“Kelupaan… Tolong ambilkan… Ada di lemari Masjid,” kata Pak Yai ke arahku. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa membantah.
Malam ini, ada acara syukuran di salah satu tetangga kami. Biasanya setiap acara syukuran akan dilakukan bacaan Yasin Tahlil layaknya kampung-kampung lainnya di tanah Jawa. Tentu saja, prosesi itu akan dipimpin oleh Pak Yai Dzakir.
Tapi…
Untuk Pak Yai Dzakir sendiri, tentunya dia sudah hapal bacaan Yasin Tahlil di luar kepala, tapi untuk kami, para warga yang lain? Jangankan hapal, saat kami membaca buku panduan, yang kami baca bukan tulisan arabnya tapi tulisan latin arabnya. Jadi tak mungkin kami hapal semua itu.
Karena itulah, biasanya, Pak Yai akan membawa beberapa buah buku panduan Yasin yang biasanya disimpan di lemari Masjid. Buku panduan itu adalah buku yang biasanya berukuran saku dan terkadang ada poto-poto orang yang meninggal di sampulnya atau bagian dalamnya.
Karena kebetulan, aku yang paling muda di tempat ini, sudah jelas, aku lah yang disuruh oleh Pak Yai untuk mengambil buku itu. Tak jauh sih. Mungkin kalau berlari hanya butuh waktu sepuluh menitan, tapi pastinya lumayan capek juga.
Dengan napas terengah-engah, aku berdiri di depan masjid. Aku melepas sandalku dan masuk ke dalam masjid lalu langsung menuju ke lemari yang dimaksud tadi. Tapi saat sampai di sana, aku tak menemukan tumpukan buku panduan yang kucari.
“Lho? Kok nggak ada?” kataku kebingungan.
Nggak mungkin aku balik ke tempat syukuran dengan tangan kosong. Bisa-bisa, nanti hanya Pak Yai yang membaca dan warga yang lain hanya diam melongo saja. Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk bertanya ke Bu Nyai yang pasti ada di rumah. Barangkali dia tahu.
“Assalamualaikum…” teriakku dari depan rumah. Tak ada jawaban dari dalam. Aku lalu mengulangi salamku lagi untuk kedua kalinya dan menunggu. Tapi tetap tak ada jawaban. Waduuhh. Kalau sampai yang ketiga tak ada jawaban, berarti aku harus pulang lagi ke tempat acara.
Tapi, mana mungkin aku menyerah. Kalau begitu, kan bisa aku tak usah ucapkan salam, tapi langsung masuk saja ke dalam? Solusi ngawurku bekerja tanpa alasan. Dan dengan penuh kenekatan, aku nyelonong masuk ke dalam rumah Pak Dzakir tanpa permisi.
Cklek.
Ternyata pintunya tak terkunci. Aku sedikit terkejut tapi tak begitu memusingkannya. Aku langsung masuk ke ruang tengah rumah Pak Dzakir tapi tak melihat siapa-siapa.
Bukannya seharusnya Bu Nyai ada di rumah?
Dengan rasa penasaran dan semakin nekat karena merasa di tunggu oleh orang-orang sekampung di tempat acara, aku berjalan ke arah ruang kamar yang ada di sebelah kiri ruang utama. Aku tak tahu itu ruang siapa dan hanya asal berjalan saja.
Tanpa permisi seperti tadi, aku masuk ke dalam kamar tersebut dan sesaat kemudian aku tertegun di tempatku.
Di dalam kamar, aku melihat seorang wanita cantik yang hanya mengenakan daster tipis saja, berdiri lalu menggesek-gesekkan mahkotanya ke ujung dipan kayu yang berbentuk tonjolan sambil memejamkan mata. Dia terlihat begitu menikmati apa yang sedang dia lakukan tetapi ketika melihatku berdiri di pintu, raut wajahnya langsung berubah pucat pasi seketika.
Wanita itu terlihat sangat malu dan canggung karena perbuatannya ketahuan. Tapi aku lebih malu dan canggung lagi karena melihat wanita idamanku selama ini tanpa tertutup jilbab dan berdiri hampir telanjang di depanku.
“Maaf Bu Nyai, Pak Yai nyuruh saya ngambil buku Yasin,” kataku sambil menundukkan kepala dengan cepat. Takut jika kelamaan melihat tubuh indah dan wajah cantik di depanku, setan mengambil alih tubuhku.
“I… Itu… Ada di atas meja ruang tamu…” kata Suciati terbata-terbata dengan suara lirih hampir tak terdengar.
Tanpa pamitan, aku langsung memutar badanku dan meninggalkan kamar itu. Aku menyambar tumpukan buku saku kecil yang ada di atas meja dan tadi sama sekali tak terlihat olehku itu lalu melesat meninggalkan rumah ini. Takut jika sedetik saja aku berada di sini, aku akan melakukan apa yang dulu kulakukan ke Sri.
=====
Aku menyelinap meninggalkan tempat acara syukuran tetanggaku. Bukan untuk ke rumah Pak Yai, tetapi ke rumah Minto. Setelah melihat apa yang tadi kulihat, gairahku meledak-ledak tak tertahankan dan aku butuh pelampiasan. Jika tidak, aku bisa uring-uringan dan pikiranku menjadi tak karuan. Aku takut nanti aku akan melakukan tindakan keji ke Suciati.
Acara syukuran biasanya akan selesai setelah satu atau dua jam. Belum jika ditambah lagi dengan acara nongkrong dan bercengkrama, bisa sampai tengah malam. Aku punya cukup waktu untuk mengerjai Sri sebelum Minto pulang.
Tok tok tok.
Aku mengetuk daun jendela kamar Sri beberapa menit setelah melarikan diri dari acara syukuran. Dari dalam terdengar pergerakan tapi tak terdengar suara Sri. Aku menunggu sebentar dan melirik ke sekelilingku. Tingkahku sangat mirip dengan maling ayam yang sedang menjalankan aksinya.
Tok tok tok.
Aku mengetuk daun jendela di depanku sekali lagi dan menunggu.
“Mas?” suara Sri terdengar pelan tapi ragu.
“Ini aku,” jawabku pendek.
Sri tak berkata apa-apa lagi tapi aku mendengar langkah kakinya menuju ke pintu belakang. Aku berlari ke arah pintu belakang secepat kilat. Ketika Sri membuka pintu belakang dengan terburu-buru dan tersenyum sumringah saat melihatku, aku lebih terburu-buru lagi menubruknya lalu melumat habis bibirnya.
“Mhhhhhh,” Sri hanya bisa kelabakan sambil membalas ciumanku dengan sama liarnya. Kami saling melumat bibir dan lidah kami juga saling beradu di dalam rongga mulut kami yang bertemu.
Beberapa detik kemudian, aku melepaskan ciumanku dan Sri menatapku keheranan, “Buas banget? Sabar dikit napa Mas…” bisiknya mesra.
Sabar? Dia nggak tahu kalau nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun gara-gara Suciati.
Tanpa banyak kata, aku langsung mengangkat tubuh Sri dan membopongnya di kamar, tapi saat sampai di pintu kamar, Sri menahanku dan berbisik lembut, “Ada thole baru tidur, nanti dia bangun, jangan di kamar.”
Aku menganggukkan kepalaku lalu membopong Sri ke arah ruang tengah rumahnya. Di sana, ada sebuah sofa yang berukuran tak begitu besar tapi aku rasa lebih dari cukup untuk menjadi tempat kami bercinta.
Aku meletakkan tubuh Sri ke atas Sofa lalu membuka sarung yang kukenakan. Tanpa diperintah, Sri bekerja cekatan dan membuka celana dalam yang ada di balik sarungku. Ketika melihat senjataku sudah tegak menantang, mata Sri berbinar lalu dia langsung mengulumnya dengan gembira.
Aku berdiri dan memejamkan mataku menikmati pengabdian Sri untukku. Sesekali, aku meremas dan menjambak rambut Sri ketika jilatan atau hisapannya membuatku terbang melayang tinggi.
Muka Sri memerah dan dia menatapku sendu, “Masukin ya Mas?”
Aku menganggukkan kepala dan gantian duduk di sofa. Sri lalu berdiri dan duduk di atas pangkuanku. Setelah itu, dia mengangkat tubuhnya dan menempatkan mahkotanya tepat di atas tombakku. Sedetik kemudian, jeritan kenikmatan keluar dari mulut Sri tanpa terkendali.
“Hush… Katanya takut Thole bangun…” tegurku mengingatkan Sri agar tak berisik karena nanti anaknya bangun.
“Enakkkk Mas… Biarin to… Terlanjur enakk…” racau Sri tak terkendali di barengi tubuhnya yang bergerak liar di atas pangkuanku.
Aku membuka daster yang masih menutupi tubuhnya ke atas dan kini dia tak lagi mengenakan sehelai benang pun. Tubuh Sri yang sudah beranak satu namun masih sintal dan terawat kini terpampang jelas di depanku. Ingin sekali aku meninggalkan bekas merah cupang di tubuhnya tapi takut jika Minto melihatnya. Tapi,ada satu tempat yang aku yakin Minto tak akan menyadarinya.
“Aahhhhhhhhhhh…” tak lama kemudian, Sri sudah kelojotan di atas pangkuanku. Aku membiarkan Sri menikmati sisa-sisa puncaknya dan menghisap putingnya.
Setelah itu, aku melepaskan tubuh Sri yang kini terkulai lemas ke atas sofa dan membalik tubuhku. Posisi kepalaku kini berada di antara kedua paha Sri dan posisi milikku ada di depan wajah Sri.
“Mas mau ngapain?” bisik Sri lemas.
“Bentar,” kataku sambil mencium paha sebelah dalam milik Sri lalu menghisapnya kuat-kuat. Sri jelas kaget tapi reflek langsung menelan milikku yang ada di depan wajahnya.
Aku semakin menggila lalu mulai mencium, menggigit, dan menghisap semua bagian paha dalam milik Sri, meninggalkan banyak sekali bekas-bekas merah di sana. Mungkin karena rangsangan dariku, Sri juga semakin menggila menikmati milikku, beberapa detik kemudian, aku memuntahkan semuanya ke dalam mulut Sri.
Sri membiarkan semua milikku keluar tuntas tak bersisa dalam mulutnya. Setelah semuanya berakhir, dia bergegas berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semuanya ke sana. Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkah Sri.
Beberapa saat kemudian, Sri sudah menyenderkan kepalanya dalam pelukanku sambil menggenggam tanganku seperti seorang kekasih. Aku membiarkannya saja. Toh apa yang kami lakukan lebih dari apa yang biasanya dilakukan oleh sepasang kekasih. Dan lagi, apa yang aku lakukan dengan Sri bahkan melebihi apa yang biasanya dia lakukan dengan Minto.
Sri tak pernah dalam seumur hidupnya mencium apalagi mengulum milik seorang laki-laki termasuk suaminya sendiri. Saat pertama kali aku meminta dia melakukannya, dia menolak dengan alasan jijik, tapi lihatlah sekarang, dia sudah handal dan lihai bahkan melakukannya tanpa kuminta.
Selain itu, Minto juga termasuk laki-laki kolot yang maskulin. Dia merasa, wanita yang seharusnya melayani laki-laki karena itu, tak perlu pemanasan atau foreplay saat bercinta. Buka, tancap, selesai. Mungkin itu pedoman Minto. Karena alasan itulah aku yakin Minto tak akan menyadari bekas cupang di paha dalam Sri karena dia tak pernah menciumi atau merangsang area itu.
“Aku ninggal bekas merah di sini,” kataku sambil mengelus paha sebelah dalam milik Sri dan membuat dia menggelinjang geli.
“Nggak pa-pa, nanti kalau ketahuan Mas Minto, aku tinggal bilang, kamu yang gigit,” jawab Sri.
Edan!! Bisa-bisa aku dibacok Lek Minto kalau beneran kejadian.
“Ngawur!!” sungutku.
“Hahahahaha,” Sri tertawa puas ketika mendengar sungutanku, “Nggenjot istrinya mau, giliran diaduin ke suaminya takut,” godanya ke arahku.
“Ish,” kataku sambil mencium kening Sri yang masih menyisakan sedikit keringat karena semuanya.