri di depan pintu. “Pulang, katanya perutnya mules,” jawabku. ===== Tidak ada lagi kejadian apa pun setelah itu. Semuanya berlalu dan seolah terlupakan. Seperti sebuah kenangan yang hinggap sesaat lalu terbang tinggi ke angkasa. Tapi, perangkap setan itu memang nyata, dan entah kenapa, aku dengan senang hati terjebak di dalamnya. Maminya si Faris alias Mbak Hesti tidak bisa naik motor. Sehari-hari, saat suaminya bekerja, dia akan kemana-mana dengan istriku. Tapi biasanya itu terjadi di pagi atau siang hari. Mungkin karena perangkap setan tadi, kali ini ceritanya berbeda. “Anterin yuk? Please?” rengek Hesti kepada istriku. Aku pura-pura tak mendengar dan asyik menikmati sebatang rokok di teras lalu menyibukkan diri dengan smartphone-ku, sama seperti jutaan orang lainnya. “Aku nggak bisa Hes… Maag-ku kumat, buat berdiri aja sakit banget ni.” “Terus gimana dong?” tanya Hesti. Tak terdengar suara apa pun beberapa saat kemudian. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tak peduli dan bahkan berniat melarikan diri. Aku nggak mau kena tulah dan jadi pesuruh emak-emak itu untuk pergi keluar. Mana, cuaca dingin kek gini. Awan putih juga terlihat pekat menutupi cahaya bulan malam hari. Aku yakin bakalan turun hujan sebentar lagi. Suruh keluar? Ogah bener!! Aku mengendap dan berniat menyelamatkan diri ke rumah tetanggaku, nongkrong, apa lagi. Daripada disuruh-suruh. “Pa!!!” suara teriakan istriku pun terdengar. Bangsatt!! Aku menggerutu dalam hati. “Ya Ma?” tanyaku dengan muka kumanis-manisin. “Minta tolong beliin sesuatu ya. Bentar aja paling,” kata istriku. Tuh kan, bangsatt!! Apa kubilang, padahal langkahku hanya terlambat beberapa detik saja. “Tapi ini mau ke tempat Rendra,” jawabku masih tetap tak patah semangat. “Apaan sih, kasihan tu Maminya Ris. Udah gih sana,” bantah istriku. “Ma?” rengekku. “Udah deh, Maag Mama kambuh lagi ni,” jawab istriku sambil mendelik. Aku tahu maksudnya, kalau aku masih membantah lagi, bakalan rame nanti. “Iya deh iya,” kataku menyesali apesnya nasibku, “beliin apaan? Mana uangnya?” kataku sambil mengulurkan tanganku. Istriku hanya melihat ke arah tanganku yang teracung tapi sama sekali tak memberikan uang yang kuminta. “Mana?” tanyaku. “Belinya sama Mamanya Ris, Papa cuma nganter aja. Banyak yang mau dibeli,” jawab istriku sambil ngeloyor pergi. Dua menit kemudian, aku naik motor matic-ku dengan Hesti di boncengan. Kami berdua hanya terdiam sepanjang perjalanan. Tapi sejak dia naik ke atas motor tadi dan aku kembali mencium aroma khas tubuhnya. Bayangan kejadian sore itu di dapur rumahku tak dapat hilang dari kepalaku. Sejak berangkat tadi, adek kecilku juga sudah menjerit kesakitan karena terjepit celana dan jok motorku. Hesti juga sama sekali tak berniat membuka percakapan. Keknya, kami berdua lebih parah dibandingkan tukang ojek dan pelanggannya. Terkadang mereka masih berbasa-basi, tapi kami berdua tak mengucapkan sepatah kata pun. “Kemana Mbak?” tanyaku untuk mencairkan suasana. “Ke Asumart,” jawabnya pendek. Bangsatt. Keknya emang hanya aku saja yang masih ingat kejadian itu. Si Mbak ni adem ayem aja bahkan mendekati dingin dan ketus. Huft. Ya sudah lah. Mungkin ini memang nasibku. Buahahahaha. Setelah itu, aku pun menjadi seorang suami yang baik dan tetangga yang benar sesuai ejaan yang telah disempurnakan. Aku mengantar Mbak Hesti ke Asumart lalu menungguinya dengan tenang sambil menghabiskan beberapa batang rokok di parkiran. Entah setelah beberapa menit kemudian, si Mbak selesai berbelanja dan kami berdua bergegas pulang. Aku sebenarnya yang ingin segera pulang, soalnya pas nungguin dia tadi, rintik-rintik hujan terasa mengenai pipiku yang kasar. “Mas, pelan-pelan dong,” protes Mbak Hesti beberapa menit setelah aku mengendarai motorku dengan kencang. Dengan sangat terpaksa aku melambat. “Mau hujan Mbak,” jawabku beralasan. “Hujan kan air juga. Kalau toh nanti hujan, kan bisa berteduh dulu,” jawab Hesti. Berteduh kepalamu peyang. Dibandingkan berteduh di tengah antah berantah dari hujan lebat yang entah kapan selesai, mending segera nyampe rumah terus menikmati rokok dan kopi-ku. Tapi, dugaan dia benar, di tengah perjalanan, kami diguyur hujan deras. Dan celakanya, saat itu kami sedang di jalan tengah kebun tanpa rumah penduduk. Mau berteduh di mana? Dengan terpaksa, aku menerobos hujan sambil memicingkan mata. Air hujan yang mengenai wajah terasa pedih di mata. “Di depan tu Mas,” kata Hesti di belakangku. Dan aku melihat apa yang dia maksud. Sebuah bangunan kecil dari kayu di tengah-tengah kebun yang sedikit gelap tanpa penerangan. Tapi itu lebih baik daripada kehujanan. Lagian kan kami bawa barang belanjaan. Aku mematikan motorku dan meraih tas belanjaan Hesti. Dia melihatku ke arahku sekilas lalu berlari mendahuluiku. Aku menyusulnya di belakang dan menuju ke gubuk kecil itu. Kami berdua bernapas tersengal-sengal sesaat kemudian setelah berhasil masuk ke dalam gubug itu. Aku melirik ke arah belanjaan Mbak Hesti di tanganku sambil menarik napas lega. Syukurlah masih terselamatkan. Tak ada yang rusak karena basah kena air hujan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN