Saat ini, aku berumur 18 tahun dan tak melanjutkan pendidikanku. Aku cuma tamatan SMP, sama seperti sebagian besar remaja laki-laki di kampungku. Bahkan untuk para gadis, orang tua mereka hanya menyekolahkan hingga tamat SD. Setelah itu, mereka akan diminta untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah hingga nanti ada laki-laki yang meminang mereka untuk menjadi istri.
Setelah lulus SMP beberapa tahun lalu, hari-hariku diisi dengan membantu Bapak menggarap sawah dan juga memelihara ternak yang kami miliki. Tentu saja, ditambah selingan di sore hari dengan menjadi seorang pengamat perbuahan di Sendang.
Aku tak tahu dengan teman-teman seumuranku, tapi untukku sendiri, aku mungkin terlalu cepat dewasa. Di usiaku yang baru belasan tahun, aku sudah menikmati apa yang seharusnya menjadi wilayah orang dewasa.
Sri bukan wanita pertama yang merenggut kedewasaanku. Sebelum Sri, ada satu gadis lagi yang lebih dulu merasakan tombak kecilku dan dialah yang mendapatkan status sebagai perebut keperjakaanku. Meskipun dia sendiri juga masih perawan saat itu.
Nama gadis itu Ningsih.
Aku dan Ningsih mungkin korban dari keisengan teman-teman kami. Awalnya, aku dan dia hanyalah kawan seumuran yang dulu tanpa sengaja duduk sebangku saat di SD. Dari sana, kawan-kawan di kampungku mencomblangkan aku dan Ningsih menjadi pasangan. Yang akhirnya, mau tak mau, aku dan Ningsih benar-benar berpacaran.
Aku anak petani biasa. Meskipun tak bisa dibilang kekurangan, tapi jelas aku bukan termasuk kalangan berada. Keluarga kami memang punya sawah dan ternak yang lebih jika dibandingkan keluarga petani yang lain, tapi jika dibandingkan dengan keluarga Ningsih, keluargaku jelas tak ada apa-apanya.
Mungkin karena alasan itu, saat awal-awal dulu aku ngapel ke rumah Ningsih, Bapaknya selalu bermuka masam dan tak pernah membalas salamku, sedangkan Ibunya selalu menatapku penuh curiga seolah aku ingin mencuri sesuatu di rumahnya. Karena perlakuan kedua orang tua Ningsih itulah akhirnya hubunganku dengan anak mereka menjadi hubungan backstreet alias sembunyi-sembunyi.
Tak seperti remaja kota, aku dan Ningsih sering menghabiskan waktu berdua di pematang sawah saat berpacaran. Kami sengaja mencari tempat yang sepi dan jarang dilalui orang karena takut jika ada yang melihat lalu melaporkannya ke orang tua Ningsih.
Tapi…
Mungkin kebiasaan itulah yang membuat aku dan Ningsih lebih cepat dewasa dibandingkan teman-teman kami yang lain.
Awalnya, kami hanya mengobrol dan bercerita tentang apa pun. Lalu lambat tapi pasti, setelah puluhan dan ratusan jam kebersamaan kami, kami mulai kehabisan bahan obrolan. Minat kami pun beralih, dari yang dulunya duduk berdua bersebelahan sambil mengoceh tak karuan, menjadi diam dan saling berpegangan tangan.
Aku masih ingat betapa berdebarnya jantungku saat pertama kali bersentuhan dengan mahluk yang bernama wanita. Apalagi aku tahu jika Ningsih punya rasa untukku. Aku juga yakin jika dia merasakan debaran yang sama saat tangan kami saling meremas dan menggenggam.
Berawal dari saling meremas dan menggenggam, hubungan kami makin dekat. Lambat laun kami tak lagi duduk bersebelahan tapi duduk saling berhimpitan. Ningsih kini memiliki hobi baru yaitu merebahkan kepala dan badannya ke dalam pelukanku.
Kami semakin berani. Apalagi karena semua kemesraan kami, aku dan Ningsih yakin kalau kami sudah sehati dan tak bisa terpisahkan lagi. Karena menyadari itu, Ningsih tak menolak ketika aku mencium bibirnya untuk yang pertama kali. Aku masih ingat sekali betapa tubuhnya gemetar dan wajahnya begitu memerah setelah aku mengecup pelan bibirnya untuk yang pertama kali sore itu.
Ciuman bibir yang dulunya begitu menggairahkan kini menjadi kebiasaan. Lambat tapi pasti, kami merasa kalau kami harus melakukan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang lebih menegaskan bahwa Ningsih milikku dan aku miliknya.
Saat itulah semuanya tak bisa lagi diputar ulang.
Aku mengambil keperawanan Ningsih dan Ningsih mengambil keperjakaanku. Aku mengingat dengan jelas wajah Ningsih yang mengernyitkan dahinya karena rasa perih di mahkotanya saat aku memasuki tubuhnya yang pertama kali. Aku juga mengingat cairan merah yang melumuri milikku setelah berhasil masuk ke dalam tubuh Ningsih ketika itu. Tapi yang tak akan pernah kulupakan adalah, senyuman kecil Ningsih sambil menahan perih tapi dia tetap berkata, “Terusin aja Mas, aku sayang kamu.”
Lalu ke mana Ningsih sekarang? Entah.
Ningsih anak keluarga berada. Ibunya seorang guru dan ayahnya seorang tentara yang bertugas sebagai Babinsa di kampungku. Terakhir saat bertemu dengan Ningsih, dia menangis sesenggukkan tapi tetap memaksa untuk melayaniku layaknya seorang istri kepada sang suami. Saat dia berpamitan pulang, dia hanya tersenyum kecil sambil melambaikan tangan tanpa kata. Ternyata, itu adalah terakhir kalinya aku bertemu dengannya, dengan Ningsih, cinta dan wanita pertamaku.
=====
“Gimana Pin? Yuk?” ajak Si Fadli ke arahku. Tanpa menjelaskan, aku tahu apa maksud ajakannya. Apa lagi kalau bukan nongkrong di dahan beringin atas Sendang. Sebentar lagi memang timingnya untuk mendapatkan tontonan gratis yang menyegarkan mata.
Aku sendiri juga heran. Sebenarnya, monyet-monyet yang suka nongkrong di dahan pohon beringin ini jumlahnya tak banyak. Sesekali, aksi kami juga ketahuan wanita-wanita yang sedang mandi di bawah sana, tapi anehnya mereka tak pernah menegur dan memarahi kami. Bahkan terkadang, sebagian dari mereka juga tersipu malu sambil menundukkan kepala saat berpapasan dengan kami di jalan.
Kawan-kawanku yang lain mungkin tak paham maksudnya, tapi aku bisa menduga alasan para wanita-wanita itu. Mereka sebenarnya juga butuh hiburan. Di kampung kami yang minim hiburan, setelah mandi sore di Sendang, mereka akan pulang ke rumah dan tak kemana-mana lagi hingga larut malam. Berbeda dengan para suami dan bapak-bapak yang kemudian akan keluar dan nongkrong untuk bersenda gurau di warung kopi perempatan, ibu-ibu itu hanya akan berbaring di kamarnya yang sepi tanpa kerjaan.
Aku tahu mereka membutuhkan sebuah penyegaran dan petualangan yang bisa memberikan sedikit warna dalam hidup mereka. Kehidupan kampung yang monoton dan sederhana.
Aku menyadari semua itu setelah mendapatkan Sri dan berhubungan dengannya selama beberapa bulan. Sejak kejadian pertama yang mungkin lebih ke arah pemaksaan itu, selebihnya, justru Sri yang merengek-rengek minta dikunjungi tiap malam. Tapi tentu saja aku tak bisa melakukannya. Alasan apa yang mau kupakai untuk ke warung Lek Minto setelah tutup di malam hari?
Yang bisa kulakukan adalah menanam milikku ke tubuh Sri saat aku membeli sesuatu di warungnya dan kebetulan Minto tak ada di rumahnya. Hanya dengan itu pun, Sri sudah tergila-gila kepadaku.
Aku yakin, di kampungku, banyak Sri-Sri lainnya yang minta dikasihi dan membutuhkan perhatian. Termasuk para emak-emak yang tahu kami mengintip mereka tapi diam saja dan berpura-pura tak mengetahuinya.
“Diem, nanti ketahuan!” teriak Fadli memperingatkan si Johan sambil melotot ke arahnya.
Aku yang sudah berada di posisi favoritku hanya melirik sekilas ke arah mereka lalu kembali fokus memperhatikan beberapa orang wanita yang mengenakan jarik dan sedang asyik menyiramkan air ke tubuhnya di bawah sana. Normal saja, aku dan monyet lainnya bakalan tegang berdiri saat menyaksikan tubuh sintal dan berisi milik mereka.
Aktivitas mandi dan mengintip kami baru berakhir satu jam kemudian kira-kira pukul 5 sore, sesaat sebelum maghrib. Saat itulah, kami akan perlahan-lahan merangkak turun dari dahan pohon beringin lalu pulang sambil bercerita tentang siapa wanita dengan tubuh paling hot dan menarik bagi kami.
Sepanjang jalan, biasanya aku akan diam saja. Toh aku sudah punya list keramatku sendiri. Selama tidak ada kandidat baru yang ikut mandi dan mendaftarkan diri untuk menjadi bahan risetku, aku merasa tak perlu untuk mengubah susunan list itu.
“Pin!!”
Sebuah teriakan tiba-tiba mengagetkan kami dan membuat kami semua menolehkan kepala ke arah suara itu berasal. Saat melihat dia, kami semua langsung ciut mental dan menundukkan kepala.
“Kalian itu, dari dulu nakalnya nggak sembuh-sembuh! Bukannya ngaji atau siap-siap ke masjid untuk Maghriban, ini malah main ke Sendang!” tegur laki-laki yang mengenakan sarung dan peci hitam di kepalanya itu.
Kami sama sekali tak membantah dan menundukkan kepala kami tanpa menjawab. Jujur saja, kalaulah ada sosok yang paling menakutkan bagi kami, semua remaja di kampungku, maka sosok itu adalah Pak Yai Dzakir.
Bagaimana tidak? Hampir semua remaja seumuranku, maupun remaja di atasku, ataupun remaja di bawahku, pada suatu masa, kami semua pasti pernah kena marah, kena pukul, dan kena omel oleh guru ngaji kami itu. Dia adalah sosok paling menakutkan dan disegani di kampung kami, bahkan mengalahkan Pak Lurah sekalipun.
“Dah sana! Awas kalau nanti, nggak keliatan di Masjid!!”
Seolah-olah mendapatkan ampunan, kami langsung melesat meninggalkan Pak Yai yang masih tegak berdiri di tempatnya sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah kami itu.